Cari

RISALAH KEPADA PARA (CALON) PEMIMPIN

Sunday 30 March 2014




Potongan-4


Bagian 2- Risalah Madinah
                Setelah 13 Tahun membina iman, maka fase selanjutnya adalah membangun kekuatan ijtima’ (masyarakat). Memperkuat basis sosial untuk melakukan visi jihad dan perjuangan. Di bagian ke-2 ini saya wasiatkan kepada mereka yang berusaha untuk mengikuti perjuangan para Rusul dan Anbiya’.

1.    Bangun Kepribadian
Menjadi calon pemimpin dakwah bukanlah hal yang mudah. Ia butuh konsentrasi. Karena dakwah sama halnya dengan memimpin sebuah perusahaan. Butuh kemampuan manajerial. Tidak akan berkembang tanpa pembelajaran terus-menerus (long life education). Dan seorang pembelajar sejati bukan hanya mengambil pelajaran saat ia di kelas, sekolah, atau majelis. Tapi ia mampu menciptakan sendiri setiap momentum belajarnya. Setiap yang terjadi di sekeliling kita mengandung arti dan makna, kata seorang pemateri Training[1]. Karena itu kalau orang-orang syiah mengatakan, setiap tanah adalah Karbala, dan setiap setiap hari adalah Asyura, maka bagi seorang pembelajar sejati, setiap kejadian adalah pelajaran dan setiap hari adalah pembelajaran.
Seorang yang menjadi pelaku dakwah, hanya akan mampu mengemban dakwah dengan kapasitas kepemimpinan yang tangguh. Mereka punya optimisme. Daya juang. Hirs (semangat). Visi dan tujuan yang jelas. Kemampuan mengorganisir. Fikrah dan pemahaman yang mendalam. Memiliki wawasan yang luas serta kepribadian yang mapan.
Dan semua itu, hanya dapat dicapai jika tidak menutup diri untuk belajar. Membuka diri untuk hal-hal yang baru. Serta gigih memegang hal yang prinsip dalam manhaj dan sistem gerakan.
Dakwah tidak bisa dipikul oleh orang-orang yang selalu putus asa dalam amal. Tidak punya tekad. Tidak punya visi yang jelas atau hanya sekedar ikut-ikutan. Para pejuang harus punya multi-kepribadian. Dapat diterima oleh seluruh lapisan mad’unya.
Zaman selalu memiliki tantangan yang berbeda. Jika dulu dakwah menghadapi invasi pemikiran Filsafat helenisme (Yunani), sekarang yang dihadapi adalah tantangan dari dalam -yang mengaku- islam sendiri seperti syiah dan aliran sesat lainnya. 

Dakwah tidak seperti amal-amal atau profesi singkat. Dia sangat kompleks. Dakwah tidak sekedar di tingkat kampus, desa ataupun daerah, tapi ia melintas Negara dan bangsa. Karena itu, diperlukan kapasitas seseorang untuk itu. Saya yakin, tidak akan mampu Shalahuddin Al-Ayyubi mengalahkan Raja Richard The Lionheart dalam perang Hittin jika beliau tidak memiliki pengetahuan medan perang. Kemampuan mengukur kekuatan lawan dan diri. Saat di Badar, Rasulullah Shallahu alaihi wasallam mengirimkan mata-mata untuk mengetahui berapa jumlah pasukan Quraisy. “mereka menyembelih 10-90 ekor unta setiap hari”. “Kalau begitu jumlah mereka sekitar 900-1.000 orang”, kata beliau.
Itulah yang harus dimiliki seorang pemimpin. Kemampuan mengukur masalah dan kemampuan dirinya. Intuisi yang kuat. Nalar yang tajam, serta pandangan yang luas. Sehingga keputusannya selalu  diatas kaidah berpikir yang benar.
Perhatikan bagaimana Nabi Nuh alaihissalam. Ketika seluruh metode dakwah telah ia lakukan. Sirriah, jahriyah. Pagi, siang dan malam selama 950 tahun, maka jalan terakhir adalah membawa para pengikutnya untuk uzlah dan menyelamatkan diri. Beliau menanam pohon, yang disebutkan ditanam sekitar 100 tahun. Dan darinyalah beliau membuat bahtera mengangkut pengikut dan hewan berpasang-pasangan. Jika kita tadabburi,

