Potongan-4
Bagian 2- Risalah Madinah
Setelah
13 Tahun membina iman, maka fase selanjutnya adalah membangun kekuatan ijtima’
(masyarakat). Memperkuat basis sosial untuk melakukan visi jihad dan
perjuangan. Di bagian ke-2 ini saya wasiatkan kepada mereka yang berusaha untuk
mengikuti perjuangan para Rusul dan Anbiya’.
1.
Bangun Kepribadian
Menjadi calon pemimpin
dakwah bukanlah hal yang mudah. Ia butuh konsentrasi. Karena dakwah sama halnya
dengan memimpin sebuah perusahaan. Butuh kemampuan manajerial. Tidak akan
berkembang tanpa pembelajaran terus-menerus (long life education). Dan
seorang pembelajar sejati bukan hanya mengambil pelajaran saat ia di kelas,
sekolah, atau majelis. Tapi ia mampu menciptakan sendiri setiap momentum
belajarnya. Setiap yang terjadi di sekeliling kita mengandung arti dan makna,
kata seorang pemateri Training[1].
Karena itu kalau orang-orang syiah mengatakan, setiap tanah adalah Karbala, dan
setiap setiap hari adalah Asyura, maka bagi seorang pembelajar sejati, setiap kejadian
adalah pelajaran dan setiap hari adalah pembelajaran.
Seorang yang menjadi pelaku
dakwah, hanya akan mampu mengemban dakwah dengan kapasitas kepemimpinan yang
tangguh. Mereka punya optimisme. Daya juang. Hirs (semangat). Visi dan
tujuan yang jelas. Kemampuan mengorganisir. Fikrah dan pemahaman yang mendalam.
Memiliki wawasan yang luas serta kepribadian yang mapan.
Dan semua itu, hanya
dapat dicapai jika tidak menutup diri untuk belajar. Membuka diri untuk hal-hal
yang baru. Serta gigih memegang hal yang prinsip dalam manhaj dan sistem
gerakan.
Dakwah tidak bisa dipikul
oleh orang-orang yang selalu putus asa dalam amal. Tidak punya tekad. Tidak
punya visi yang jelas atau hanya sekedar ikut-ikutan. Para pejuang harus punya multi-kepribadian.
Dapat diterima oleh seluruh lapisan mad’unya.
Zaman selalu memiliki
tantangan yang berbeda. Jika dulu dakwah menghadapi invasi pemikiran Filsafat
helenisme (Yunani), sekarang yang dihadapi adalah tantangan dari dalam -yang
mengaku- islam sendiri seperti syiah dan aliran sesat lainnya.
Dakwah tidak seperti
amal-amal atau profesi singkat. Dia sangat kompleks. Dakwah tidak sekedar di
tingkat kampus, desa ataupun daerah, tapi ia melintas Negara dan bangsa. Karena
itu, diperlukan kapasitas seseorang untuk itu. Saya yakin, tidak akan mampu Shalahuddin
Al-Ayyubi mengalahkan Raja Richard The Lionheart dalam perang Hittin
jika beliau tidak memiliki pengetahuan medan perang. Kemampuan mengukur
kekuatan lawan dan diri. Saat di Badar, Rasulullah Shallahu alaihi wasallam
mengirimkan mata-mata untuk mengetahui berapa jumlah pasukan Quraisy. “mereka
menyembelih 10-90 ekor unta setiap hari”. “Kalau begitu jumlah mereka sekitar
900-1.000 orang”, kata beliau.
Itulah yang harus
dimiliki seorang pemimpin. Kemampuan mengukur masalah dan kemampuan dirinya.
Intuisi yang kuat. Nalar yang tajam, serta pandangan yang luas. Sehingga
keputusannya selalu diatas kaidah berpikir
yang benar.
