Apa yang dibahas ?
Buku ini mencoba
mendudukkan kembali proses pendidikan dalam sudut pandang Islam. Dimana selama
ini, pendidikan diwarnai dengan pandangan – pandangan sekuler yang mendikotomi
aspek ilmu umu dan ilmu agama. Bahkan ilmu agama justru dijadikan – hanya –
sekedar pelengkap dari pendidikan yang diamanahkan untuk Negara dalam membangun
manusia Indonesia.
Pendidikan
sekuler banyak dikritik oleh para pemikir bahkan para ulama. Sebab pendidikan
sekuler justru mencerai-beraikan manusia. Lebih jauh, pendidikan sekuler
memisahkan dua unsur paling vital manusia dari dirinya sendiri, akal dan qalbu.
Kita banyak
mendapati, bahwa pendidikan di negeri kita hanya mengembangkan akal. Kita
menganggap bahwa kualitas dan tingkat kognitif adalah salah satu indikator
penting dalam kemajuan. Meski ternyata, nilai hanya menyelesaikan proses
administrasi (semata).
Pendidikan
sekuler memang juga adalah tantangan bagi kita semua sebagai muslim. Sebab
dalam kerangka pendidikan yang memuat landasan, tujuan, kurikulum, metode,
serta evaluasi, sedikit banyak berbeda dari teori – teori yang dirumuskan oleh
para pemikir dan ulama muslim dengan teori – teori hasil pemikiran dari dunia
Barat.
Tidak perlu
jauh, sebut saja Teori Evolusi. Dalam pelajaran biologi, saya sering berjumpa
dengan orang yang mengalami nasib yang sama dengan saya. Bahwa ketika ditanyakan “Siapa manusia
pertama ?”, jawabannya di-framing dalam dua opsi. Menurut sains, “makhluk
sejenis kera (hominid)” dan menurut agama adalah “Nabi Adam”.
Bagi saya,
jawaban seperti ini terus ‘berkecamuk’ dalam pikiran saya. Sebab tidak mungkin
kedua jawaban itu memiliki nilai kebenaran yang sama. “Apakah adam adalah
kera?”, tidak mungkin!. Al-Qur’an jelas menyebutkan bahwa manusia diciptakan
dengan model yang sebaik – baiknya (sesungguhnya Kami telah menciptakan
manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya [QS at-Tiin:4])
Hingga saatnya
saya menemukan bacaan yang membahas masalah itu, begitu pula dari beberapa
ceramah tentangnya. Bahwa bagi pendidikan sekuler, jawaban seperti itu adalah
lumrah. Sebab agama adalah satu bagian dari materi pendidikan, bukan dasar dari
pendidikan itu sendiri.
Dalam islam,
posisi al-Qur’an dan hadits sangat vital. Bahkan dalam rumusan berbagai aspek
kehidupan, sangat jelas dipaparkan bagaimana menjalankan proyek beserta SOP
(standar Operasional Prosedurnya) sudah dijelaskan. Sehingga dalam pendidikan
pun, landasan yang paling utama adalah al-Qur’an dan Hadits Nabi SAW.
Menjauhkan ilmu dan proses pendidikan dari dua sumber ini, akan cukup
‘berbahaya’. Sebab ilmuwan dan ulama – ulama muslim dulu mengembankan ilmu
pengetahuan dan membangun research centre, serta universitas –
universitas adalah hasil dari spirit beragama. Sebab dalam Islam, ilmu sangat
dimuliakan.
Dalam satu
hadits, disebutkan,
سنن الترمذي - عَنْ
أَبِي أُمَامَةَ الْبَاهِلِيِّ قَالَ
ذُكِرَ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَجُلَانِ
أَحَدُهُمَا عَابِدٌ وَالْآخَرُ عَالِمٌ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَضْلُ الْعَالِمِ عَلَى الْعَابِدِ كَفَضْلِي عَلَى
أَدْنَاكُمْ ثُمَّ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ
اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ وَأَهْلَ السَّمَوَاتِ وَالْأَرَضِينَ حَتَّى النَّمْلَةَ
فِي جُحْرِهَا وَحَتَّى الْحُوتَ لَيُصَلُّونَ عَلَى مُعَلِّمِ النَّاسِ الْخَيْرَ
Dari
Abu Umamah al-Bahiliy radhiyallahu’anhu berkata disebutkan kepada Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam tentang 2 orang, yang pertama adalah ahli ibadah
dan yang kedua adalah orang berilmu. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
bersabda “keutamaan orang berilmu di atas orang ahli ibadah seperti diriku di
atas orang yang paling rendah di antara kalian”. Kemudian beliau shallallahu
‘alaihi wasallam bersabda ”sesungguhnya Allah dan para malaikat dan penduduk
langit dan bumi sampai semut di dalam lubangnya dan ikan-ikan di laut
bershalawat kepada yang mengajarkan agama kepada manusia” (HR. Tirmidzi)
Satu hadits ini
cukup mewakilkan bagaimana penghargaan islam terhadap ilmu. Bahwa orang yang
menuntut ilmu didoakan (shalawat) oleh semua makhluk, bahkan para malaikat.
