Membincang pendidikan, sebetulnya
membincang tentang sebuah tugas dan tanggung jawab yang besar. Pendidikan
ujungnya terkait persoalan bangsa. Karena untuk membangun bangsa
yang besar diperlukan manusia-manusia
beradab dan manusia-manusia yang beradab dicetak oleh pendidikan yang berkualitas.
Akan tetapi sebagian besar
warga negara Indonesia masih belum paham betul tentang permasalahan pendidikan.
Seakan-akan pendidikan hanyalah tugas para guru, tugas sekolah, dan pemerintah
serta kemendikbud. Padahal Pendidikan adalah proses yang terpadu. Pendidikan di
rumah tangga, pendidikan di masyarakat dan pendidikan di sekolah yang kita
kenal pendidikan nonformal, informal dan pendidikan formal.
Banyak yang
hanya mengartikan pendidikan sebatas mengajarkan teori-teori dalam ilmu.
Pendidikan hanya sebatas transfer pengetahuan. Yang penting jam mengajar sudah
terpenuhi 24 jam dalam sepekan dan sudah tersertifikasi, tidak mau lagi ambil
pusing dengan siswa. Yang penting nilai siswa sudah di atas KKM (kriteria
ketuntasan minimal) kita tidak mau ambil pusing lagi. Yang penting sudah hadir
mengajar, meskipun dari awal hingga akhir jam cuma menyuruh siswa menyalin.
Yang penting sudah hadir mengajar, dan yang penting sudah tanda tangan di absen
hari ini.
Padahal, pendidikan
tidak boleh diartikan sesempit itu. Pendidikan adalah upaya memanusiakan
manusia. Membawa manusia menjadi manusia-manusia yang berkarakter dan memiliki
jatidiri yang beradab. Patuh akan norma-norma moral dan akhlaq. Cerdas
intelektual, spiritual dan emosional.
Allah Subhanahu Wa Ta'ala
menyebutkan konsep ini dalam QS Al Jumu’ah: 2,
هُوَ
ٱلَّذِي بَعَثَ فِي ٱلۡأُمِّيِّۧنَ رَسُولٗا مِّنۡهُمۡ يَتۡلُواْ عَلَيۡهِمۡ
ءَايَٰتِهِۦ وَيُزَكِّيهِمۡ وَيُعَلِّمُهُمُ ٱلۡكِتَٰبَ وَٱلۡحِكۡمَةَ وَإِن
كَانُواْ مِن قَبۡلُ لَفِي ضَلَٰلٖ مُّبِينٖ ٢
2. Dia-lah (Allah) yang mengutus kepada kaum yang ummiy, seorang
Rasul di antara mereka, yang membacakan
ayat-ayat-Nya kepada mereka, mensucikan
mereka dan mengajarkan mereka Kitab
dan Hikmah (As Sunnah). Dan sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar
dalam kesesatan yang nyata
Dari ayat ini, kita bisa menarik kesimpulan, sistem
pendidikan yang ditawarkan Allah adalah :
1. Yatlu alaihim ayatih, Membacakan ayat-ayat atau mencerdaskan aspek intelektual
2.
Wa yuzakkiihim,
Mensucikan atau mentazkiyah mereka atau mencerdaskan spiritual
3. Wayu-‘allihimul kitaaba wal
hikmah, Mengajarkan Kitab dan Hikmah yaitu
mencerdaskan emosi.
Bahwa tujuan pendidikan
adalalah membentuk karakter yang utuh dan menyeluruh. Namun tentu perlu
dipahami bahwa itu semua harus dilalui dengan perjuangan. Sebagaimana Nabi Shallallahu
Alaihi Wa Sallam memperjuangkan pembinaan dan pendidikan sahabat untuk menjadi
manusia yang handal.
Dengan demikian muncul para
ulama yang menghabiskan banyak waktunya untuk ilmu. Mereka melakukan perjalanan
dari satu kota ke kota yang lain untuk mengumpulkan hadits. Dan semua usaha itu
diawali dengan perjuangan yang keras. Ada ulama yang hampir seluruh hidupnya
adalah untuk ilmu. Sehingga begitu banyak kita dapatkan kitab para ulama yang
disusun sampai puluhan jilid. Majmu Fatawa karangan Ibnu Taimiyah sampai 30 jilid, Zaadul Ma’ad karangan Ibnul Qayyim sampai 12 jilid. Fathul Baari
sampai 20-an jilid karangan Ibnu Hajar
al Asqalany. Dan masih banyak lagi kitab-kitab yang lain.
Karena itu pendidikan pada
hakikatnya adalah sebuah perjuangan. Pendidikan adalah saudara kembar
perjuangan. Jika kita ingin melihat bangsa yang besar, maka lihatlah bagaimana
wajah pendidikannya. Karena tidak ada
peradaban tanpa perubahan, tidak ada perubahan tanpa perjuangan dan tidak ada
perjuangan tanpa pengorbanan. Lewat pendidikan, masa depan bangsa ini
ditata. Di lingkungannyalah nasib bangsa ini disandarkan. Dipundaknya-lah,
wajah negara 10, 20 bahkan 100 tahun ke depan di-arsiteki.
