Syamsuar
Hamka[2]
Berdasarkan hasil rumusan Komisi Pembaharuan Pendidikan Nasional, ditetapkan
bahwa pendidikan nasional ialah usaha dasar untuk membangun manusia Indonesia
seutuhnya, yaitu manusia yang bertaqwa kepada Tuhan yang Maha Esa, dengan
mengusahakan perkembangan kehidupan beragama, kehidupan yang berkepercayaan
terhadap Tuhan Yang Maha Esa, nilai budaya, pengetahuan, keterampilan, daya
estetik, dan jasmaninya sehingga dapat mengembangkan dirinya dan bersama-sama
dengan sesama manusia membangun masyarakatnya, serta membudayakan alam
sekitarnya. Rumusan pendidikan nasional tersebut dikukuhkan oleh Tap MPR No.
II/1983 GBHN yang menyatakan bahwa: Pendidikan berdasarkan Pancasila, bertujuan
untuk meningkatkan ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, Kecerdasan dan
Keterampilan, mempertinggi budi pekerti, memperkuat kepribadian, dan
mempertebal semangat kebangsaan dan cinta tanah air agar dapat menumbuhkan
manusia-manusia pembangunan yang dapat membangun dirinya sendiri serta
bersama-sama bertanggung jawab atas pembangunan bangsa.
Sejalan dengan itu, dalam Undang-Undang No. 20, Tahun 2003, Pasal 3
disebutkan bahwa “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan
membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka
mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta
didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha
Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi
warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.”
Rumusan itu, bisa kita bandingkan dengan fakta yang terjadi. Bahwa
ternyata, tujuan yang sempurna tersebut masih
jauh dari kenyataan. Bahkan dunia pendidikan di Indonesia kini sedang memasuki
masa-masa yang sangat pelik. Kucuran anggaran pendidikan yang sangat besar
disertai berbagai program terobosan sepertinya belum mampu memecahkan persoalan
mendasar dalam dunia pendidikan, sebagaimana yang termaktub dalam konsep dan
rumusan pendidikan sesuai undang –
undang di atas, yakni bagaimana mencetak alumni pendidikan yang unggul, yang
beriman, bertaqwa, profesional, dan berkarakter.
Hal itu bisa kita lihat dari kondisi mentalitas masyarakat secara
umum, yang tidak lain adalah hasil dari pendidikan itu sendiri. Selain itu,
kita juga bisa melihat bagaimana hasil dari pendidikan itu diamalkan oleh para elite
di kursi pemerintahan. Apalagi tahun ini adalah Musim Pilkada. Layar kaca dan
media sosial bisa menjadi jendela yang terbuka lebar, bagaimana mentalitas
Indonesia dipertontonkan.
Pada bingkai pemandangan yang lain, dalam sebuah catatan, kita bisa
melihat gambaran mentalitas bangsa Indonesia, lewat karya yang ditulis oleh
Prof. Hamka yang berjudul ‘Pribadi’ (Jakarta: Bulan Bintang, 1982, cet.ke-10). Dalam
buku ini, Prof. Hamka memberikan gambaran tentang sosok manusia yang pandai
tapi tidak memiliki pribadi yang unggul: ”Banyak guru, dokter, hakim, insinyur,
banyak orang yang bukunya satu gudang dan diplomanya segulung besar, tiba dalam
masyarakat menjadi ”mati”, sebab dia bukan orang masyarakat. Hidupnya hanya
mementingkan dirinya, diplomanya hanya untuk mencari harta, hatinya sudah
seperti batu, tidak mampunyai cita-cita lain dari pada kesenangan dirinya.
Pribadinya tidak kuat. Dia bergerak bukan karena dorongan jiwa dan akal. Kepandaiannya
yang banyak itu kerap kali menimbulkan takutnya. Bukan menimbulkan
keberaniannya memasuki lapangan hidup.”
Selain itu, kita bisa mendapati kritik yang lebih tajam dan ‘mengena’
dari sebuah ulasan buku yang berjudul “Manusia Indonesia”. Sebuah buku yang
ditulis oleh seorang Budayawan, Mochtar Lubis. Dalam ceramahnya di Taman Ismail
Marzuki, 6 April 1977, Mochtar Lubis mendeskripsikan ciri-ciri umum manusia
Indonesia bahwa manusia Indonesia itu cenderung punya sifat sifat munafik,
enggan bertanggung jawab, berjiwa feodal, masih percaya takhayul, lemah
karakter, cenderung boros, suka jalan pintas, dan sebagainya. Lebih jauh,
Mochtar Lubis mendeskripsikannya sebagai berikut:
Pertama, Hipokrit. Muchtar Lubis menulis, “Salah satu ciri manusia Indonesia
yang cukup menonjol ialah HIPOKRITIS alias MUNAFIK. Berpura-pura, lain di muka,
lain di belakang, merupakan sebuah ciri utama manusia Indonesia sudah sejak
lama, sejak mereka dipaksa oleh kekuatan-kekuatan dari luar untuk
menyembunyikan apa yang sebenarnya dirasakannya atau dipikirkannya atau pun
yang sebenarnya dikehendakinya, karena takut akan mendapat ganjaran yang
membawa bencana bagi dirinya.”