Perhatikan bagaimana Nabi
Nuh alaihissalam. Ketika seluruh metode dakwah telah ia lakukan. Sirriah,
jahriyah. Pagi, siang dan malam selama 950 tahun, maka jalan terakhir
adalah membawa para pengikutnya untuk uzlah dan menyelamatkan diri. Beliau
menanam pohon, yang disebutkan ditanam sekitar 100 tahun. Dan darinyalah beliau
membuat bahtera mengangkut pengikut dan hewan berpasang-pasangan. Jika kita
tadabburi,
Dan buatlah kapal itu dengan pengawasan
dan petunjuk wahyu Kami, dan jangalah engkau bicarakan dengan Aku tentang
orang-orang zalim. Sesungguhnya mereka itu akan ditenggelamkan (QS. Huud:
37)
Maka kita akan pahami
bahwa, Nabi Nuh -ternyata- adalah seorang arsitek kapal yang hebat. Beliau
adalah pimpinan proyek pembuatan kapal yang diperkirakan panjangnya 500 m di
atas gunung. Saat itu belum dikenal teknik metalurgi (pencairan besi), ilmu
material dan teknik perkapalan. Tapi beliau mampu membuat proyek itu selesai
tepat waktu, dan tidak ada kesalahan ketika banjir telah datang.
Begitu pula Nabi Ibrahim,
yang mengajak kaumnya berpikir. “Salahkanlah patung terbesar ini, karena dialah
yang memegang kapak !”. Kepada Raja Namrud Ia berkata, “Tuhan saya mampu untuk menerbitkan
matahari dari timur ke barat. Terbitkan ia dari Barat ke Timur”. Hujjah beliau,
membungkam mulut para ahlussyirik dan rajanya.
Begitu pula Nabi Musa
alaihissalam. Beliau sangat paham, pengaruh politik dan sosial yang sangat
didominasi oleh otoritas Fir’aun, maka mengharuskan beliau hijrah. Konforntasi
berarti hancur, karena prajurit firaun yang sangat besar dan kejam. Akhirnya
pilihannya adalah membawa Bani Israil, dan menunjukkan jalan untuk beribadah
kepada Allah azza wa jalla ke tanah yang dijanjikan (kan’an; Palestina)[2].
Selain itu, beliau memiliki kekuatan dan terpercaya. Serta keyakinan. Saat
berada di tepi pantai, kaumnya sudah menyerah. “tidak ada lagi jalan”, kata
mereka. Tapi dengan optimisme, “inna ma-iya rabbiiy sayahdiin”. Sesungguhnya
tuhan bersama kita, dan akan menolong kita. Maka Allah pun mewahyukan untuk memukul
tepi pantai, hingga terbelah-lah lautan yang menenggelamkan fir’aun bersama
pasukan, kesombongan, dan kezalimannya. Serta menyisakan pelajaran kepada kaum
setelahnya.
Maka seorang pemimpin
harus punya kapasitas itu. Ia harus menguasai bidangnya. Luas referensi dan
bacaannya. Terbuka dan dapat diterima oleh semua kalangan. Serta punya visi dan
tujuan yang jelas. Ia mampu mempengaruhi. Mengambil keputusan di saat yang
tepat. Serta tidak terburu-buru dan
berhati-hati dalam keputusannya. Dakwah tidak akan berkembang ditangan
orang-orang yang musta’jil (terburu-buru) melihat hasil. Kita bisa belajar dari
perjuangan HAMAS selama 80 tahun. Belum cukup satu tahun ia meloloskan
presidennya. Ia kembali dikudeta[3].
Tapi, Ia juga tidak boleh lamban dalam bertindak. Tidak sigap, dan tidak lambat
dalam berpikir. Sehingga setiap momentum ia lalaikan. Karena itu cekatan dan
berhati-hati bagaikan pedang kembar bagi seorang pemimpin.
Saat ini, kita sedang
berada dalam pusaran dakwah kampus nasional. Mau tidak mau, kita harus ikut
berpartisipasi dalam gerakan dakwah kampus nasional. Selama penulis[4]
di sini, ternyata geliat kebangkitan di kampus-kampus umum, serta semangat
untuk kembali kepada agama islam yang murni sangat kuat. Hampir setiap bulan,
penulis mendapati dari kampus yang berbeda mengadakan daurah yang bermukim di
sini. Pesertanya cukup banyak.
Yang terpenting dari itu
adalah kita harus siap menghadapi perubahan dalam waktu yang relatif lebih
singkat. Dan ingat, pemimpin-pemimpin bangsa hari ini adalah aktivis kampus di
tahun 80-an. Persiapkan diri kita untuk menjadi pemimpin besar suatu saat
nanti.