Bahkan orang berilmu jauh lebih tinggi derajatnya dibanding dengan orang yang
sekedar ahli ibadah saja.
Itulah yang dimunculkan oleh Fuad as-Syalhub dalam buku ini. Buku
ini berisi konsep – konsep dasar, bahkan teori – teori yang disaring langsung
dari sumber murninya yaitu al-Qur’an dan Hadits. Paparan serta metode
pendalilan sangat lugas dan bernas, sehingga dengan mendalami buku ini, kita
bisa melihat secara jernih, “Bagaimana sih, pendidikan dalam islam itu
?”. hal tersebut diungkapkan dalam sebuah ulasan untuk buku ini,
يأتي هذا
الكتاب من تأليف الأستاذ الفاضل/ فؤاد الشلهوب، ليلقي الضوء على صفات المعلم وطرق
التدريس وغيرها، مستندا في كل فقرة إلى شيء من أفعال رسول الله صلى الله عليه وسلم
وأقواله، ولنا في رسول الله أسوة حسنة، مما جعل للكتاب قوة ورصانة، وتشويقا وبلاغة.[1]
Buku
ini ditulis oleh Fuad Al-Syalhub, untuk menjelaskan karakteristik guru dan
metode pengajaran, dan lain – lain yang didasarkan pada perbuatan Rasulullah,
saw dan kata-katanya, sementara bagi kita Rasulullah SAW adalah teladan yang
baik, menjadikan buku ini memiliki kekuatan dan menarik dalam penuturannya.
Penulis Buku "Mu'allim al-Awwal" |
Selain itu,
buku ini mengembalikan konsep – konsep dasar pendidikan dalam islam pada
karakter islam itu sendiri. Disertai dengan role model. Bahwa jika kita
berbicara konsep pendidikan (kurikulum, metode, dll), cara yang paling
sederhana adalah untuk menilai apakah konsep itu berhasil atau tidak, adalah
melihat bagaimana penerapannya. Apakah out-put-nya jelas terstandarisasi
kualifikasinya dengan baik. Dan apakah konsep itu, bisa dijalankan atau tidak.
Sebab sehebat apa pun konsep pendidikan tanpa ada role model, itu hanya
ada dalam angan – angan.
Pendidikan
dalam islam, dalam penekanan buku ini tidak lain adalah bagaimana
implementasinya oleh al-Mua’llim al-Awwal, yaitu Nabi Muhammad SAW.
Dalam buku ini,
konsep – konsep yang diutarakan sangatlah jelas bisa diterapkan. Sebab itu
sudah pernah terjadi. Bagaimana metode serta interaksi antara guru dan murid
itu berlangsung. Sehingga kita tidak kesulitan mencari bagaimana ‘wujud nyata’
dari teori – teori pendidikan itu. Dalam buku ini, secara khusus, bagaimana
guru yang baik itu, jawabannya adalah, “Ya, lihat bagaimana cara Nabi SAW
mendidik para sahabat”.
Hasilnya juga
bukan main – main, sebab dengan panduan qur’an yang dilengkapi dengan hadits
Nabi SAW dengan kepemimpinan beliau, bangsa Arab yang ‘biadab’ dalam tempo 23
tahun berubah menjadi bangsa ‘beradab’. Dan dalam periode berikutnya, murid –
murid didikan Nabi SAW memperlihatkan keberhasilannya dalam mengelola Negara. Secara
ringkas kita bisa melihat sejarah kegemilangan dalam masa pemerintahan Umar ibn
Abdul Aziz yang hanya memimpin 2,5 Tahun, namun kesejahteraan merata pada saat
itu.
Keberhasilan
itu, tidak lain karena ditunjang oleh ulama – ulama yang faqih, zuhud dan
tawadhu, pemimpin atau khalifah yang adil, orang – orang shalih, serta pedagang
yang jujur. Dalam sebuah slogan Universitas Granada, Spanyol di abad keemasan
Islam dituliskan “Dunia hanya terdiri dari empat unsur: Pengetahuan orang
bijak, Keadilan Penguasa, doa Orang Saleh dan Keberanian Kesatria”. Keempat unsur
itu membentuk sebuah struktur sosial yang mapan. Sehingga seharusnya tujuan
pendidikan ke arah empat standar tadi. Orang berilmu, pemimpin, orang shalih
dan mujahid atau pejuang.
