Cari

BERAWAL DARI KETIDAKADILAN

Thursday, 19 February 2015


Abu Adlan Faatih


Salah satu ajaran penting setiap agama adalah larangan berbuat zalim. Wujud kezaliman beraneka ragam, mulai dari perkataan menyakitkan, perbuatan melukai orang, dan perilaku negatif seperti sabotase, curang, menipu, mengurangi timbangan, tidak amanah, korupsi, serta kolusi. Dalam perspektif islam sendiri, kezaliman memiliki defenisi yang begitu luas. Menurut para ulama, kezaliman terbagai menjadi dua jenis.


1.      Adz-Dzulm Li Nafsi, yaitu kezaliman kepada diri sendiri, contohnya : tidak memberi istirahat yang cukup untuk tubuh, mengkonsumsi obat-obat berlebihan (di luar dosis) dan obat-obat terlarang. Tidak sebatas itu, makna ini pula melingkupi bermalas-malasan, bekerja asal-asalan, tidak disiplin, seperti terungkap pada dalam QS Fathir : 32. Makna ini pula meliputi seluruh ucapan, perbuatan, zahir maupun bathin yang melanggar hak-hak Allah –Azza Wa Jalla-.
2.      Adz-Dzulm Li Ghairih, yaitu kezaliman kepada orang lain. Makna ini melingkupi seluruh perkataaan, perbuatan, zahir maupun bathin yang melanggar hak-hak orang lain, benda atau alam sekitar.
Kezaliman juga dimaknai sebagai wat’u syai’ laisa  fi mahallul,  meletakkan sesuatu bukan pada tempatnya. Artinya, segala sesuatu yang tidak pada tempatnya baik disengaja atau pun tidak, bagaimana pun kecilnya, seperti sampah, kendaraan, penglihatan, dan semua barang yang tidak diletakkan pada tempatnya adalah bentuk “kezaliman”.
Dari paparan singkat diatas, telah jelas makna kezaliman yang dimaksud dalam Al-Qur’an. Kezaliman meliputi dua jenis, kepada diri sendiri dan kepada orang lain atau alam sekitar.  Lawan dari kezaliman itu sendiri adalah keadilan. Keadilan bermakna memberikan sesuatu sesuai hak dan kebutuhannya. Sehingga kezaliman dapat dikatakan sebagai ketidakadilan. Pada kesempatan ini, kita akan sedikit menjelaskan beberapa bentuk kezaliman (baca:ketidakadilan) yang menyebabkan orang lain juga ikut terzalimi, sebagaimana sebuah kaidah “sesungguhnya keburukan akan mendatangkan  keburukan yang lain”.

