Potongan-2
2.
Jangan Pernah Main Hitung-Hitungan!
Agama,
dan bangsa ini tidak akan merdeka dari penjajahan syirik dan kejahiliahan
sebelum ada segolongan dari penduduknya yang beramar makruf dan bernahi munkar
dan berani untuk member dan gembira
ketika mereka syahid. Kehilangan suami dan anak-anaknya. Terbakar ruamahnya.
Hilang pekerjaannya. Demi ketinggian aqidah tauhid. Al-Mujaahidu, man qatala
litakuuna kalimatullahi hiya al-‘ulya. Mereka bekerja tanpa melihat
manusia. Mereka beramal karena kebenaran, dan keyakinan tauhid. Dan sebelum
bangsa ini merdeka, ia telah dimerdekakan oleh para pejuang dari kelemahan dan kesyirikan.
Perhatikan
bagaimana Pangeran dipenogoro mampu menggerakkan dukungan 200ribu rakyat jawa
bersamanya melawan penjajah Belanda. Sementara saat itu ia telah terusir dari keraton
Yogya. Yang dengan terang-terangan di depan Jenderal De Cock ingin mendirikan
kerajaan di tanah Jawa. Perhatikan Tunaku Imam Bonjol yang ingin membentuk
masyarakat minangkabau dengan adat bersendi syara’, syara’ bersendi
kitabullah. Perhatikan bagaimana Sultan Hasanuddin yang yang pernah
mengirim surat kepada Jenderal Speelman : Lautan luas ini adalah anugerah
Ilahi bagi manusia, maka janganlah hendak tuan kuasai sendiri. Siapa yang
tidak mengenal Pahlawan Raja Aji yang tewas di pantai Malaka sedang tangan
kirinya kitab Dalailul Khairat, dan Badik Bugis di Tangan kanannya ![1].
dan Perhatikan pula Dr. Mohammad Natsir, seorang ulama Indonesia yang menguasai
tujuh bahasa dunia dan menulis kitab Bahasa Arab yang dipelajari di Mesir !.
Perhatikan pula perkataan KH. Zainal Mustofa yang menjawab saat ditanya KH Isa
Anshary saat dibui. Mengapa Kiai memerangi Jepang ?. “Bukankah Jepang itu
Majusi ?”, jawab beliau. Begitu pula Sentot alibasah Prawirodirdjo yang harus dibuang ke
Bangkahulu setelah tertangkap Penjajah[2].
Mereka
adalah pahlawan yang tidak pernah main hitung-hitungan dengan allah. Seluruh
hidupnya telah dipersembahkan untuk islam. Dunia tak membuatnya silau.
Kedudukan tidak membuatnya rendah. Dan kelaparan karena kekurangan makan tak
membuat mereka mengeluh. Serta lantai tanah dan atap langit tak membuat mereka
kedinginan dan mencari kenkmatan mengikuti syahwat dan nafsu manusiawi mereka.
Mereka-lah manusia sesungguhnya. Manusia yang telah melewati batas-batas
kemampuan manusia. Manusia yang telah meninggalkan jauh cara berpikir licik,
untuk diri sendiri. Menghancurkan egoisme untuk kemaslahatan umat. Dan menjual
dirinya untuk kemuliaan din-Nya. Karena mereka tahu bahwa Allah cukup bagi mereka.
Laa Tahzan Inanallaha ma’anaa !.
Mereka
faqiir… faqiir ilaa rabbihim. Sedangkan manusia –kebanyakannya- fakir, kepada
harta. Mereka adalah pahlawan yang hanya mencintai Allah, saat manusia mencintai
wanita dan wewangian. Merekalah yang membagikan harta saat manusia mengumpulkannya.
Merekalah yang memilih bangun merasakan dinginnya angin malam dan berdiri saat
manusia tidur bersama, istri, bantal dan kasur empuknya. Merekalah yang
berpuasa saat manusia menyantap sarapan paginya. Merekalah yang meluangkan
waktunya untuk perjuangan, saat manusia mencari-cari alasan untuk tidak
berdakwah. Dan merekalah yang memilih berani, saat manusia memilih untuk
menjadi pecundang di hadapan penjajah. Karena itu, Allah-lah yang akan
memilihkan mereka syurga yang luas, saat manusia berebut dunia yang sempit.