Dan secara sederhana,
kita bisa menganalisis. Sedikit demi sedikit institusi-institusi pemerintahan
juga semakin ramai diisi oleh elit agamawan. Itu berarti dakwah sudah harus
siap menjemput gerakan yang berorientasi politik. Bukan politik seperti
dipahami secara luas dimasyarakat. Tapi politik. Ya, politik. Yang saya
maksdkan adalah strategi. Metode, cara dan taktik pengembangan dakwah yang
diarahkan pada kekuatan basis massa dan kekuasaan. Karena jika tidak, posisi-posisi
kampus akan diambil alih oleh aktivis-aktivis kiri atau lebih berbahaya lagi,
syiah.
Setiap kita harus
membekali diri dengan muwashafat siyasiyah[5].
Bermain secara halus dan lebih elegan. Tashawwur[6]
tentang dakwah dan kekuasaan. Karena dakwah tidak hanya untuk kalangan internal,
tapi bagaimana setiap mahasiswa juga bisa dipengaruhi. Ada lahan yang tiak bisa
dijangkau kecuali hanya dengan kekuasaan. Kita ingin potensi yang lebih besar.
Tuas dakwah yang lebih massif menghasilkan momen gaya yang lebih besar. Kecepatan
(velocity) yang lebih tinggi, menghasilkan momentum dakwah yang juga lebih
besar. Sebading dengan itu, daya ledaknya juga semakin besar.
Sampai sekarang, bisa
kita lihat. Gerakan yang hanya membatasi diri pada program kerja jiplakan tidak
akan memberi dampak yanglebih besar. Bukan itu yang kita mau. Kita mau
perubahan. Bukan sekedar menyambung, tapi mengembangkan. Bukan sekedar mengisi,
tapi menambah. Bukan sekedar melanjutkan, tapi memperluas. Luas secara
teritorial, system, kapasistas, dan kualitas yang lebih mapan.
Perang kita, sekarang harus
diarahkan pada ekspansi dan perluasan. Bukan sekedar mengagalang kader, massa
dan simpatisan. Sama halnya dengan program kerja. Seminar, tabligh akbar, pelatihan,
daurah, harus dikembangkan menjadi jaringan,
wilayah, politik kampus dan informasi. Karena program seperti itu, tidak
menyelesaikan masalah. Ia hanya menjadi warisan.
Sekarang, zaman
informasi. Momentum zaman itu, bukan untuk dilawan. Bukan lagi wacana yang dikembangkan
adalah tema-tema seputar mengkritik, mengutuk dan meng-kambinghitam-kan media. Tapi
saatnya menyalakan lilin, bukan mencela kegelapan. Media, harus dimainkan bukan
untuk dilawan. Karena, jika kita tidak mampu menggunakannya, ia akan melawan
kita. Sebaliknya, jika informasi dapat kita kelola, kita dapat menguasai wacana,
dan memori publik. Jika belum mampu membangun media seperti itu, maka kita
harus mampu memperkuat jaringan dengan media kampus.
Situs-situs harus
diaktifkan. Media offline-minimal-harus terbit rutin. Untuk itu, harus ada
spesialisasi. Para kader harus didorong untuk menguasai satu cabang kompetensi.
Mereka harus punya bargaining power (daya tawar). Harus punya kontribusi yang
jelas. Apa yang bisa kita berikan untuk dakwah dan islam.
Tadabburi kembali ketika
Nabi Ibrahim disebutkan oleh Allah dalam QS Maryam: 41,
Wadzkur fil
kitaabi Ibrahiim, innahu Kaana Shiddiiqan Nabiyya’[7]
Ibrahim Alaihissalam
adalah seorang Nabi. Tapi Allah menyebut sifat khusus beliau, Shiddiiqaa.
Artinya, sifat yang menonjol dari diri beliau adalah kekuatan beliau dalam
membenarkan semua hal yang gaib yang datang dari Allah. Setiap Rasul pun punya
hal yang sama. Ada kekhususan. Punya spesialisasi. Bukan membatasi diri. Tapi
ingat, potensi semangat dan fikrah yang tidak dibentuk dalam core competency
sama halnya cahaya yang dilewatkan pada lensa cekung. Bias cahayanya divergen. Tidak
punya ‘daya bakar’.