Karena itu, pendidikan
harus dibangun di atas semangat juang yang tinggi. Semangat berjuang yang
dibarengi dengan semangat pengorbanan. Dalam Al-Qur’an Surah Al-Hujurat: 15,
Allah Azza wa Jalla menyebutkan :
إِنَّمَا
ٱلۡمُؤۡمِنُونَ ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ بِٱللَّهِ وَرَسُولِهِۦ ثُمَّ لَمۡ
يَرۡتَابُواْ وَجَٰهَدُواْ بِأَمۡوَٰلِهِمۡ وَأَنفُسِهِمۡ فِي سَبِيلِ ٱللَّهِۚ
أُوْلَٰٓئِكَ هُمُ ٱلصَّٰدِقُونَ ١٥
15. Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu hanyalah
orang-orang yang percaya (beriman) kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian mereka
tidak ragu-ragu dan mereka berjuang dengan harta dan jiwa mereka pada jalan
Allah. Mereka itulah orang-orang yang benar.
Dalam
ayat ini Allah Subhanahu Wa Ta'ala menyebutkan dan menjadi perintah
pentignya berjihad. Imam Ibnul Qayyim membagi Jihadun Nafs menjadi beberapa tingkatan, yaitu jihad mempelajari
ilmu, berjuang mengamalkan, mengajarkan dan bersabar atasnya.
Mohammad
Natsir adalah contoh guru atau pejuang sejati, meski tidak pernah mengenyam
pendidikan di fakultas keguruan dan pendidikan. Hidupnya dipenuhi dengan idealisme tinggi memajukan dunia
pendidikan dan bangsanya. Setamat AMS
(Algemene Middelbare School) di
Bandung, dia memilih terjun langsung ke dalam perjuangan dan pendidikan. Ia
dirikan Pendis (Pendidikan Islam) di
Bandung. Di sini, Natsir memimpin, mengajar, dan mencari dana. Terkadang, ia
keliling ke sejumlah kota mencari dana untuk keberlangsungan pendidikannya.
Kadangkala, perhiasan istrinya pun digadaikan untuk menutup uang kontrak tempat
sekolahnya.
Beliau pernah menulis
sebuah artikel yang berjudul “Jangan
Berhenti Tangan Mendayung, Nanti Arus Membawa Hanyut” tahun 1951 . Beliau mengingatkan bahaya besar
yang dihadapi bangsa Indonesia, yaitu mulai memudarnya semangat pengorbanan setelah kemerdekaan.
“Dahulu, mereka girang gembira,
sekalipun hartanya habis, rumahnya terbakar, dan anaknya tewas di medan
pertempuran, kini mereka muram dan kecewa sekalipun telah hidup dalam satu negara yang merdeka, yang mereka
inginkan dan cita-citakan sejak berpuluh dan beratus tahun yang lampau… Semua
orang menghitung pengorbanannya, dan
minta dihargai…Sekarang timbul penyakit bakhil. Bakhil keringat, bakhil waktu
dan merajalela sifat serakah… Tak
ada semangat dan keinginan untuk memperbaikinya. Orang sudah mencari untuk
dirinya sendiri, bukan mencari cita-cita yang diluar dirinya...”
Peringatan Natsir 67 tahun
yang lalu itu mari kita cermati, khususnya para pejabat dan para pendidik. Jika
ingin bangsa Indonesia menjadi bangsa besar yang disegani di dunia, wujudkanlah guru-guru yang mencintai
pengorbanan dan bisa menjadi teladan
bagi bangsanya.
Mohammad
Natsir, salah satu Pahlawan Nasional, sangat mempercayai ungkapan Dr. G.J. Nieuwenhuis bahwa: ”Suatu
bangsa tidak akan maju, sebelum ada di antara bangsa itu segolongan guru yang
suka berkorban untuk keperluan bangsanya.”
Menurut
rumus ini, dua kata kunci kemajuan bangsa adalah “guru” dan “pengorbanan”.
Maka, awal kebangkitan bangsa harus dimulai dengan mencetak “guru-guru yang
suka berkorban”. Guru yang dimaksud Natsir bukan sekedar “guru pengajar dalam
kelas formal”. Guru adalah para pemimpin, orangtua, dan juga pendidik. Guru
adalah teladan. “Guru” adalah “digugu” (didengar) dan “ditiru” (dicontoh). Guru
bukan sekedar terampil mengajar bagaimana menjawab soal Ujian Nasional, tetapi
diri dan hidupnya harus menjadi contoh bagi murid-muridnya.
Bahwa sampai pada hari ini, bangsa kita sedang krisis
karakter. Krisis nilai dan krisis akhlaq. Karena itu, kita membutuhkan para
pejuang dari setiap elemen. Baik birokrasi, unsur guru dan pemerhati pendidikan
untuk mencurahkan waktu, pikiran, materi dan tenaganya dalam memajukan
pendidikan bangsa. Dengan demikian, atas izin Allah, Bangsa kita dapat bersaing
di tengah tantangan global !.
Syamsuar Hamka (Ketua Departemen Kajian Strategis PP LIDMI)
NB: Naskah ini pernah
menjuarai Lomba Musabaqah Syarhil Qur’an tingkat Kabupaten Jeneponto tahun 2014,
dengan judul “Mengembalikan Semangat Perjuangan Dalam Dunia Pendidikan”.
No comments:
Post a Comment