Korupsi; Bentuk Ketidakadilan

Banyak orang mengatakan bahwa korupsi di negeri ini telah menunjukkan angka rekor dan  benar-benar telah mewabah bak H1N1 atau H5N1, telah membudaya bahkan telah menjadi penyakit kronis. Penyakit kronis ini sudah sulit disembuhkan. Lebih-lebih ketika dulu korupsi hanya terdengar dilakukan di lingkungan eksekutif, kini sudah mewabah di kalangan legislatif, Lebih heboh lagi ketika mafia mulai terbongkar, yang justru menjadi lokomotif maraknya korupsi dan kolusi. Lebih parah lagi, saat siapa pun ingin mencalonkan diri menjadi pejabat publik seperti, yang bersangkutan harus punya modal besar, untuk membeli jaket politik bila yang bersangkutan bukan dari politikus karir. Itu sebabnya, mengapa partai politik menjadi pragmatis, senang mengusung artis menjadi figur calon pemimpin masa depan. Sudah bisa diduga, karena mereka mempunyai modal finansial besar membeli jaket politik itu, tidak peduli mereka pemabuk minuman, cidera modal, atau bahkan pernah berbuat asusila.  Dalilnya macam-macam, ada yang mengatakan “moral tidak punya standar, sulit diukur, berbeda antara satu daerah dengan daerah yang lain”. Nampaknya-mungkin-yang penting yang bersangkutan tidak gila ingatan. Inilah yang pernah di-isyaratkan oleh Nabi kita –Shallallahu alaihi wa sallam- “Idza wussidal amru ila ghairi ahlihi fantadzi al sa’ah”, apabila suatu urusan (kepemimpinan) diserahkan kepada yang bukan ahlinya, maka tunggulah kehancuran”.
Kini, kita bersemangat untuk memberantas korupsi, tetapi sistem demokrasi yang kita bangun penuh dengan ruang gerak berkolusi dan sogok menyogok untuk mendapat dukungan maupun untuk memperlicin dan memuluskan jalan menuju karier tertinggi. Kalau kita kurang yakin dengan apa yang dikemukakan di atas, silahkan cari bukti berapa miliar rupiah yang dihabiskan sampai seseorang duduk menjadi pejabat publik. Atau berapa puluh juta yang dihabiskan seorang pegawai untuk bisa menjabat menjadi kepala dari tingkat satuan terendah hingga yang paling atas. Pasti akan diperoleh data tentang korupsi dan kolusi yang tidak akan pernah habis diberantas. Asalkan orang-orang berkata sesungguhnya, dan tidak berusaha menutup-nutupi keburukan moral ini. Ketika proses menuju tercapainya cita-cita berkarier dengan mengeluarkan sejumlah uang penghalus, pelicin-atau apapun namanya-sudah bisa dipastikan ruang penyimpangan akan dilakukan oleh pejabat tersebut, guna mengembalikan modal yang keluar dan bahkan harus segera beruntung selama masa jabatan sebelum berakhir. Karena sudah menjadi hukum ekonomi, bahwa modal yang dikeluarkan untuk barang dan jasa, harus diperoleh kembali bersama dengan keuntungan yang lebih (motif ekonomi)-atau bagaimanalah bunyi hukumnya, penulis bukan orang ekonomi-.
Mengapa hal ini terjadi ?, Salah satunya adalah karena sistem gaji jabatan yang didudukinya jauh tidak sebanding dengan modal yang dikeluarkan untuk mendapatkan jabatan itu. Belum lagi dengan ketimpangan sistem penggajian antarinstansi, antarprovinsi, dan antardepartemen yang jelas-jelas tidak berasas pada keadilan dan peradaban. Saatnya kita sadar akan hal yang terjadi selama ini dalam bangsa kita, masihkah kita bermasa bodoh, acuh tak acuh, pura-pura tidak tahu atau bahkan tidak mau tahu akan realitas bangsa kita ?.