Dan buatlah kapal itu dengan pengawasan dan petunjuk wahyu Kami, dan jangalah engkau bicarakan dengan Aku tentang orang-orang zalim. Sesungguhnya mereka itu akan ditenggelamkan (QS. Huud: 37)

Maka kita akan pahami bahwa, Nabi Nuh -ternyata- adalah seorang arsitek kapal yang hebat. Beliau adalah pimpinan proyek pembuatan kapal yang diperkirakan panjangnya 500 m di atas gunung. Saat itu belum dikenal teknik metalurgi (pencairan besi), ilmu material dan teknik perkapalan. Tapi beliau mampu membuat proyek itu selesai tepat waktu, dan tidak ada kesalahan ketika banjir telah datang.
Begitu pula Nabi Ibrahim, yang mengajak kaumnya berpikir. “Salahkanlah patung terbesar ini, karena dialah yang memegang kapak !”. Kepada Raja Namrud Ia berkata, “Tuhan saya mampu untuk menerbitkan matahari dari timur ke barat. Terbitkan ia dari Barat ke Timur”. Hujjah beliau, membungkam mulut para ahlussyirik dan rajanya.
Begitu pula Nabi Musa alaihissalam. Beliau sangat paham, pengaruh politik dan sosial yang sangat didominasi oleh otoritas Fir’aun, maka mengharuskan beliau hijrah. Konforntasi berarti hancur, karena prajurit firaun yang sangat besar dan kejam. Akhirnya pilihannya adalah membawa Bani Israil, dan menunjukkan jalan untuk beribadah kepada Allah azza wa jalla ke tanah yang dijanjikan (kan’an; Palestina)[2]. Selain itu, beliau memiliki kekuatan dan terpercaya. Serta keyakinan. Saat berada di tepi pantai, kaumnya sudah menyerah. “tidak ada lagi jalan”, kata mereka. Tapi dengan optimisme, “inna ma-iya rabbiiy sayahdiin”. Sesungguhnya tuhan bersama kita, dan akan menolong kita. Maka Allah pun mewahyukan untuk memukul tepi pantai, hingga terbelah-lah lautan yang menenggelamkan fir’aun bersama pasukan, kesombongan, dan kezalimannya. Serta menyisakan pelajaran kepada kaum setelahnya.
Maka seorang pemimpin harus punya kapasitas itu. Ia harus menguasai bidangnya. Luas referensi dan bacaannya. Terbuka dan dapat diterima oleh semua kalangan. Serta punya visi dan tujuan yang jelas. Ia mampu mempengaruhi. Mengambil keputusan di saat yang tepat. Serta tidak terburu-buru  dan berhati-hati dalam keputusannya. Dakwah tidak akan berkembang ditangan orang-orang yang musta’jil (terburu-buru) melihat hasil. Kita bisa belajar dari perjuangan HAMAS selama 80 tahun. Belum cukup satu tahun ia meloloskan presidennya. Ia kembali dikudeta[3]. Tapi, Ia juga tidak boleh lamban dalam bertindak. Tidak sigap, dan tidak lambat dalam berpikir. Sehingga setiap momentum ia lalaikan. Karena itu cekatan dan berhati-hati bagaikan pedang kembar bagi seorang pemimpin.
Saat ini, kita sedang berada dalam pusaran dakwah kampus nasional. Mau tidak mau, kita harus ikut berpartisipasi dalam gerakan dakwah kampus nasional. Selama penulis[4] di sini, ternyata geliat kebangkitan di kampus-kampus umum, serta semangat untuk kembali kepada agama islam yang murni sangat kuat. Hampir setiap bulan, penulis mendapati dari kampus yang berbeda mengadakan daurah yang bermukim di sini. Pesertanya cukup banyak.
Yang terpenting dari itu adalah kita harus siap menghadapi perubahan dalam waktu yang relatif lebih singkat. Dan ingat, pemimpin-pemimpin bangsa hari ini adalah aktivis kampus di tahun 80-an. Persiapkan diri kita untuk menjadi pemimpin besar suatu saat nanti.
