Pada bagian
ketiga, Fuad mengemukakan 20 Sistem dan Metode Mengajar. Pada bagian ini,
secara khusus ia mengutarakan bagaimana metode Nabi SAW dalam mengajar murid –
muridnya. Diantaranya adalah metode kisah, praktik (peragaan), permisalan
(analogi), isyarat, pengulangan (repetisi), tanya jawab, dan lain – lain.
Dari pemaparan
Fuad, setidaknya kita bisa melihat bagaimana seorang Role Model, sebagai
guru yang menjadi rujukan para pengajar menerapkan tiga jenis transfer kepada
para peserta didik, yaitu:
1.
Transfer of
Knowledge (pengetahuan)
2.
Transfer of
Value (nilai)
3.
Transfer of
Hidayah (hidayah)
Ketiga jenis
transfer ini dipraktikkan langsung oleh Nabi SAW. Selain pengetahuan, Nabi juga
mentransfer prinsip – prinsip yang harus diperpegangi oleh murid – muridnya
berupa nilai yang tidak bisa diajarkan secara teori (belaka). Selain itu, ada
transfer yang jauh lebih penting dari itu semua. Yaitu ‘transfer of hidayah’.
Dimana ilmu, hikmah dan petunjuk itu merasuk ke dalam diri murid dipandu dengan
hidayah Allah SWT dengan usaha guru.
Sampai hari ini, belum ada metode pendidikan yang khusus membahas bagaimana ‘transfer
of hidayah’ itu bisa dilakukan oleh seorang guru kepada muridnya.
Padahal ini
sudah dipraktikkan oleh Rasulullah SAW. Kita bisa lihat dalam beberapa kisah.
Misalnya, kisah ketika Nabi SAW ketika menasihati orang yang mau berzina dan kisah
Nabi SAW ketika mengajar Abu Hurairah RA saat lapar. Membutuhkan ruang yang
cukup panjang untuk dibahas dalam makalah ini. Insya Allah akan disampaikan
secara verbal dalam penyajian materi.
Dari kisah itu,
kita bisa melihat bahwa seorang guru harus punya karisma yang mengetahui secara
dalam karakter akan didiknya. Imam Waki’, guru Imam Syafi’I menunjukkan hal
tersebut. Bahwa tatkala Syafi’i kecil dibawa oleh ibunya untuk belajar pada Waki’,
Imam Waki’ sudah membaca potensi anak didiknya. Inni raitu nuuran fii
ainaihi, sesungguhnya saya melihat cahaya pada kedua matanya. Dan ketika
Imam Syafi’i kecil terganggu dalam belajarnya, ia menasihatkan agar menjauhi
maksiat.[1]
Sehingga
seorang guru jika melihat seseorang susah memahami ilmu, didatangi penyakit
malas, prestasinya menurun, atau mungkin sering mendapatkan masalah, maka guru
itu bukan hanya memberikan konseling dengan petunjuk yang umum tentang metode
belajar, masalah psikis dan lain- lain, tapi dengan nasihat, “Mungkin engkau
jauh dari Allah nak, Mungkin engkau kurang tahajjudmu, Mungkin engkau kurang
dekat dengan Allah, sehingga kamu kurang memahami pelajaran. Coba perbaiki
sholatmu. Coba perbanyak baca qur’an”.
Oleh karenanya,
KH. Ahmad Zarkasyi, salah seorang pendiri Pesantren Modern Gontor, menyebutkan
satu kaidah yang sangat mulia, “at-Thariqatu ahammu min al-maaddah, wa
al-Mudarrisu ahammu min at-thariqah, wa ar-Ruuh al-Mudarrisu ahammu min Mudarris
nafsuhu” (metode lebih penting dari isi,
guru lebih penting dari metode, akan tetapi jiwa guru jauh lebih penting dari
guru itu sendiri).
Sehingga disinilah tugas guru sebenarnya. Sebab masalah bangsa yang
tidak lain juga adalah masalah mental, sebagaimana paparan Moctar Lubis di
bagian pembuka. Masalah mentalitas adalah masalah bangsa yang sangat serius.
Bukan sekedar urusan Kementerian Pendidikan semata. Sebab, Presiden, menteri,
anggota DPR, dan para pejabat lainnya harus memberi teladan.
Kalau para tokoh agama, dosen, guru, pejabat, telah terjangkiti
virus cinta dunia, serakah, mencintai kehormatan karena jabatan, dan harta
ketimbang kehormatan karena ilmu, serta tidak sejalan antara kata dan
perbuatan, maka yakinlah, berapa pun dana yang dikucurkan untuk membangun
pendidikan di negeri hanya akan jadi ‘omong – kosong – (Wallohu a’lam bi
as-Showab).
[1]
Sangat terkenal sajak Imam Syafi’i dalam merekam kejadian itu,
Saya mengadu kepada waqi’ tentang buruknya
hafalanku
Maka ia menasihatkan untuk meninggalkan
maksiat
Dan ia pun mengatakan bahwa ilmu adalah cahaya
Dan cahaya Allah tidak akan diberikan kepada
pelaku maksiat
No comments:
Post a Comment