Dekadensi Moral; Bentuk Ketidakadilan
Perkara yang menjadi dampak dari ketidakadilan berikutnya adalah dekadensi moral. Selanjutnya mari kita simak data-data berikut.
Berita yang diturunkan oleh beberapa media seperti yang diulas oleh Asro Kamal dalam Resonansi di Republika, berjudul “Pergaulan Bebas” sungguh-sungguh mencemaskan dan memilukan sikap beragama masyarakat sehat. Media indonesia (6/1/2007) dengan mengutip ANTARA bahwa 85 % remaja usia 15 tahun telah berhubungan seks bebas. Republika (1/3/2007) menulis hampir 50 % remaja perempuan Indonesia telah melakukan hubungan seks di luar nikah. Menurut KH Abdul Rasyid Abdullah Syafi’i, dengan mengutip perkataan dari Republika tahun 2007, ada 80 % anak-anak usia belasan tahun sudah melakukan hubungan seks tanpa nikah di rumah-rumah mereka sendiri (Arispati. Majalah Perkawinan dan Keluarga, No.451/XXXVIII/2010, Hal.12). Penelitian lain yang dilakukan Annisa Foundation menjelaskan 42,3 % pelajar SMP dan SMA di Cianjur telah melakukan hubungan seks yang dilakukan suka sama suka. Penelitian dilakukan antara Juli-Desember 2006 terhadap 412 responden yang berasal dari 13 SMP dan SMA negeri dan swasta. Lebih  memprihatinkan lagi adalah pengakuan responden 90 % menyatakan mereka paham ajaran agama dan penyebabnya adalah penjualan kontrasepsi yang dapat dibeli bebas.
Data di atas hanyalah sebagian kecil refleksi dari realitas yang ada. Masih begitu banyak data real yang belum terungkap lainnya. Kondisi seperti ini, apa masih layak kita mengaku bahwa kita adalah masyarakat agamis ?, Apakah masih perlu kita mendiskusikan perlu tidaknya UU Pornografi, atau kita tunggu kehancuran paling sempurna ???...
Sampai di sini kita bisa mempertanyakan, pembangunan bangsa diarahkan dengan panduan apa...?.  Agama bukan, pancasila juga bukan, bahkan kitab suci yang lain pun, juga bukan. Kalau sudah demikian buruk dan menyakitkannya sikap beragama, siapa yang bertanggungjawab ?, Dokter, apoteker, selebriti, guru besar, guru kecil, pejabat pemda, atau anggota dewan yang terhormat ataukah kiai yang tidak tahu menahu nilai profit dari media iklan yang tertonton setiap saat ?. Oleh karena itu, mengatasi korupsi dan memperbaiki moralitas bangsa, tidak hanya dapat diupayakan dari elemen penentu kebijakan (pemimpin) tapi juga harus dimulai dari rakyatnya. Usaha para rakyat-lah yang sebenarnya akan menentukan bagaimana nasib bangsa ke depan.
Mari kita renungkan, serta berusaha untuk menyadari realitas bangsa tentang berita maraknya pembuangan bayi baru lahir di tong-tong sampah, comberan, dan sudut-sudut pasar tradisional. VCD dan DVD porno demikian murah dan mudah diperoleh dipasaran, bak jajanan gorengan di pinggir jalan. Meskipun demikian maraknya razia kadarkum (kadang sadar kadang kumat). Sekali dirazia itu pun sudah bocor karena ada oknum berkepentingan yang mudah disogok. Setelah itu, lalu bebas lagi diperjualbelikan sembunyi-sembunyi. Eksploitasi  dan eksplorasi aurat makin mendapat dukungan kokoh dan tempat yang leluasa sambil beriklanisasi demi yang namanya uang dan popularitas...
Oh... kasihan bangsaku, kini engkau juga hanya bisa mencari kader pemimpin asal kesohoran dengan buka aurat di panggung....
Kita terlalu lama  mendustai diri sendiri dalam beragama. Padahal, pada saat yang sama kita yakin bahwa segala perbuatan jahat baik pada diri sendiri maupun pada orang lain akan mendapat balasan yang setimpal.
Bencana yang bertubi-tubi menimpa negeri ini masih bisa diperbaiki jauh lebih mudah dan lebih murah, tetapi bencana moral, dari mana kita harus mengawali langkah real yang paling tepat untuk mengatasinya...???
Maka ketika kita bertekad memberantas korupsi, dan kolusi sebagai bagian dari bencana moral, pemberantasannya terasa demikian sulit. Perlu banyak satgas dibentuk. Satu terbongkar, puluhan, ratusan bahkan ribuan yang masih tersembunyi –bagai menggali gunung di bawah pasir- di balik dalil ketidakadilan dan ketimpangan hidup.
Gaya hidup tanpa pedoman, juga turut mengubah perilaku dari ramah menjadi beringas, dari bertutur kata halus menjadi kasar, dari gaya hidup sederhana menjadi bergaya hidup mewah, di atas perut bayi busung lapar dan derita masyarakat banyak yang menangis dalam kepiluan tanpa suara, dan berubah dari hidup dalam kebersamaan menjadi egoistik dan individualistik.
Ya...Allah, antrian panjang bisa disodok oleh mereka yang berduit, dengan segala macam layanan bermutu hanyalah milik orang-orang berhasil membeli jasa layanan secara berkolusi.
Aneh bin ajaib, itulah yang terjadi rusaknya penerapan hukum kita hari ini, sampai kita akan berucap, “hukum kok untuk hukum, padahal seharusnya untuk manusia, untuk mengatur ketertiban hidup manusia agar tidak terzalimi”.
Inilah rasanya, sungguh-sungguh telah menzalimi masyarakat banyak. Berbagai masalah demikian peliknya menimpa negeri kami, itu tidak lain apakah karena...
Kita tidak adil dalam pemenuhan kebutuhan antara lahir dan bathin, antara kebutuhan jasmani dan ruhani.
Kita tidak adil dalam menyuguhkan tontonan dan tuntunan, antara tayangan yang mendidik dengan tayangan yang merusak.
Kita juga tidak adil antara porsi penegakan yang ma’ruf dengan pencegahan yang munkar dengan dalih kebebasan berekspresi...???

