(Bangkitlah
wahai Pemuda)
Berkata
Ibnu Abbas : “ Tak ada seorang nabipun yang diutus Allah, melainkan ia
(dipilih) dari kalangan pemuda saja (yakni 30-40 tahun). Begitu pula tidak
seorang ‘alim pun yang diberi ilmu, melainkan ia dari kalangan pemuda”.
Setiap gerakan yang ada, memiliki
fokus tujuan masing-masing. Setiap lembaga mempunyai arah dan kompas yang
membimbing mereka sampai pada titik akhir perjuangannya. Tanpa misi serta visi
yang jelas, sebuah lembaga akan menjadi (laksana) kapal tanpa tujuan. Kapal itu
hanya akan terus terombang-ambing di tengah arus dan gelombang laut. Jika
nahkoda dan para awaknya hanya menikmati ayunan gelombang itu, suatu saat
mereka akan sadar bahwa tidak selamanya gelombang laut itu tenang. Suatu waktu
akan ada badai, dan hempasan angin yang akan membuat kapal karam dan tenggelam.
Seperti itulah gambaran sebuah
organisasi. Sebuah jamaah dakwah yang memiliki fasilitas, punya kader, dan
kekuatan finansial jika tidak memiliki visi, akan berujung pada ‘comfort zone’,
zona nyaman. Zona di mana para pengurusnya hanya menikmati fasilitas, posisi
dan tidak lagi punya sensitivitas dakwah dan perjuangan. Mereka akan tumbuh dan
mewarisi nilai yang keliru. Mereka akan lupa dengan perjuangan para pendahulunya
yang mati-matian mempertahankan eksistensi lembaganya, serta kemurnian manhaj
perjuangannya.
Jika sebuah generasi lahir tanpa
warisan nilai, mereka akan berada di persimpangan. Crossroad. Karena
mereka tidak punya pijakan yang mantap. Dan mereka tidak akan berani menatap
masa depan, karena mereka tikda tahu untuk apa mereka harus menjadi seorang
pejuang.
Kemudahan fasilitas, serta kultur
masyarakat sosial yang mudah tersentuh dakwah akan membuat dakwah juga
sedikit-demi sedikit menjadi lemah, apalagi jika dipimpin oleh jiwa yang tidak
punya pandangan ke depan. Tidak punya visi dan misi serta rel perjuangan yang
jelas tergambar dalam nuraninya. Apalagi jika ditambah dengan tugas yang terasa
membebani, terlalu banyak tuntutan, serta sibuk urusan pribadi. Padahal setelah
studi pun, betapa banyak yang hidupnya masih terombang-ambing, tidak jelas
peruntukan nasib, nafkah dan jodohnya. Kasihan oh... kasihan, Naudzu billahi
min dzaalik.
Mahasiswa yang hidup hanya untuk urusan
dirinya hanya akan sibuk dengan urusan dan tuntutan yang remeh. Hidupnya hanya
untuk dirinya. Waktunya seakan-akan tidak lagi untuk dakwah. Merasa sibuk, ya
jauh lebih sibuk dibanding seorang kepala negara. Mereka lupa, bahwa Umar Ibn
Khattab, memikirkan strategi perang kaum muslim di dalam shalat sunnah beliau. Karena
urusan yang begitu banyak, yang mesti harus diselesasikan.
Mahasiswa
sejatinya adalah agen perubah (agent of change). Generasi yang bangkit
melawan kezaliman serta kelemahan. Angkatan yang akan terus menjadi titi tumpu
dan harapan para orang tua. Kita bisa melihat, bagaimana nasib bangsa ini, jika
kalangan Muda tidak menculik Soekarno di Rengasdengklok untuk segera
mengumandangkan proklamasi ?. kita bisa bayangkan, bagaimana nasib umat kristen
orotodoks konstantinopel yang akan terus berkubang dalam gelapnya kesyirikan,
jika Panglima berumur 22 Tahun tidak datang membebaskan mereka, Sultan Muhammad
al-Faatih. Kita bisa bayangkan, bagaimana nasib rakyat Surabaya, yang terus
tertelungkup dalam penindasan dan penghinaan dibawah telapak kaki Kompeni
Belanda, jika Bung Tomo tidak memunculkan diri sebagai arsitek bom Syahid, dan
pengumandang kalimat takbir yang menggerakkan Ribuan manusia merindu Syahid. “saya
tidak mendapatkan sati kalimat yang bisa menggerekkan ribuan orang, kecuali
dengan kalimat Takbir, Allahu Akbar!”, kata Bung Tomo.
Ya,
demikianlah masa Muda. Posisi terkuat diantara 2 kelemahan.
