Syamsuar Hamka
(Ketua
Departemen Kajian Strategis PP LIDMI)
Pada masa dahulu, seorang lelaki bertanggung jawab hanya
sebagai sosok yang pemberi nafkah keluarga. Dimana pekerjaannya, sekedar mencari
faktor-faktor pemenuhan kebutuhan hidup keluarga. Urusan dapur dan merawat
keluarga diserahkan sepenuhnya kepada para kaum hawa, temasuk mendidik anak.
Akan tetapi, paradigma tersebut sedikit demi sedikit perlu
untuk dilihat kembali. Sebab ternyata seorang ayah memiliki peran yang sangat
vital dalam pendidikan anak. Sebab, maraknya tindak kejahatan, kekerasan pada
remaja, pelecehan seksual, penyalahgunaan narkoba dan berbagi bentuk tindak
kriminalitas lainnya menuntut para orang tua bertindak lebih hati-hati dalam
mendidik anak. Dengan demikian, mendidik seorang anak juga menjadi kewajiban
seorang ayah.
Peran Ayah
Dalam pandangan Islam, peran mendidik anak bukanlah mutlak
kewajiban seorang ibu, justru dalam al-Quran lebih banyak menceritakan besarnya
peran ayah dalam mendidik anak. Hal
tersebut misalnya bisa kita lihat dalam QS. al-Baqarah ayat 132 dan QS. Yusuf
ayat 67 yang menceritakan kisah Luqman, Nabi Ya’qub, dan Nabi Ibrahim yang
sedang mendidik anaknya.
Selain itu, seorang Psikolog anak, Elly Risman, berpandangan
bahwa, peran ayah dan ibu sama pentingnya dalam mengasuh serta mendidik anak.
Pengasuhan ayah dan ibu secara seimbang terhadap anak akan membentuk perilaku
positif anak.
Di dalam Al-Qur’an terdapat 17 dialog pengasuhan yang
tersebar di sembilan surat. ke 17 dialog tersebut terbagi : 14 dialog antara
ayah dan anak, 2 dialog antara ibu dan anak, 1 dialog antara kedua orang tua
(tanpa nama) dan anak. Kesimpulannya, ternyata al-Qur’an ingin memberikan
pelajaran. Bahwa untuk melahirkan generasi istimewa seperti yang diinginkan
oleh Allah dan Rasul-Nya, harus dengan komposisi seperti di atas. Jika kita
bandingkan, ternyata dialog antara ayah dengan anaknya, lebih banyak daripada
dialog antara ibu dengan anaknya. Jauh lebih banyak. Lebih sering, hingga 14
banding 2.
Oleh sebab itu, dalam urusan keluarga ini hendaknya seorang
ayah harus belajar dari Luqman al-Hakim, seorang pemuda yang diabadikan namanya
dalam Alqur’an. Sikap-sikap Luqman haruslah dimiliki oleh setiap ayah di
dunia ini, agar bisa menjadi ayah yang baik. Tujuan tentu bukan untuk pamer
kehebatan, melainkan untuk kepentingan keluarga terutama masa depan anak.
Mari kita perhatikan, bagaimana bahasa Luqman al-Hakim yang diabadikan di dalam al-Qur’an,
Mari kita perhatikan, bagaimana bahasa Luqman al-Hakim yang diabadikan di dalam al-Qur’an,
Dan
(ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran
kepadanya: "Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, sesungguhnya
mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar." (QS. Luqman: 13)
Dalam bahasa yang digunakan Luqman kepada anaknya adalah Yaa Bunayya, dimana dalam kosakata Arab,
penggunaan kata tersebut menunjukkan panggilan kasih sayang seorang orang tua
kepada anaknya. Berbeda dengan panggilan, Yaa
Baniyya atau Yaa Ibniy. Jika kita
terjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, mungkin lebih sepadan dengan kalimat
“Wahai Anakku Sayang”.
Ungkapkan Cinta
Dari petikan panggilan tersebut, kita bisa melihat bagaimana
Luqman al-Hakim mengungkapkan rasa cintanya kepada anaknya. Panggilan yang mengucapkan
secara langsung kecintaan seorang ayah kepada anaknya. Bagi kita masyarakat
yang terpengaruh dalam pola hidup modern mungkin melihat bahwa ungkapan dengan
menyebut, “anakku sayang” terlalu lebay
atau mungkin dianggap menunjukkan kelemahan seorang ayah, yang maskulin.
Padahal ungkapan tersebut bukanlah suatu hal yang tabu. Bahkan ungkapan cinta
dari seorang ayah kepada anak perempuannya sangat berpengaruh secara psikologis
sehingga anak perempuan tersebut akan merasakan mendapatkan perhatian yang cukup
dari sang ayah, dan dampaknya, ia tidak lagi membutuhkan perhatian dari lelaki
lain yang bukan mahramnya. Apalagi sangat sering kita jumpai, bagaimana seorang
anak gadis yang mudah dipermainkan, dan menjual harga diri dan kehormatannya
karena ternyata tidak pernah mendapatkan kasih saying dari orang tuanya.