Kembali kepada Al-Qur’an; Jalan Keluarnya
Sebenarnya di tengah kegalauan itu, isyarat untuk kembali kepada panduan universal-komprehensif semakin tinggi resonansinya.  Bahkan demikian kuat kita rasakan sinyal-sinyalnya saat kita sesuaikan dengan vibrasi qalbu kita yang paling dalam. Sebenarnya, kita ingin membuka sebuah pintu sedang mencari anak kuncinya. Anak kunci yang hilang itu adalah obat semua penyakit kronis di atas yang ingin kita pulihkan dari tubuh bangsa ini. Tidak lain anak kunci itu adalah Al-Qur’an. Kembali kepada Al-Qur’an, mempelajari, mentadabburi, menghafal, mengamalkan dan mengajarkannya. Sebagaimana kalam Allah,
82.  Dan kami turunkan dari Al Quran suatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman dan Al Quran itu tidaklah menambah kepada orang-orang yang zalim selain kerugian (QS Al Israa: 82).
Mari kita lihat, demikian Allah menjadikan Al-Qur’an sebagai solusi dari kezaliman yang melanda suatu kaum. Di  QS Al-a’raf ayat 96 Allah menambahkan,
96. Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.
Semangat yang ingin digerakkan Al-Qur’an dengan tugas “amar makruf nahi munkar”, adalah lahirnya keadilan yang diikuti oleh kemauan berbuat yang terbaik (ihsan-bermakna: baik dan teliti-) baru kemudian orang bisa terhindar dari yang munkar. Demikian pesan Al-Qur’an yang berbunyi, “sesungguhnya Allah telah memerintahkan kalian untuk berbuat adil dan ihsan, memberikan sesuatu pada karib kerabat dan Allah melarang kalian berbuat keji dan munkar” (QS An-Nahl: 90).
Oleh karena itu usaha yang paling real saat ini adalah kembali kepada Al-Qur’an, kitab yang mulia. Ia diturunkan oleh Allah yang mahamulia, dibawa oleh malaikat  yang paling mulia, Jibril-alaihissalam. Di bulan yang paling mulia, Ramadhan. Untuk manusia termulia, Nabi Muhammad–shallallahu alaihi wa sallam-. Karena itu jika kita ingin mulia, keluar dari segala bentuk kezaliman, Solusinya adalah kembali kepada Al-Qur’an. Berinteraksi, membaca, menghafal, memahami, mentadabburi, mengamalkan dan mengajarkan serta mendakwahkannya (Wallohu Ta’ala A’lam).
(Tulisan ini pernah dimuat  di Harian Radar Bone, Tahun 2011)

No comments:

Post a Comment

 

Iklan Buku

Followers

Bincang-Bincang