Dalam proses mengajar saya sering bertanya di akhir pelajaran,
“Semua sudah paham ?”. Siswa menjawab dengan keras, “Pahaam….”. “Ada yang belum
dimengerti ?”. “Tidaak…”. Ternyata ucapan itu lain dari yang sebenarnya. Karena
hampir setelah ujian digelar, hasilnya tidak demikian. Soal – soal yang
sebenarnya sangat mudah dan sudah pernah dijelaskan, ternyata juga tidak bisa
diselesaikan. Jawabannya ketika mereka ditanya, “Belum dipahami paak…”.
Kedua, enggan bertanggungjawab. “Ciri kedua utama manusia Indonesia masa
kini adalah segan dan enggan bertanggung jawab atas perbuatannya, putusannya,
kelakukannya, pikirannya, dan sebagainya. “Bukan saya” adalah kalimat yang
cukup populer pula di mulut manusia Indonesia.”
Sepertinya, hal tersebut benar adanya. Ungkapan itu, juga kita bisa
temui dari jawaban – jawaban Presiden kita, “Bukan Urusan Saya”.[3]
Ketiga, “Ciri ketiga utama manusia Indonesia adalah jiwa feodalnya.
Meskipun salah satu tujuan revolusi kemerdekaan Indonesia ialah juga untuk
membebaskan manusia Indonesia dari feodalisme, tetapi feodalisme dalam
bentuk-bentuk baru makin berkembang dalam diri dan masyarakat manusia
Indonesia.” Sikap feodal dapat dilihat dalam tata cara upacara resmi
kenegaraan, dalam hubungan organisasi kepegawaian. Istri komandan atau istri
menteri otomatis menjadi ketua, tak peduli kurang cakap atau tak punya bakat
memimpin. Akibat jiwa feodal ini, yang berkuasa tidak suka mendengar kritik dan
bawahan amat segan melontarkan kritik terhadap atasan.
Keempat, Senang mempercayai Takhayul. “Ciri
keempat utama manusia Indonesia adalah manusia Indonesia masih percaya
takhayul. Dulu, dan sekarang juga, masih ada yang demikian, manusia Indonesia
percaya bahwa batu, gunung, pantai, sungai, danau, karang, pohon, patung,
bangunan, keris, pisau, pedang, itu punya kekuatan gaib, keramat, dan manusia
harus mengatur hubungan khusus dengan ini semua…”
“Kemudian, kita membuat mantera dan semboyan baru, jimat-jimat
baru, Tritura, Ampera, orde baru, the rule of law, pemberantasan
korupsi, kemakmuran yang merata dan adil, insan pembangunan. Manusia Indonesia
sangat mudah cenderung percaya pada menara dan semboyan dan lambang yang
dibuatnya sendiri.”
Kelima,
watak yang lemah. “Ciri keenam manusia
Indonesia punya watak yang lemah. Karakter kurang kuat. Manusia Indonesia
kurang kuat mempertahankan atau memperjuangkan keyakinannya. Dia mudah, apalagi
jika dipaksa, dan demi untuk “survive” bersedia mengubah keyakinannya. Makanya
kita dapat melihat gejala pelacuran intelektual amat mudah terjadi dengan manusia
Indonesia.”
Keenam, Senang
dengan sifat boros. “Dia cenderung boros. Dia senang berpakaian bagus, memakai
perhiasan, berpesta-pesta. Hari ini ciri manusia Indonesia ini menjelma dalam
membangun rumah mewah, mobil mewah, pesta besar, hanya memakai barang buatan
luar negeri, main golf, singkatnya segala apa yang serba mahal.”
“Dia
lebih suka tidak bekerja keras, kecuali kalau terpaksa… atau dengan mudah
mendapat gelar sarjana, sampai memalsukan atau membeli gelar sarjana, supaya
segera dapat pangkat, dan dari kedudukan berpangkat cepat bisa menjadi kaya.
Jadi priyayi, jadi pegawai negeri adalah idaman utama, karena pangkat demikian
merupakan lambang status yang tertinggi.” (Dikutip dari Mochtar Lubis, Manusia
Indonesia, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2001 dalam Adian Husaini,
Pendidikan Islam Membentuk Manusia Berkarakter dan Beradab, ).