Sikap dan tata cara Luqman dalam mendidik anak sangat perlu
untuk dicontoh oleh para ayah tentang bagaimana cara ia mendidik anak,
membesarkan anak, dan tentu saja dalam mengurus keluarga. Apalagi jika melihat kondisi
generasi muda sekarang yang sangat begitu minim memperhatikan dalam pendidikan
keluarga. Menetapkan peran dan kerja masing-masing posisi setiap anggota
keluarga menurut jenis kelaminnya.
Peran vital keluarga seperti di beberapa Negara maju seperti
Jepang, menurut penuturan Prof. Dr. KH. Didin Hafidhuddin setelah melakukan
kunjungan dakwah, beliau menyimpulkan bahwa secara individu masyarakat Jepang
memang sangat berkualitas. Kinerja dan kedisplinannya sangat tinggi. Namun
ketika dilihat bagaimana kondisi keluarganya, seakan-akan menurut beliau,
keluarga tidak lebih dari sekedar ikatan dan kerjasama peran saja, tanpa ikatan
emosional. Menurut beliau, hal itu dilihat dari tingginya angka bunuh diri,
serta banyaknya orang-orang tua yang mengalami tekanan jiwa (stres) karena
tidak lagi diperhatikan oleh anak-anaknya yang sibuk dalam karir dan pekerjaan
mereka.
Berdasarkan sebuah penelitian, peran ayah dalam menunjukkan bahwa kedekatan ayah dengan anaknya memberikan efek psikologis yang kuat terhadap anak. Hal tersebut pasti dapat mengoptimalkan kecerdasan anak. Bahkan temaktub dalam buku The Role Of The Father in Child Development karya Michael Lamb menyatakan, bahwa ayah ideal adalah ayah yang memiliki cukup waktu luang terhadap anak-anaknya.
Berdasarkan sebuah penelitian, peran ayah dalam menunjukkan bahwa kedekatan ayah dengan anaknya memberikan efek psikologis yang kuat terhadap anak. Hal tersebut pasti dapat mengoptimalkan kecerdasan anak. Bahkan temaktub dalam buku The Role Of The Father in Child Development karya Michael Lamb menyatakan, bahwa ayah ideal adalah ayah yang memiliki cukup waktu luang terhadap anak-anaknya.
Untuk itu perlu diperhatikan Jam kerja selama 8 jam sehari,
ditambah dengan tidur 8 jam, jika diaplikasikan dalam rumahtangga, akan membuat
waktu kebersamaan dengan keluarga akan semakin sedikit (sisa 8 jam). Belum
dihitung waktu kerja di luar kantor, lembur, dan lain-lain. Sehingga perlu
siasat dalam Rumah Tangga untuk mengganti waktu yang habis terkuras dalam kerja
di luar rumah, dengan waktu-waktu berkualitas di dalam rumah. Yang tujuannya
tidak lain adalah agar, interaksi antara orang tua dan anak semakin intensif. Aplikasinya,
paling efektif bisa dilakukan setelah shalat subuh dan maghrib setiap harinya.
Disiapkan waktu khusus untuk diskusi dan pemberian nasihat kepada anggota
keluarga. Agar keluarga bisa memiliki visi dan misi bersama, yaitu mendapatkan
keridhaan Allah dengan berumah tangga. Yang pada akhrinya adalah meraih syurga
Allah Azza wajalla, sekeluarga.
Imam Ibnul Qayyim berkata: “Betapa banyak orang yang
menyengsarakan anaknya, buah hatinya di dunia dan akhirat karena ia tidak memperhatikannya,
tidak mendidiknya dan tidak memfasilitasi syahwat (keinginannya), sementara dia
mengira telah memuliakannya padahal dia telah merendahkannya. Dia juga mengira
telah menyayanginya padahal dia telah mendzaliminya. Maka hilanglah bagiannya pada
anak itu di dunia dan akhirat. Jika Anda amati kerusakan pada anak-anak penyebab
utamanya adalah ayah.”
Oleh sebab itu, sesibuk apapun seorang ayah, harus memiliki
ruang dan waktu untuk anak-anaknya serta harus mampu menjaga komunikasi secara
baik dengan anak, agar seorang anak memiliki kecerdasan emosional dan IQ yang
lebih baik.
Ayah memiliki peranan yang sangat penting dalam pengasuhan
anak, sehingga pengasuhan anak tidak hanya dibebankan sebagai kewajiban seorang
ibu. Penghayatan peranan ayah dalam pengasuhan anak dapat mencegah terjadinya
perilaku kekerasan terhadap anak. (dimuat di al-buletin balagh, Jumat 12
Agustus 2016)
No comments:
Post a Comment