Sungguh!,
hiburlah dirimu wahai pejuang, dengan wasiat
Syaikh Ibn Baz rahimahullah,
Man Nadzhara Nafsahu Li Khidmati
Diinihi, Fa sa ya-isyu Muth-‘iban. Wallakin Sa-Yahya Kabiiran. Wa-Sa yamuutu
kabiiran. Wayub’atsu kabiiran.
Siapa yang telah menadzarkan dirinya
untuk berkhidmat untuk agamanya. Maka ia akan hidup dalam kelelahan. Akan
tetapi, ia akan hidup dalam kebesaran. Mati dalam kebesaran. Dan akan
dibangkitkan sebagai orang besar.
Oleh
karena itu, jangan pernah main hitung-hitungan dengan Allah. Kenapa ?. karena
jika engkau main hitung-hitungan dengan allah, maka allah hanya akan memberimu
apa yang engkau bisa hitung. Berikan dirimu sepenuhnya untuk islam, maka engkau
akan mendapatkan balasan dari allah yang tidak mampu engkau hitung (bi
ghairi hisaab).
Sekali
lagi !. jangan main hitung-hitungan !. Tidak akan pernah beruntung orang yang
tinggi kali-kalinya. Hebat tambah-tambahnya. Tapi rendah bagi-baginya. Jangan
pernah berharap ketinggian dan kemuliaan, sebelum engkau menunjukkan bahwa apa
yang ada di sisimu adalah sementara, dan yang di sisi allah-lah yang kekal.
Jangan
pernah mengharapkan kebesaran, dengan kerja yang kecil. Jangan pernah berharap
ketinggian jika amalan kita adalah amalan-amalan yang rendah. Tidak ada target
untuk meningkatkan kualitas ilmu di setiap pertambahan usia. Tidak berani
mengambil resiko. Tidak berani melakukan masisve action demi prinsip dan
keyakinan hidup. Mohon ampun-lah kepada Allah untuk setiap doa yang kita
tidak pernah berusaha memantaskan diri kita untuk mendapatkannya. Beristighfarlah
untuk setiap p ermohonan yang begitu
kita harapkan pengabulannya, sementara kita tidak berusaha untuk bekerja dan
beramal untuk memperolehnya. Bertaubat-lah untuk setiap permintaan kehidupan
yang layak, nilai yang memuaskan, penghasilan, dan prestasi sementara kita
tidak tidak pernah berniat, bertekad, belajar dan bersungguh-sungguh untuk
mendapatkannya.
Saya
tahu betul. Diantara kita ada yang punya beban lebih berat dari yang lainnya.
Ia harus bekerja, menanggung saudaranya. Atau mungkin diantara kita ada yang
bapaknya sudah lemas terkulai dipembaringan karena usia atau penyakit. Atau mungkin
diantara kita ada yang sudah tidak memiliki bapak, ibu atau mungkin
kedua-duanya. Hingga ia harus bekerja mencari ma’isyah. Ikhwani… sabarkan
dirimu. Telan pahit ludahmu. Tndukkan pandanganmu. Hasrat untuk dunia mungkin,
masih terlalu besar di dalam jiwamu. Saya katakana, bekerjalah!. Cari
penghidupan, karena allah!. Niscaya allah tidak menyia-nyiakan orang yang punya
secuil niat dalam hatinya untuk bekerja kepada islam, namun harus menanggung
beban nafkah. Carilah rezkimu, sungguh allah akan bangga kepada para aktivis
dakwah yang hidup dengan kerja dan keringatnya. Rasulullah shallahu alaii
wasallam bersabda, “sungguh ada dosa diantara kalian, yang hanya bisa dihapus
lewat beratnya mencari nafkah”. Tapi ingat, jangan pernah menyerah dari
keaadan. Jangan mengambil keputusan karena terjepit masalah. Tapi engkau-lah
yang harus menguasai masalah. Jangan biarkan masalah menguasai dirimu yang merdeka.
Jangan mengambil jalan, karena jalan lain ditutup. Tapi ambillah jalan itu,
karena strategi hidup. Karena rencana hidup. Bukan karena tidak ada lagi jalan.
Atau pasrah karena keadaan. Karena jika demikian, Engkaulah yang akan diatur
oleh keadaan.
2.
Engkau akan lelah,
maka bersabarlah!