Dan secara sederhana, kita bisa menganalisis. Sedikit demi sedikit institusi-institusi pemerintahan juga semakin ramai diisi oleh elit agamawan. Itu berarti dakwah sudah harus siap menjemput gerakan yang berorientasi politik. Bukan politik seperti dipahami secara luas dimasyarakat. Tapi politik. Ya, politik. Yang saya maksdkan adalah strategi. Metode, cara dan taktik pengembangan dakwah yang diarahkan pada kekuatan basis massa dan kekuasaan. Karena jika tidak, posisi-posisi kampus akan diambil alih oleh aktivis-aktivis kiri atau lebih berbahaya lagi, syiah.
Setiap kita harus membekali diri dengan muwashafat siyasiyah[5]. Bermain secara halus dan lebih elegan. Tashawwur[6] tentang dakwah dan kekuasaan. Karena dakwah tidak hanya untuk kalangan internal, tapi bagaimana setiap mahasiswa juga bisa dipengaruhi. Ada lahan yang tiak bisa dijangkau kecuali hanya dengan kekuasaan. Kita ingin potensi yang lebih besar. Tuas dakwah yang lebih massif menghasilkan momen gaya yang lebih besar. Kecepatan (velocity) yang lebih tinggi, menghasilkan momentum dakwah yang juga lebih besar. Sebading dengan itu, daya ledaknya juga semakin besar.
Sampai sekarang, bisa kita lihat. Gerakan yang hanya membatasi diri pada program kerja jiplakan tidak akan memberi dampak yanglebih besar. Bukan itu yang kita mau. Kita mau perubahan. Bukan sekedar menyambung, tapi mengembangkan. Bukan sekedar mengisi, tapi menambah. Bukan sekedar melanjutkan, tapi memperluas. Luas secara teritorial, system, kapasistas, dan kualitas yang lebih mapan.
Perang kita, sekarang harus diarahkan pada ekspansi dan perluasan. Bukan sekedar mengagalang kader, massa dan simpatisan. Sama halnya dengan program kerja. Seminar, tabligh akbar, pelatihan, daurah, harus dikembangkan menjadi jaringan,  wilayah, politik kampus dan informasi. Karena program seperti itu, tidak menyelesaikan masalah. Ia hanya menjadi warisan.
Sekarang, zaman informasi. Momentum zaman itu, bukan untuk dilawan. Bukan lagi wacana yang dikembangkan adalah tema-tema seputar mengkritik, mengutuk dan meng-kambinghitam-kan media. Tapi saatnya menyalakan lilin, bukan mencela kegelapan. Media, harus dimainkan bukan untuk dilawan. Karena, jika kita tidak mampu menggunakannya, ia akan melawan kita. Sebaliknya, jika informasi dapat kita kelola, kita dapat menguasai wacana, dan memori publik. Jika belum mampu membangun media seperti itu, maka kita harus mampu memperkuat jaringan dengan media kampus.
Situs-situs harus diaktifkan. Media offline-minimal-harus terbit rutin. Untuk itu, harus ada spesialisasi. Para kader harus didorong untuk menguasai satu cabang kompetensi. Mereka harus punya bargaining power (daya tawar). Harus punya kontribusi yang jelas. Apa yang bisa kita berikan untuk dakwah dan islam.
Tadabburi kembali ketika Nabi Ibrahim disebutkan oleh Allah dalam QS Maryam: 41,
Wadzkur fil kitaabi Ibrahiim, innahu Kaana Shiddiiqan Nabiyya’[7]
Ibrahim Alaihissalam adalah seorang Nabi. Tapi Allah menyebut sifat khusus beliau, Shiddiiqaa. Artinya, sifat yang menonjol dari diri beliau adalah kekuatan beliau dalam membenarkan semua hal yang gaib yang datang dari Allah. Setiap Rasul pun punya hal yang sama. Ada kekhususan. Punya spesialisasi. Bukan membatasi diri. Tapi ingat, potensi semangat dan fikrah yang tidak dibentuk dalam core competency sama halnya cahaya yang dilewatkan pada lensa cekung. Bias cahayanya divergen. Tidak punya ‘daya bakar’.
