Abu Adlan Faatih
Salah satu ajaran penting setiap agama
adalah larangan berbuat zalim. Wujud kezaliman beraneka ragam, mulai dari
perkataan menyakitkan, perbuatan melukai orang, dan perilaku negatif seperti
sabotase, curang, menipu, mengurangi timbangan, tidak amanah, korupsi, serta
kolusi. Dalam perspektif islam sendiri, kezaliman memiliki defenisi yang begitu
luas. Menurut para ulama, kezaliman terbagai menjadi dua jenis.
1.
Adz-Dzulm
Li Nafsi,
yaitu kezaliman kepada diri sendiri, contohnya : tidak memberi istirahat yang
cukup untuk tubuh, mengkonsumsi obat-obat berlebihan (di luar dosis) dan
obat-obat terlarang. Tidak sebatas itu, makna ini pula melingkupi
bermalas-malasan, bekerja asal-asalan, tidak disiplin, seperti terungkap pada
dalam QS Fathir : 32. Makna ini pula meliputi seluruh ucapan, perbuatan, zahir
maupun bathin yang melanggar hak-hak Allah –Azza Wa Jalla-.
2.
Adz-Dzulm
Li Ghairih,
yaitu kezaliman kepada orang lain. Makna ini melingkupi seluruh perkataaan,
perbuatan, zahir maupun bathin yang melanggar hak-hak orang lain, benda atau
alam sekitar.
Kezaliman juga dimaknai sebagai wat’u syai’ laisa fi mahallul, meletakkan sesuatu bukan pada tempatnya.
Artinya, segala sesuatu yang tidak pada tempatnya baik disengaja atau pun
tidak, bagaimana pun kecilnya, seperti sampah, kendaraan, penglihatan, dan semua
barang yang tidak diletakkan pada
tempatnya adalah bentuk “kezaliman”.
Dari paparan singkat diatas, telah jelas
makna kezaliman yang dimaksud dalam Al-Qur’an. Kezaliman meliputi dua jenis,
kepada diri sendiri dan kepada orang lain atau alam sekitar. Lawan dari kezaliman itu sendiri adalah
keadilan. Keadilan bermakna memberikan sesuatu sesuai hak dan kebutuhannya.
Sehingga kezaliman dapat dikatakan sebagai ketidakadilan. Pada kesempatan ini,
kita akan sedikit menjelaskan beberapa bentuk kezaliman (baca:ketidakadilan) yang
menyebabkan orang lain juga ikut terzalimi, sebagaimana sebuah kaidah “sesungguhnya
keburukan akan mendatangkan keburukan
yang lain”.
Korupsi; Bentuk Ketidakadilan
Banyak orang mengatakan bahwa korupsi di
negeri ini telah menunjukkan angka rekor dan
benar-benar telah mewabah bak H1N1 atau H5N1, telah membudaya bahkan
telah menjadi penyakit kronis. Penyakit kronis ini sudah sulit disembuhkan.
Lebih-lebih ketika dulu korupsi hanya terdengar dilakukan di lingkungan
eksekutif, kini sudah mewabah di kalangan legislatif, Lebih heboh lagi ketika
mafia mulai terbongkar, yang justru menjadi lokomotif maraknya korupsi dan
kolusi. Lebih parah lagi, saat siapa pun ingin mencalonkan diri menjadi pejabat
publik seperti, yang bersangkutan harus punya modal besar, untuk membeli jaket
politik bila yang bersangkutan bukan dari politikus karir. Itu sebabnya,
mengapa partai politik menjadi pragmatis, senang mengusung artis menjadi figur
calon pemimpin masa depan. Sudah bisa diduga, karena mereka mempunyai modal
finansial besar membeli jaket politik itu, tidak peduli mereka pemabuk minuman,
cidera modal, atau bahkan pernah berbuat asusila. Dalilnya macam-macam, ada yang mengatakan
“moral tidak punya standar, sulit diukur, berbeda antara satu daerah dengan
daerah yang lain”. Nampaknya-mungkin-yang penting yang bersangkutan tidak gila
ingatan. Inilah yang pernah di-isyaratkan oleh Nabi kita –Shallallahu alaihi wa
sallam- “Idza wussidal amru ila ghairi ahlihi fantadzi al sa’ah”, apabila suatu
urusan (kepemimpinan) diserahkan kepada yang bukan ahlinya, maka tunggulah
kehancuran”.