Bahkan jauh
sebelumnya, pada fase masyarakat Madinah (pada masa Nabi), dianggap sebagai
sebuah masyarakat yang menjadi puncak peradaban Islam. Sebab dalam Islam,
puncak kegemilangan sebuah peradaban adalah ketika peradaban itu menghasilkan
manusia – manusia beradab.[2]
Bukan menghasilkan patung atau karya – karya seni belaka. Pusat dari pembangunan
peradaban islam adalah ada pada manusia itu sendiri.
Oleh sebab itu,
banyak kita dapati dari referensi – referensi sejarah, bagaimana mentalitas
bangsa Arab yang Ummiy berubah total dalam kinerja proses pendidikan
islam. Bangsa arab yang tidak mementingkan membaca, menjadi bangsa yang ‘gila
membaca’. Begitu pula dalam menulis. Lahir ratusan ribu kitab dari tradisi ilmu
yang diasuh dalam kerangka peradaban dan pendidikan islam.
Karena itu,
guru – guru muslim seharusnya tampil terdepan menjadi pendidik – pendidik yang
berjuang melahirkan generasi – generasi yang memiliki keutuhan pribadi yang syamil
dan mutakamil (sempurna dan paripurna). Seorang guru jika ia mendidik
calon polisi, ia harus bisa menghasilkan polisi yang shalih. Demikian halnya
dokter, tentara, atau arsitek. Dokter – dokter yang lahir adalah dokter –
dokter yang bertaqwa, tentara yang hafidz, arsitek yang faqih. Bukan hanya
sekedar pandai dalam bidangnya, sementara bodoh terhadap ilmu agama. Pandai
ilmu dunia, tetapi tidak punya ilmu akhirat.
Dalam al-Qur’an Allah SWT mencela orang – orang demikian,
يَعۡلَمُونَ ظَٰهِرٗا مِّنَ ٱلۡحَيَوٰةِ
ٱلدُّنۡيَا وَهُمۡ عَنِ ٱلۡأٓخِرَةِ هُمۡ غَٰفِلُونَ ٧
Mereka
hanya mengetahui yang lahir (saja) dari kehidupan dunia; sedang mereka tentang
(kehidupan) akhirat adalah lalai (QS Rum: 7)
Dalam satu hadits disebutkan, bahwa Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ
تَعَلَّمَ عِلْمًا مِمَّا يُبْتَغَى بِهِ وَجْهُ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ لاَ
يَتَعَلَّمُهُ إِلاَّ لِيُصِيبَ بِهِ عَرَضًا مِنَ الدُّنْيَا لَمْ يَجِدْ عَرْفَ
الْجَنَّةِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
“Barangsiapa
yang mempelajari suatu ilmu (belajar agama) yang seharusnya diharap adalah
wajah Allah, tetapi ia mempelajarinya hanyalah untuk mencari harta benda dunia,
maka dia tidak akan mendapatkan wangi surga di hari kiamat.” (HR. Abu Daud no.
3664, Ibnu Majah no. 252 dan Ahmad 2: 338. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa
hadits ini shahih).[3]
Oleh karenanya,
kedudukan ilmu dalam islam sangatlah tinggi. Umar r.a. berkata: ”Kematian
seribu ’abid (ahli ibadah) yang mendirikan malam dan puasa di siang hari adalah
lebih ringan daripada kematian seorang ’alim yang mengetahui apa yang
dihalalkan dan yang diharamkan oleh Allah.”
Demikianlah hal
yang ditunjukkan oleh buku ini. Dalam buku ini, dibagi menjadi tiga bagian
besar. Bagian Pertama, Karakter yang mesti dimiliki seorang Guru (Pengajar).
Bagian kedua, Tugas dan Kewajiban Guru. Bagian ketiga, Sistem dan Metode
Mengajar.
Bagian Pertama
membahas 11 poin yang digali dari al-Qur’an dan hadits Nabi SAW. Bahwa seorang
pengajar, setidaknya punya 11 karakter dasar. Ikhlas, jujur, serasi antara kata
dan perbuatan, adil, berakhlaq mulia, tawadhu’, bisa bercanda, sabar,
menghindari perkataan keji, serta berkonsultasi dengan orang lain. Dalam
memaparkan dalil – dalilnya, Fuad as-Syalhub mengakhiri poin – poin
pembahasannya dengan kesimpulan, sehingga bisa lebih mudah untuk dipahami.
Pada bagian
kedua terdiri atas 7 poin yang menjadi tugas dan kewajiban guru. Diantaranya
yang paling penting adalah menanamkan akidah yang benar dan memantapkan
kualitas iman para peserta didik.
