Cari

BEGINI SEHARUSNYA MENJADI GURU (1) - 1

Monday, 20 February 2017



Syamsuar Hamka[2]
  

Berdasarkan hasil rumusan Komisi Pembaharuan Pendidikan Nasional, ditetapkan bahwa pendidikan nasional ialah usaha dasar untuk membangun manusia Indonesia seutuhnya, yaitu manusia yang bertaqwa kepada Tuhan yang Maha Esa, dengan mengusahakan perkembangan kehidupan beragama, kehidupan yang berkepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, nilai budaya, pengetahuan, keterampilan, daya estetik, dan jasmaninya sehingga dapat mengembangkan dirinya dan bersama-sama dengan sesama manusia membangun masyarakatnya, serta membudayakan alam sekitarnya. Rumusan pendidikan nasional tersebut dikukuhkan oleh Tap MPR No. II/1983 GBHN yang menyatakan bahwa: Pendidikan berdasarkan Pancasila, bertujuan untuk meningkatkan ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, Kecerdasan dan Keterampilan, mempertinggi budi pekerti, memperkuat kepribadian, dan mempertebal semangat kebangsaan dan cinta tanah air agar dapat menumbuhkan manusia-manusia pembangunan yang dapat membangun dirinya sendiri serta bersama-sama bertanggung jawab atas pembangunan bangsa.
Sejalan dengan itu, dalam Undang-Undang No. 20, Tahun 2003, Pasal 3 disebutkan bahwa “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.”
Rumusan itu, bisa kita bandingkan dengan fakta yang terjadi. Bahwa ternyata, tujuan yang sempurna tersebut  masih jauh dari kenyataan. Bahkan dunia pendidikan di Indonesia kini sedang memasuki masa-masa yang sangat pelik. Kucuran anggaran pendidikan yang sangat besar disertai berbagai program terobosan sepertinya belum mampu memecahkan persoalan mendasar dalam dunia pendidikan, sebagaimana yang termaktub dalam konsep dan rumusan pendidikan  sesuai undang – undang di atas, yakni bagaimana mencetak alumni pendidikan yang unggul, yang beriman, bertaqwa, profesional, dan berkarakter.
Hal itu bisa kita lihat dari kondisi mentalitas masyarakat secara umum, yang tidak lain adalah hasil dari pendidikan itu sendiri. Selain itu, kita juga bisa melihat bagaimana hasil dari pendidikan itu diamalkan oleh para elite di kursi pemerintahan. Apalagi tahun ini adalah Musim Pilkada. Layar kaca dan media sosial bisa menjadi jendela yang terbuka lebar, bagaimana mentalitas Indonesia dipertontonkan.
Pada bingkai pemandangan yang lain, dalam sebuah catatan, kita bisa melihat gambaran mentalitas bangsa Indonesia, lewat karya yang ditulis oleh Prof. Hamka yang berjudul ‘Pribadi’ (Jakarta: Bulan Bintang, 1982, cet.ke-10). Dalam buku ini, Prof. Hamka memberikan gambaran tentang sosok manusia yang pandai tapi tidak memiliki pribadi yang unggul: ”Banyak guru, dokter, hakim, insinyur, banyak orang yang bukunya satu gudang dan diplomanya segulung besar, tiba dalam masyarakat menjadi ”mati”, sebab dia bukan orang masyarakat. Hidupnya hanya mementingkan dirinya, diplomanya hanya untuk mencari harta, hatinya sudah seperti batu, tidak mampunyai cita-cita lain dari pada kesenangan dirinya. Pribadinya tidak kuat. Dia bergerak bukan karena dorongan jiwa dan akal. Kepandaiannya yang banyak itu kerap kali menimbulkan takutnya. Bukan menimbulkan keberaniannya memasuki lapangan hidup.”
Selain itu, kita bisa mendapati kritik yang lebih tajam dan ‘mengena’ dari sebuah ulasan buku yang berjudul “Manusia Indonesia”. Sebuah buku yang ditulis oleh seorang Budayawan, Mochtar Lubis. Dalam ceramahnya di Taman Ismail Marzuki, 6 April 1977, Mochtar Lubis mendeskripsikan ciri-ciri umum manusia Indonesia bahwa manusia Indonesia itu cenderung punya sifat sifat munafik, enggan bertanggung jawab, berjiwa feodal, masih percaya takhayul, lemah karakter, cenderung boros, suka jalan pintas, dan sebagainya. Lebih jauh, Mochtar Lubis mendeskripsikannya sebagai berikut:



Pertama, Hipokrit. Muchtar Lubis menulis, “Salah satu ciri manusia Indonesia yang cukup menonjol ialah HIPOKRITIS alias MUNAFIK. Berpura-pura, lain di muka, lain di belakang, merupakan sebuah ciri utama manusia Indonesia sudah sejak lama, sejak mereka dipaksa oleh kekuatan-kekuatan dari luar untuk menyembunyikan apa yang sebenarnya dirasakannya atau dipikirkannya atau pun yang sebenarnya dikehendakinya, karena takut akan mendapat ganjaran yang membawa bencana bagi dirinya.”
Dalam proses mengajar saya sering bertanya di akhir pelajaran, “Semua sudah paham ?”. Siswa menjawab dengan keras, “Pahaam….”. “Ada yang belum dimengerti ?”. “Tidaak…”. Ternyata ucapan itu lain dari yang sebenarnya. Karena hampir setelah ujian digelar, hasilnya tidak demikian. Soal – soal yang sebenarnya sangat mudah dan sudah pernah dijelaskan, ternyata juga tidak bisa diselesaikan. Jawabannya ketika mereka ditanya, “Belum dipahami paak…”.
Kedua, enggan bertanggungjawab. “Ciri kedua utama manusia Indonesia masa kini adalah segan dan enggan bertanggung jawab atas perbuatannya, putusannya, kelakukannya, pikirannya, dan sebagainya. “Bukan saya” adalah kalimat yang cukup populer pula di mulut manusia Indonesia.”
Sepertinya, hal tersebut benar adanya. Ungkapan itu, juga kita bisa temui dari jawaban – jawaban Presiden kita, “Bukan Urusan Saya”.[3]
Ketiga, “Ciri ketiga utama manusia Indonesia adalah jiwa feodalnya. Meskipun salah satu tujuan revolusi kemerdekaan Indonesia ialah juga untuk membebaskan manusia Indonesia dari feodalisme, tetapi feodalisme dalam bentuk-bentuk baru makin berkembang dalam diri dan masyarakat manusia Indonesia.” Sikap feodal dapat dilihat dalam tata cara upacara resmi kenegaraan, dalam hubungan organisasi kepegawaian. Istri komandan atau istri menteri otomatis menjadi ketua, tak peduli kurang cakap atau tak punya bakat memimpin. Akibat jiwa feodal ini, yang berkuasa tidak suka mendengar kritik dan bawahan amat segan melontarkan kritik terhadap atasan.
 Keempat, Senang mempercayai Takhayul. “Ciri keempat utama manusia Indonesia adalah manusia Indonesia masih percaya takhayul. Dulu, dan sekarang juga, masih ada yang demikian, manusia Indonesia percaya bahwa batu, gunung, pantai, sungai, danau, karang, pohon, patung, bangunan, keris, pisau, pedang, itu punya kekuatan gaib, keramat, dan manusia harus mengatur hubungan khusus dengan ini semua…”
“Kemudian, kita membuat mantera dan semboyan baru, jimat-jimat baru, Tritura, Ampera, orde baru, the rule of law, pemberantasan korupsi, kemakmuran yang merata dan adil, insan pembangunan. Manusia Indonesia sangat mudah cenderung percaya pada menara dan semboyan dan lambang yang dibuatnya sendiri.”
Kelima, watak yang lemah.  “Ciri keenam manusia Indonesia punya watak yang lemah. Karakter kurang kuat. Manusia Indonesia kurang kuat mempertahankan atau memperjuangkan keyakinannya. Dia mudah, apalagi jika dipaksa, dan demi untuk “survive” bersedia mengubah keyakinannya. Makanya kita dapat melihat gejala pelacuran intelektual amat mudah terjadi dengan manusia Indonesia.”
Keenam, Senang dengan sifat boros. “Dia cenderung boros. Dia senang berpakaian bagus, memakai perhiasan, berpesta-pesta. Hari ini ciri manusia Indonesia ini menjelma dalam membangun rumah mewah, mobil mewah, pesta besar, hanya memakai barang buatan luar negeri, main golf, singkatnya segala apa yang serba mahal.”