Allah,
Dialah yang menciptakan kamu dari keadaan lemah, kemudian Dia menjadikan
(kamu) sesudah keadaan lemah itu menjadi kuat, kemudian Dia menjadikan
(kamu) sesudah kuat itu lemah (kembali) dan beruban. Dia menciptakan apa
yang dikehendaki-Nya dan Dialah Yang Maha Mengetahui lagi Maha Kuasa. (QS.
Ar-Rum: 54)
Oleh
karena itu, pemuda adalah kesempatan yang sangat potensial untuk memperjuangkan
syariat dan berkhidmat untuk ummat.
Dari
era pra-kemerdekaan, orde lama, orde baru sampai reformasi, pemuda memegang
peran penting. Di mana semua perubahan fasenya digerakkan oleh pemuda. Siapa
yang tidak mengenal Sultan Hasanuddin yang menjadi Raja dan melawan Belanda di
umurnya yang ke-35 Tahun dan berjuang melawan usia hingga tutup usia 39 tahun ?.
Siapa yang tidak mengenal Usamah Bin Zaid yang memimpin perang di umur 18 tahun
?. siapa yang tidak mengenal Imam Syafi’i yang menghafal qur’an di umur 7 tahun
?.
Lalu
perhatikan Pemuda zaman sekarang. Menghabiskan waktu emasnya untuk hidup
memenuhi keinginan syahwat dan hiburan dengan musik dan nyanyian. Menikmati angan-angan
kosong dan musik melancolis. Tertidur pulas dalam mimpi-mimpi hampa. Dan
menghabiskan waktu produktif setelah perut dipenuhi “topi miring”.
Pemuda
seperti itukah calon Pemimpin ?. Generasi yang hanya bisa menghambur-hamburkan
uang. Menyemboyankan muda foya-foya, tua kaya-raya, mati masuk surga. Relax
mengisap sebuah gulungan rempah dan tembakau yang berisi ribuan racun
mematikan. Bahan bakar roket, pembersih porcelain, bahan baku mesiu, peledak
dan korek api serta zat campuran racun tikus masuk ke dalam setiap isapan nafas
mereka. Ketika dijelaskan dampak buruknya, mereka hanya tersenyum sombong dan
berkata “aah…, merokok mati, tidak merokok mati, lebih baik merokok sampai
mati.”
Sampai
hari ini, pemandangan itulah yang melengkapi keseharian kita bergaul di lingkungan
kampus.
Di
zaman sekarang, begitu banyak perubahan. Fasilitas serta kelapangan serta
kemudahan berdakwah juga semakin luas di Fakultas Biru. Gedung dicanangkan
bertingkat-tingkat. Dan akan dilakukan restorasi lingkungan yang luar biasa di
fakultas MIPA. Mulai dari pembangunan gedung ICP, laboratorium, serta
fasilitas-fasilitas yang lain, yang akan semakin mempermudah gerak langkah
dakwah SCMM.
Akan
tetapi, saya yakin, seyakin-yakinnya. Bahwa sebuah peradaban dan masyarakat islami,
tidak pernah bisa dimulai dari pembangunan fisik. Betapa banyak
bangunan-bangunan fisik telah rubuh, lapuk dimakan lumut dan usia, namun
idealisme para pengusung dakwah hari ini masih tetap eksis. Bahkan terus
berkembang.
Saya
juga yakin, bahwa untuk membangun umat dan bangsa, adalah dengan membangun ruh
dan hatinya. Fasilitas yang cukup, akan tetapi dihuni oleh orang-orang yang
tidak memiliki himmah dakwah tinggi tidak akan menghasilkan apa-apa. Lihatlah
Suriah, yang melahirkan ratusan ribu Mujahidin justru saat hak hidup mereka
dirampas. Mereka terusir dari rumah, dan dipisahkan dengan keluarga mereka dengan
Bom, Birmil dan Rudal serta peluru. Namun mereka bangkit menjadi Pejuang, yang
menjaga perbatasan.
Di
sisi yang berbeda, perhatikan Baghdad, pusat peradaban islam di masa Dinasti
Abbasiyah, luluh lantak oleh serangan Mongol dalam sekejap.
Lihatlah
Gazza, yang menjadi penjara terbuka. Anak-anak mereka lahir tanpa mengenal
ayah, karena telah Syahid. Serta ibu-ibu mereka tidak pernah merasakan
nikmatnya berbelanja di mall, dan menikmati dinginnya jus alpukat masuk ke
kerongkongan mereka. Mereka sibuk memecah batu untuk intifadhah, dan anak-anak
mereka sibuk thullab, mendidik diri menjadi Pejuang pembebeas Palestina. Itulah
yang menjadi ketakutan Ariel Sharon, Perdana Menteri Israel, “kita tidak
takut dengan para tentara HAMAS, akan tetapi yang kita takutkan adalah
anak-anak mereka yang tumbuh besar dalam jihad, dan merekalah yang akan
mendorong kita ke tepi laut”. Gambaran ketakukatan Israel akan anak-anak muslim
Palestina. Oleh sebab itu, Israel punya program khusus untuk membunuhi
anak-anak palestina.