Dalam uraiannya
pada masalah ini, Fuad as-Syalhub mengutip QS Fusshilat: 39,
وَمِنۡ
ءَايَٰتِهِۦٓ أَنَّكَ تَرَى ٱلۡأَرۡضَ خَٰشِعَةٗ فَإِذَآ أَنزَلۡنَا عَلَيۡهَا
ٱلۡمَآءَ ٱهۡتَزَّتۡ وَرَبَتۡۚ إِنَّ ٱلَّذِيٓ أَحۡيَاهَا لَمُحۡيِ ٱلۡمَوۡتَىٰٓۚ
إِنَّهُۥ عَلَىٰ كُلِّ شَيۡءٖ قَدِيرٌ ٣٩
Dan
di antara tanda-tanda-Nya (Ialah) bahwa kau lihat bumi kering dan gersang, maka
apabila Kami turunkan air di atasnya, niscaya ia bergerak dan subur.
Sesungguhnya Tuhan Yang menghidupkannya, Pastilah dapat menghidupkan yang mati.
Sesungguhnya Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu
Ayat ini menjadi dasar bahwa setiap ilmu, apalagi secara khusus
ilmu alam dapat menjadi sarana pengembangan ilmu dan keimanan secara
beriringan. Sehingga ilmu dan iman menjadi padu dalam diri murid. Fuad
menuliskan
فيا
ليت المعلمين يحسنون الربطت بين الظواهر الطبعية وبين أمور العقيدة ...
“Aduhai sekiranya para guru mampu mengkorelasikan antara fenomena
alam dengan perkara akidah”[4].
Ayat – ayat
kauniyah juga adalah ayat Allah yang harus dibaca, selain dari ayat – ayat
qauliyah. Dan tidak ada perbedaan antara ayat – ayat kauniyah dan ayat – ayat
qauliyah.
Prof. Majid
Irsan Al-Kilani dalam
bukunya, Filsafat Pendidikan Islam, menyatakan hubungan manusia dengan alam
adalah hubungan ‘penundukan’ (at-taskhir). Bahwa indera manusia adalah
alat untuk memahami alam agar ia mengetahui rahasia – rahasia dari hukum –
hukum alam yang tetap, dan juga membacanya untuk semakin mendekatkannya pada
Allah SWT. Ia berkomentar untuk tiga perangkat ilmu manusia (pendengaran,
penglihatan, dan hati),
وكما يجب علي كل فرد أن
يستعمل هذه الأجهزة الثلاثة لنجاته في الآخرة فانه يجب علي البشرية ـ و علي الدوام
ـ ان تتدرب علي حسن استخدام هذه الأجهزة لنجاتها في الحية الدنيا. والتدريب علي
حسن هذه الإ ستخدام هو وظيفة التربية الصحيحة[5]
Dan sebagaimana
wajib bagi setiap individu untuk menggunakan ketiga perangkat tersebut (pendengaran,
penglihatan dan hati – pen.) untuk kesuksesan di akhirat, maka sesungguhnya
juga wajib bagi manusia untuk mengasah dan menggunakannya dengan pengaplikasian
yang baik untuk memperoleh kesuksesan dalam kehidupan dunia. Dan pengasahan
terhadap perangkat tersebut adalah tugas dan tanggung jawab dari pendidikan
yang benar.
Syaikh Dr. Majid Irsan al-Kailani |
Tugas dari
pendidikan adalah mengasah kemampuan itu, agar indera dan hatinya semakin tajam
dalam ilmu dan penguasaan sains dan teknologi, serta semakin meningkat iman dan
kedekatannya kepada Allah SWT. (bersambung)
[1]
http://www.qk.org.sa/vb/archive/index.php/t-7741.html (diakses Kamis, 16
Februari 2017, Pukul 15.40 Wita)
[2] Tujuan
utama Pendidikan Islam, menurut Prof. Syed Muhammad Naquib al-Attas, dalam
bukunya, Islam and Secularism, (Kuala Lumpur, ISTAC, 1993), adalah untuk
menghasilkan orang yang baik (to produce a good man). Kata al-Attas, “The aim of
education in Islam is therefore to produce a goodman… the fundamental element
inherent in the Islamic concept of education is the inculcation of adab.”
(Adian Husaini, Pendidikan Islam, membentuk Manusia Berkarakter dan Beradab,
Jakarta: Cakrawala Publishing, 2010, hlm. Vii)
[3] Sumber :
https://rumaysho.com/7252-belajar-agama-hanya-untuk-mencari-dunia.html (diakses,
jumat 17 Februari 2017, Pukul 10.10 WITA)
[4] Fuad
as-Syalhub, Begini Seharusnya Menjadi Guru, Jakarta: Darul Haq, 2014,
hlm. 54
[5] Majid
Irsan al-Kailani, Falsafatu at-Tarbiyah al-Islamiyah, hlm. 116
No comments:
Post a Comment