Sungguh betapa indah kisah perang ahzab yang
menunjukkan kesabaran yang luar biasa dari diri para sahabat. Betapa beratnya
perang di Musim dingin dengan paceklik hingga Rasullullah harus menganjal dua
batu diperutnya. Bibir mereka pecah-pecah. Mereka harus menggali parit sepanjang
5.554 m, lebarnya 4,62 m, dan kedalaman 3,234 m selama 9-10 hari atas usulan
Salman al-Farisi.[3] Sementara
dengan kekuatan 3.000 orang harus menghadapi sekutu Quraisy. Sebuah aliansi
engan kekuatan pasukan terbesar. 10 ribu pasukan dari aliansi Bani Kinanah, Tihamah,
Bani Mura, Bani Asyja’, dan Bani Ghatafan dipimpin kafir Quraisy. Allah
abadikan penderitaan itu dalam Al-qur’an :
QS Al-Ahzab: 9-10
Al
Imam Ibnu Katsir dalam Al-Bidayah wa an-Nihayah menyebutkan,
“Ibnu Ishaq berkata : peristiwa tersebut terasa begitu
berat (bagi kaum muslimin) dan mereka semakin takut karena musuh mendatangi
mereka dari atas dan bawah hingga mereka menyangka kepada allah dengan berbagai
macam prasangka dan sifat kemunafikan semakin menjadi-jadi. Sampai-sampai
Mu’attib bin Qusyair saudara Bani Amr Bin Auf berkata, “Muhammad menjanjikan
kita akan makan dari harta perbendaharaan Kisra dan Kaisar, padahal saat
sekarang saja salah seorang dari kita tidak merasa aman bila pergi ke kamar
mandi”[4].
Allah
Abadikan itu dalam Al-Qur’an,
Dan (ingatlah) ketika orang-orang
munafik dan orang-orang yang berpenyakit hatinya berkata “Yang dijanjikan Allah
dan Rasul-Nya kepada Kami hanya tipu daya belaka. Dan (ingatlah) ketika segolongan
mereka berkata, “Wahai penduduk Yastrib (Madinah) ! tidak ada tempat bagimu,
kembalilah kamu.” Dan sebagian dari mereka meminta izin kepada Nabi (untuk
kembali pulang) dengan berkata, “Sesungguhnya rumah kami terbuka (tidak ada
penjaga). “ Padahal rumah-rumah itu tidak tebruka, mereka hanyalah hendak lari (QS
Al-Ahzab 12-13).
Ibnu
Ishaq berkata : Rasulullah Shallahu alaihi wasallam menetap di
perbatasan (ribath) sementara Orang-orang musyrik mengepungnya selama
dua puluh malam atau lebih mendekati satu bulan. Tidak terjadi peperangan di
antara mereka kecuali hanya sekedar melempar panah. Ketika kegalauan semakin menyelimuti
kaum muslimin, Rasulullah Shallahu alaihi wasallam mengutus seseorang untuk
menemui Uyainah bin Hishn dan Al-Harits bin Auf al-Murri, dua panglima dari
Ghatafan untuk memberikan sepertiga dari buah-buahan Madinah kepada keduanya,
dengan syarat keduanya kembali bersama tentaranya. Maka terjadilah kesepakatan.
Niat berdamai itu adalah siasat, agar mereka keluar dari Madinah. Saat
Rasulullah shallahu alaihi wasallam hendak melakukannya, beliau mengirim utusan
untuk menemui dua Sa’ad. Sa’ad bin Ubadah, dan Sa’ad Bin Muadz untuk meminta
pendapat. Mereka berkata “wahai rasulullah, apakah ini keputusan yang engkau
sukai untuk kami lakukan, ataukah dari perintah Allah ?”. Nabi menjawab “Ini
adalah sesuatu yang aku lakukan untuk kalian. Demi allah, aku tidak melakukan
ini kecuali karena aku melihat bangsa Arab telah melempar kalian dengan satu
panah (bersatu) dan mengepung kalian dari segala penjuru. Jadi aku ingin
menghilangkan diri (rintangan) dari kalian.”
Maka Saad bin Ubadah berkata “ Wahai
Rasulullah shallahu alaihi sallam, sebelumnya kami dan mereka bersama-sama
menyekutukan Allah dan menyembah berhala dan tidak mengenal-Nya, sementara
mereka tidak berharap memakan satu kurma kecuali dengan jamuan yang dijual.
Apakah setelah Allah memuliakan kami dengan islam dan member petunjuk kepada
kami serta memuliakan kami dengan engkau dan islam kami harus menyerahkan harta
kami ?. Kami tidak membutuhkannya. Demi Allah, kami tidak akan memberikan
kepada mereka kecuali pedang, sampai Allah azza wajalla memberi keputusan
antara kami dengan mereka!.