Begitu pula kader kita,
jangan sampai hanya mempunyai ‘Daya Kompor’, yang bisa-nya mengompor-ngompori.
Tapi tidak mampu membakar. Model seperti itu, sama dengan orang yang mau
menguasai semua bidang, tapi tidak ada yang ahli. Semua tema bisa
dikomentarinya. Tapi tidak satu pun yang mendalam. Padahal modal semangat akan
menjadi masalah ketika ia tidak bisa dialirkan pada saluran yang tepat. Disitulah
kompetensi manajerial dibutuhkan, membangun saluran semangat agar tepat guna.
Problemnya sederhana.
Karena ‘kader-kader input’ masih terlalu lugu dan sangat baru dengan
wacana-wacana pengembangan diri. Untuk itu, harus ada akselerasi. Mereka harus
dipercepat unutk mengenal dunia yang lebih luas. Bagaimana negara bekerja. Apa
itu harakah, suksesi, social engineering dalam istilah demokrasi serta
ideologi. Dan saat yang sama para pengurus harus tahu buku dan rujukan-rujukan
dalam ulumuddin seperti fikih, aqidah, manhaj, sirah, dan ilmu alat. Agar
mereka punya tashawwur yang jelas, tentang arah dakwah dan perjuangan.
Dasarnya ada pada
mikjizat Nabi Musa. Mukjizat beliau setelah membelah lautan adalah tongkat yang
berubah menjadi ular (asbaha asha alhaya). Mukjizat beliau membungkam Fir’aun
dan pengikutnya. Bahkan para ahli sihir fir’aun langsung bersujud dan beriman
kepada Allah setelah ular mereka ditelan oleh ular Nabi Musa. Jika yang
menguasasi sihir dulu dikenal kekuatannya, maka di zaman sekarang yang
menguasai teknologi dan informasi sama dengan yang menguasai sihir di zaman
Nabi Musa.
Begitu pula Nabi Isa yang
mengobati orang sakit, Nabi Nuh yang membuat kapal, Nabi Shalih yang
mengeluarkan unta dari batu, Nabi
Ibrahim dengan daya tahan terhadap Api, dan Nabi Muhammad shallahu alaihi
wasallam dengan Al-Qur’an.
Diantara kepribadian yang
baik juga bisa dilihat dari visi seseorang. Karena itu, miliki-lah visi yang
benar. Seseorang tidak akan sampai pada tujuannya sebelum ia menentukan tujuan
akhir dari setiap pekerjaannya. Begin from the ending, kata Steven
Covey. Kita bisa melihat, bagaimana otak yang mengalami stress ?. Itu karena
ada perintah yang tidak jelas. Otak kita mampu memproses informasi dan
melakukan berbagai analisis kompleks. Integral, fungsi, atau logika. Dan selama
sekuensi-nya (urutannya) jelas, maka prosesnya akan jelas. Tapi otak akan heng
jika ada perintah yang berlawanan atau tidak jelas. Seperti halnya komputer. Perjelas
arahnya, otak kita pasti akan memprosesnya. Tapi ingat!, masukkan hanya
perintah atau informasi yang baik. Jangan masukkan sampah, karena garbage in
garbage out.
[1] Pematerinya bernama : Husein Maskati. Seorang
yang masih menjadi aktivis dakwah di umurnya yang sudah 70 tahun, namun masih
enerjik. LDK (Latihan Dasar Kepemimpinan) oleh DPP Perhimpunan Al-Irsyad,
Jaksel, 24-26 Maret 2014.
[2]
Ali Muhammad Al-Shalabi, Fikih Tamkin, Pustaka Al-Kautsar, Jakarta, 2012, hal.
90
[3]
Sampai risalah ini ditulis lebih dari 500 pengurus Ikhwanul Muslimin kini
dihukum gantung oleh pemerintah yang tidak sah, pasca tragedi Rabi’ah
[4]
Ma’had Ar-Rahman (AQC), Bogor
[5]
Pengetahuan Politik
[6]
Gambaran atau konsep
[7]
Terjemahnya : Dan ceritakanlah (Muhammad) kisah Ibrahim dalam Kitab
(Al-Qur’an). Sesungguhnya dia adalah seorang yang mencintai kebenaran dan
seorang Nabi.
No comments:
Post a Comment