Begitu pula kader kita, jangan sampai hanya mempunyai ‘Daya Kompor’, yang bisa-nya mengompor-ngompori. Tapi tidak mampu membakar. Model seperti itu, sama dengan orang yang mau menguasai semua bidang, tapi tidak ada yang ahli. Semua tema bisa dikomentarinya. Tapi tidak satu pun yang mendalam. Padahal modal semangat akan menjadi masalah ketika ia tidak bisa dialirkan pada saluran yang tepat. Disitulah kompetensi manajerial dibutuhkan, membangun saluran semangat agar tepat guna.
Problemnya sederhana. Karena ‘kader-kader input’ masih terlalu lugu dan sangat baru dengan wacana-wacana pengembangan diri. Untuk itu, harus ada akselerasi. Mereka harus dipercepat unutk mengenal dunia yang lebih luas. Bagaimana negara bekerja. Apa itu harakah, suksesi, social engineering dalam istilah demokrasi serta ideologi. Dan saat yang sama para pengurus harus tahu buku dan rujukan-rujukan dalam ulumuddin seperti fikih, aqidah, manhaj, sirah, dan ilmu alat. Agar mereka punya tashawwur yang jelas, tentang arah dakwah dan perjuangan.
Dasarnya ada pada mikjizat Nabi Musa. Mukjizat beliau setelah membelah lautan adalah tongkat yang berubah menjadi ular (asbaha asha alhaya). Mukjizat beliau membungkam Fir’aun dan pengikutnya. Bahkan para ahli sihir fir’aun langsung bersujud dan beriman kepada Allah setelah ular mereka ditelan oleh ular Nabi Musa. Jika yang menguasasi sihir dulu dikenal kekuatannya, maka di zaman sekarang yang menguasai teknologi dan informasi sama dengan yang menguasai sihir di zaman Nabi Musa.
Begitu pula Nabi Isa yang mengobati orang sakit, Nabi Nuh yang membuat kapal, Nabi Shalih yang mengeluarkan unta dari  batu, Nabi Ibrahim dengan daya tahan terhadap Api, dan Nabi Muhammad shallahu alaihi wasallam dengan Al-Qur’an.
Diantara kepribadian yang baik juga bisa dilihat dari visi seseorang. Karena itu, miliki-lah visi yang benar. Seseorang tidak akan sampai pada tujuannya sebelum ia menentukan tujuan akhir dari setiap pekerjaannya. Begin from the ending, kata Steven Covey. Kita bisa melihat, bagaimana otak yang mengalami stress ?. Itu karena ada perintah yang tidak jelas. Otak kita mampu memproses informasi dan melakukan berbagai analisis kompleks. Integral, fungsi, atau logika. Dan selama sekuensi-nya (urutannya) jelas, maka prosesnya akan jelas. Tapi otak akan heng jika ada perintah yang berlawanan atau tidak jelas. Seperti halnya komputer. Perjelas arahnya, otak kita pasti akan memprosesnya. Tapi ingat!, masukkan hanya perintah atau informasi yang baik. Jangan masukkan sampah, karena garbage in garbage out.


[1]  Pematerinya bernama : Husein Maskati. Seorang yang masih menjadi aktivis dakwah di umurnya yang sudah 70 tahun, namun masih enerjik. LDK (Latihan Dasar Kepemimpinan) oleh DPP Perhimpunan Al-Irsyad, Jaksel, 24-26 Maret 2014.
[2] Ali Muhammad Al-Shalabi, Fikih Tamkin, Pustaka Al-Kautsar, Jakarta, 2012, hal. 90
[3] Sampai risalah ini ditulis lebih dari 500 pengurus Ikhwanul Muslimin kini dihukum gantung oleh pemerintah yang tidak sah, pasca tragedi Rabi’ah
[4] Ma’had Ar-Rahman (AQC), Bogor
[5] Pengetahuan Politik
[6] Gambaran atau konsep
[7] Terjemahnya : Dan ceritakanlah (Muhammad) kisah Ibrahim dalam Kitab (Al-Qur’an). Sesungguhnya dia adalah seorang yang mencintai kebenaran dan seorang Nabi.

No comments:

Post a Comment

 

Iklan Buku

Followers

Bincang-Bincang