Sehingga, dari gambaran mentalitas tersebut, kita patut menaruh
harapan besar, bagaimana bangsa yang memiliki potensi kualitas SDM ini mampu
membangun kekuatan dan kemandirian. Yang tidak lain, basisnya ada pada pendidikan.
Pendidikan harus betul- betul digarap dengan kerja keras, dan bebas dari
berbagai macam kepentingan politik partisan. Agar tidak menjadi ajang coba –
coba dan korban politik.
Karena pentingnya pendidikan, tidak heran ada yang meng-istilahkan
pendidikan dengan ‘silent revolution’. Bahwa pendidikan adalah ‘revolusi
senyap’, sebab perubahannya tidak terjadi dalam sekejap namun dalam waktu yang
panjang tetapi perubahan yang dibawanya bersifat fundamental. Hal yang bisa
kita lihat dari ungkapan Perdana Menteri Jepang, saat Hiroshima dan Nagasaki
dijatuhi bom atom di Perang Dunia II. Ia mengatakan “berapa jumlah guru yang
tersisa?”. Bahwa, kita harus membangun bangsa ini kembali dari pendidikan. Hal
tersebut terbukti, Jepang pulih bahkan bangkit menjadi macan Asia yang disegani
dunia.
Dalam ‘keresahan’ atau mungkin ‘ketidak-puasan’ akan sistem
pendidikan yang ada, tentu semangat untuk mencari pendidikan alternatif semakin
besar. Demikian halnya kemunculan buku – buku alternatif dari buku – buku yang
ada juga sangat terbuka lebar. Termasuk yang dituliskan oleh Fuad abdul ‘aziiz as-Syalhub
yang berjudul Asli al-Mu’allim al-awwal, Qudwah li Kulli Mu’allim wa
al-Mu’allimah (Guru pertama, teladan bagi para guru). Buku ini ditulis
dalam bahasa Arab yang diterjemahkan oleh Jamaluddin ke dalam Bahasa Indonesia
(penerbit Darul Haq, Jakarta, cetakan VII, 2014) dengan tebal 192 halaman. Buku
ini sepertinya mendapat sambutan luas dari pembaca sebab sudah naik dicetak
sebanyak tujuh kali, dalam 4 tahun penerbitan.
Karena itu, menarik untuk membaca, dan menelaah (baca: bedah) buku
ini, apalagi ditulis oleh orang yang berkecimpung dengan dunia pendidikan dan ilmu
syari’i. Selain itu beliau juga pernah menulis kitab al-Adab yang berisi
tentang adab – adab muslim sehari – hari. Dari situs yang beliau kelola ada
sekitar 18 judul buku yang telah ia tulis.[4]
(bersambung)
[1]
Dibawakan pada acara bedah buku “Begini Seharusnya Menjadi Guru”, di Aula FIP
Tidung UNM, Sabtu 18 Februari 2017
[2]
Penulis, Motivator, Dai dan Kepala TK Iman al-Qurbah
[3] Sebuah
tayangan video pendek juga bisa dilihat Bapak Presiden tertawa ketika ditanya oleh
wartawan tentang sebuah twit yang dilontarka oleh Bapak SBY. Dalam video
tersebut presiden sambil tertawa menjawa, “Kalau semua tanya ke Presiden, saya
Tanya sama siapa ?”.
[4]
Dari situs penulis, saaid.net kita bisa mendowload buku – buku penulis secara
langsung. 18 buku itu adalah Rasaa’il ila mubta’its, Hisnu al-‘asyrah,
Majaalis al-mu’miniin, Khulaashah min ahkaami al-haj wa al-‘umrah Majaalis
ar-ramadhaaniyyah, Al-mu’allim al-awwal SAW, Al-imaam wa al-mu’adzdzin,
Al-fawaa’id wa al-‘ibr min qishash al-anbiyaa’, Al-‘amal bi as-sunnah min
jamii’I wujuuhihaa, Harbu ‘alaa irhaab am harbu ‘ala al-islaam, Qishash
al-anbiyaa’, Risaalatu ilaa at-taajiru al-muslim, Ma’na qaulu ba’dha as-salaf
anna al-‘asyaa’irah hum aqrabu at-thawaa’if ilaa ahli as-sunnah wa al-jamaa’ah,
Kitaab al-adab, Shaid al-kitaab, Qiraa’atu fii aqiidati as-syii’ah
al-imaamiyyah. Secara umum karya beliau menyangkut ilmu syar’I seperti
aqidah dan fiqh.
No comments:
Post a Comment