Mengapa
sebuah negara yang di atas angin, negera yang memenjarakan ribuan mujahidin
serta penduduk sipil digetarkan oleh generasi bocah ?.
Jawabannya
karena ruh mereka yang ‘hidup’. Kekuatan jiwa, serta tekad dan azzam yang kuat
membuat generasi bocah Palestina menjadi musuh yang ditakuti oleh
prajurit-prajurit Israel. Seorang Relawan pernah datang ke sana, dan
mengungkapkan betapa sulitnya kehidupan anak-anak di sana, namun sama sekali
tidak ada ‘mental yang kalah’ tersorot dari mata mereka. Bahkan di setiap
penjuru lorong, sangat mudah dijumpai tulisan di dinding-dinding rumah yang
telah runtuh, “Isy kariman au mut Syahidan”. Bahkan, diantara mereka ada yang
berkata, “jika seluruh dunia islam tidak ada lagi yang memperjuangkan al-Quds,
maka kami yang akan mempertahankannya hingga tetes darah kami yang terakhir
telah mengucur!!!”. Aduhai Pemuda...!!! di mana engkau hari ini ?
Seperti
itulah jiwa yang kokoh. Tubuh yang ringkih tak akan menghalanginya dari tujuan
untuk mendapatkan cita-citanya. Syaikh Ahmad Yassin, adalah seorang yang lumpuh
kaki dan tangannya, suaranya parau. Akan tetapi ketika Beliau menyerukan Jihad,
ribuan rakyat Palestina mengangkat senjata.
Sekali
lagi, kekuatan yang sejati ada pada jiwa. Jiwa yang telah diliputi bashirah dan
ilmu. Hingga tetesan darah dan keringat bukan menjadi hal yang ditakuti, bahkan
menjadi hal yang dirindui. Kerja-kerja dakwah di jalan. Urus proposal, undangan,
berkorban pulsa dan waktu, serta jadwal tidur bukan lagi sebuah kerugian.
Karena jiwa itu telah kembali kepada fitrahnya. Fitrah pejuang. Fitrah
pemberani. Fitrah sebagai seorang pemuda muslim, yang selalu menjadi pembela
terdepan dalam memperjuangkan syariat-Nya, hingga tegak di kampus Biru.
Ikhwani
al ahibbah... Sejak lama, para senior
sudah mencurahkan kekuatan dan potensi terbaik mereka untuk dakwah di kampus
biru. Yang mereka inginkan, adalah kampus yang dipenuhi oleh wanita-wanita
berhijab dari kepala hingga ke kakinya. Berpakaian dengan tidak mencolok, serta
menundukkan pandangan. Yang kita inginkan, para mahasiswanya mengenakan pakaian
muslim, tanda keshalihan. Songkok putih di kepalanya, celana cingkrang, serta Mushaf
di tangan kanannya, di dalam kelas. Dan ingat, semua itu bukan perjuangan
simbolik, akan tetapi tanda terbangunnya jiwa sebagai seorang muslim yang
berserah diri pada Tuhannya.
Semarakkan
syiar di kampus. Penuhi kelas dan koridor dengan kajian. Penuhi kelas dengan
lantunan bacaan alquran. Agar nuansa ‘kekerasan’ dapat dikalahkan karena
kekuatan iman, kelembutan hati dan ketinggian akhlak dan adab perbuatan. Dan
semuanya dirangkul dengan ukhuwah imaniyyah. Saling mendahulukan dan saling
memperhatikan.
Setelah
itu, puncaknya adalah memastikan tamkin, penaklukan dengan penaklukan unsur
Lembaga Kemahasiswaan tertinggi di Fakultas MIPA, BEM dan MAPERWA tahun ini!.
Itulah
cita-cita dan perjuangan kita. Dan tidak akan berhenti hingga Allah sendiri
yang berkenan menghentikan langkah kita.
Salam
Perjuangan,
Teruslah
mendaki hingga kita tiba dan bertemu di ‘Puncak Tertinggi’
Selamat
Bermuktamar
Abu
Adlan Faatih Syamsuar Hamka
Selesai di Bogor, Asrama Ulil Albab
30 Rabiul Akhir 1436 H bertepatan
20 Februari 2015 M.
Pukul 10.02 WIBDitulis Sebagai Persembahan MUKTAMAR XXXII SCMM BEM FMIPA UNM
No comments:
Post a Comment