Maka
Nabi Shallahu Alaihi wasaalam menjawab .”Benarlah keputusanmu itu”[5].
Perjanjian pun dibatalkan. Kaum muslim kembali menghimpun kekuatan untuk tetap
menghadapi mereka.
Perhatikan kembali kisah al-Qur’an. Betapa
beratnya ujian dan cobaan atas kaum muslimin. Sampai Rasulullah juga sebagai
seorang pemimpin, merasa kasihan dengan sahabat. Namun, perhatikan, betapa
kekuatan Iman, mampu mengalahkan lapar, ketakutan, dan kedinginan yang menyelimuti
mereka. Yang pada akhirnya, aliansi orang-orang kafir harus menelan kekalahan.
Dan Allah menghalau orang-orang kafir
itu yang keadaan mereka penuh kejengkelan, karena mereka tidak memperoleh
keuntungan apa pun (QS Al-Ahzab: 25)
Setelah
kemah dan periuk-periuk mereka dihalau oleh angin yang kencang, mereka kembali
membawa rasa sesak dan pesismisme. Karena tidak ada lagi kekuatan yang mampu
mereka galang setelah itu. Mereka yakin bahwa di tengah-tengah mereka ada
kekuatan yang sedang tumbuh dan tidak mampu untuk dimusnahkan. Dan tinggal
menunggu waktu kejatuhan mereka.
Diakhir perang itu, Rasulullah saw bersabda
:
Sekarang kitalah yang akan memerangi
mereka dan mereka tidak akan memerangi kita[6]
Itu berarti, Allah membalikkan kedudukan
orang-orang beriman di atas orang-orang kafir, setelah melalui fase titik
nadir. Di mana Allah memperlihatkan kualitas dari karakter sesungguhnya yang ada pada sahabat,
dan menyingkap kemunafikan dalam hati orang-rang munafiq (Bani Quraizhah).
Prof.
Ali Muhammad Al-Shalabi menyebutkan, bahwa kemenangan itu menguntungkan kaum
muslimin. Dari defensif menjadi ofensif[7].
Tadabburi-lah!.
Bahwa setiap kemenangan harus dilalui fase getir. Setiap puncak harus diperoleh
dengan merasakan lelahnya pendakian. Tapi yakinlah, bahwa disetiap perjuangan
itu, akan ada kenikmatan yang orang lain tidak pernah rasakan.
Apa
yang dirasakan seseorang yang ingin ke puncak gunung dengan helikopter ?. Apa
yang dirasakan seorang pembalap, jika treknya lurus ?. apa yang dirasakan jika langit
terus biru. Hidup selalu gembira. Makan selalu kenyang. Tidur selalu cukup. Jasad
selalu sehat ?. Hampa !. Sekali lagi hampa !. Bandingkan jika segelas air
datang, di saat puncak kehausan menghampiri, dengan meminumnya disaat yang
biasa-biasa. Bandingkan nikmatnya tidur, di saat puncak mengantuk
menghampirimu. Dan bandingkan nikmatnya mendaki, saat bukit-bukit terjal telah
kita lalui dan kita tancapkan bendera di puncak pendakian kita, dengan
mengatakan Allahu..Akbar !.
Ikhwaniy….
Jika ada risih, lelah, sedih, dan letih. Tangguhkan ia. Jangan ingat, sampai
engkau berada di puncak. Karena mengingatnya saat di puncak akan merubah rasa
pahit itu menjadi kenikmatan. Di situlah kenikmatan itu.
[1]
Muhammad Natsir, dkk, Debat Dasar Negara; Islam dan Pancasila konstituante
1957, Pustaka Panjimas, Depok, 2002, hal. 103
[2][2]
Ahmad Mansur Surya Negara, Api Sejarah, Salamadani, Bandung, 2013, hal. 201
[3] Syauqi Abu Khalil, Atlas Hadits, Almahira,
Jakarta, 2013, hal. 160
[4] Ibnu Katsir, Al-Bidayah wa An-Nihayah Jilid
6, Pustaka Azzam, Jakarta, 2012, hal. 44-45
[5] Ibid, hal. 46-47
[6] Ibid, hal. 79
[7] Ali Muhammad Al-Shalabi, Fikih Tamkin,
Pustaka Al-Kautsar, Jakarta, 2012, hal 116
No comments:
Post a Comment