“Dia lebih suka tidak bekerja keras, kecuali kalau terpaksa… atau dengan mudah mendapat gelar sarjana, sampai memalsukan atau membeli gelar sarjana, supaya segera dapat pangkat, dan dari kedudukan berpangkat cepat bisa menjadi kaya. Jadi priyayi, jadi pegawai negeri adalah idaman utama, karena pangkat demikian merupakan lambang status yang tertinggi.” (Dikutip dari Mochtar Lubis, Manusia Indonesia, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2001 dalam Adian Husaini, Pendidikan Islam Membentuk Manusia Berkarakter dan Beradab, ).
Sehingga, dari gambaran mentalitas tersebut, kita patut menaruh harapan besar, bagaimana bangsa yang memiliki potensi kualitas SDM ini mampu membangun kekuatan dan kemandirian. Yang tidak lain, basisnya ada pada pendidikan. Pendidikan harus betul- betul digarap dengan kerja keras, dan bebas dari berbagai macam kepentingan politik partisan. Agar tidak menjadi ajang coba – coba dan korban politik.
Karena pentingnya pendidikan, tidak heran ada yang meng-istilahkan pendidikan dengan ‘silent revolution’. Bahwa pendidikan adalah ‘revolusi senyap’, sebab perubahannya tidak terjadi dalam sekejap namun dalam waktu yang panjang tetapi perubahan yang dibawanya bersifat fundamental. Hal yang bisa kita lihat dari ungkapan Perdana Menteri Jepang, saat Hiroshima dan Nagasaki dijatuhi bom atom di Perang Dunia II. Ia mengatakan “berapa jumlah guru yang tersisa?”. Bahwa, kita harus membangun bangsa ini kembali dari pendidikan. Hal tersebut terbukti, Jepang pulih bahkan bangkit menjadi macan Asia yang disegani dunia.
Dalam ‘keresahan’ atau mungkin ‘ketidak-puasan’ akan sistem pendidikan yang ada, tentu semangat untuk mencari pendidikan alternatif semakin besar. Demikian halnya kemunculan buku – buku alternatif dari buku – buku yang ada juga sangat terbuka lebar. Termasuk yang dituliskan oleh Fuad abdul ‘aziiz as-Syalhub yang berjudul Asli al-Mu’allim al-awwal, Qudwah li Kulli Mu’allim wa al-Mu’allimah (Guru pertama, teladan bagi para guru). Buku ini ditulis dalam bahasa Arab yang diterjemahkan oleh Jamaluddin ke dalam Bahasa Indonesia (penerbit Darul Haq, Jakarta, cetakan VII, 2014) dengan tebal 192 halaman. Buku ini sepertinya mendapat sambutan luas dari pembaca sebab sudah naik dicetak sebanyak tujuh kali, dalam 4 tahun penerbitan.
Karena itu, menarik untuk membaca, dan menelaah (baca: bedah) buku ini, apalagi ditulis oleh orang yang berkecimpung dengan dunia pendidikan dan ilmu syari’i. Selain itu beliau juga pernah menulis kitab al-Adab yang berisi tentang adab – adab muslim sehari – hari. Dari situs yang beliau kelola ada sekitar 18 judul buku yang telah ia tulis.[4] (bersambung)




[1] Dibawakan pada acara bedah buku “Begini Seharusnya Menjadi Guru”, di Aula FIP Tidung UNM, Sabtu 18 Februari 2017
[2] Penulis, Motivator, Dai dan Kepala TK Iman al-Qurbah
[3] Sebuah tayangan video pendek juga bisa dilihat Bapak Presiden tertawa ketika ditanya oleh wartawan tentang sebuah twit yang dilontarka oleh Bapak SBY. Dalam video tersebut presiden sambil tertawa menjawa, “Kalau semua tanya ke Presiden, saya Tanya sama siapa ?”.
[4] Dari situs penulis, saaid.net kita bisa mendowload buku – buku penulis secara langsung. 18 buku itu adalah Rasaa’il ila mubta’its, Hisnu al-‘asyrah, Majaalis al-mu’miniin, Khulaashah min ahkaami al-haj wa al-‘umrah Majaalis ar-ramadhaaniyyah, Al-mu’allim al-awwal SAW, Al-imaam wa al-mu’adzdzin, Al-fawaa’id wa al-‘ibr min qishash al-anbiyaa’, Al-‘amal bi as-sunnah min jamii’I wujuuhihaa, Harbu ‘alaa irhaab am harbu ‘ala al-islaam, Qishash al-anbiyaa’, Risaalatu ilaa at-taajiru al-muslim, Ma’na qaulu ba’dha as-salaf anna al-‘asyaa’irah hum aqrabu at-thawaa’if ilaa ahli as-sunnah wa al-jamaa’ah, Kitaab al-adab, Shaid al-kitaab, Qiraa’atu fii aqiidati as-syii’ah al-imaamiyyah. Secara umum karya beliau menyangkut ilmu syar’I seperti aqidah dan fiqh.

No comments:

Post a Comment

 

Iklan Buku

Followers

Bincang-Bincang