Kini, kita bersemangat untuk memberantas
korupsi, tetapi sistem demokrasi yang kita bangun penuh dengan ruang gerak
berkolusi dan sogok menyogok untuk mendapat dukungan maupun untuk memperlicin
dan memuluskan jalan menuju karier tertinggi. Kalau kita kurang yakin dengan
apa yang dikemukakan di atas, silahkan cari bukti berapa miliar rupiah yang
dihabiskan sampai seseorang duduk menjadi pejabat
publik. Atau berapa puluh juta yang dihabiskan seorang pegawai untuk bisa
menjabat menjadi kepala dari tingkat satuan terendah hingga yang paling atas.
Pasti akan diperoleh data tentang korupsi dan kolusi yang tidak akan pernah
habis diberantas. Asalkan orang-orang berkata sesungguhnya, dan tidak berusaha
menutup-nutupi keburukan moral ini. Ketika proses menuju tercapainya cita-cita
berkarier dengan mengeluarkan sejumlah uang penghalus, pelicin-atau apapun
namanya-sudah bisa dipastikan ruang penyimpangan akan dilakukan oleh pejabat
tersebut, guna mengembalikan modal yang keluar dan bahkan harus segera
beruntung selama masa jabatan sebelum berakhir. Karena sudah menjadi hukum ekonomi, bahwa modal yang
dikeluarkan untuk barang dan jasa, harus diperoleh kembali bersama dengan
keuntungan yang lebih (motif ekonomi)-atau bagaimanalah bunyi hukumnya, penulis
bukan orang ekonomi-.
Mengapa
hal ini terjadi ?, Salah satunya adalah karena sistem gaji jabatan yang
didudukinya jauh tidak sebanding dengan modal yang dikeluarkan untuk
mendapatkan jabatan itu. Belum lagi dengan ketimpangan sistem penggajian
antarinstansi, antarprovinsi, dan antardepartemen yang jelas-jelas tidak
berasas pada keadilan dan peradaban. Saatnya kita sadar akan hal yang terjadi
selama ini dalam bangsa kita, masihkah kita bermasa bodoh, acuh tak acuh,
pura-pura tidak tahu atau bahkan tidak mau tahu akan realitas bangsa kita ?.
Dekadensi Moral; Bentuk Ketidakadilan
Perkara yang menjadi dampak dari
ketidakadilan berikutnya adalah dekadensi moral. Selanjutnya mari kita simak
data-data berikut.
Berita yang diturunkan oleh beberapa
media seperti yang diulas oleh Asro
Kamal dalam Resonansi di
Republika, berjudul “Pergaulan Bebas” sungguh-sungguh
mencemaskan dan memilukan sikap
beragama masyarakat sehat. Media indonesia (6/1/2007) dengan mengutip ANTARA
bahwa 85 % remaja usia 15 tahun telah berhubungan seks bebas. Republika
(1/3/2007) menulis hampir 50 % remaja perempuan Indonesia telah melakukan
hubungan seks di luar nikah. Menurut KH
Abdul Rasyid Abdullah Syafi’i, dengan mengutip perkataan dari Republika
tahun 2007, ada 80 % anak-anak usia belasan tahun sudah melakukan hubungan seks
tanpa nikah di rumah-rumah mereka sendiri (Arispati. Majalah Perkawinan dan
Keluarga, No.451/XXXVIII/2010, Hal.12). Penelitian lain yang dilakukan Annisa Foundation menjelaskan 42,3 %
pelajar SMP dan SMA di Cianjur telah melakukan hubungan seks yang dilakukan
suka sama suka. Penelitian dilakukan antara Juli-Desember 2006 terhadap 412
responden yang berasal dari 13 SMP dan SMA negeri dan swasta. Lebih memprihatinkan lagi adalah pengakuan responden
90 % menyatakan mereka paham ajaran agama dan penyebabnya adalah penjualan
kontrasepsi yang dapat dibeli bebas.
Data di atas hanyalah sebagian kecil
refleksi dari realitas yang ada. Masih begitu banyak data real yang belum terungkap lainnya. Kondisi seperti ini, apa masih
layak kita mengaku bahwa kita adalah masyarakat agamis ?, Apakah masih perlu
kita mendiskusikan perlu tidaknya UU Pornografi, atau kita tunggu kehancuran
paling sempurna ???...
Sampai di sini kita bisa mempertanyakan,
pembangunan bangsa diarahkan dengan panduan apa...?. Agama bukan, pancasila juga bukan, bahkan
kitab suci yang lain pun, juga bukan. Kalau sudah demikian buruk dan
menyakitkannya sikap beragama, siapa yang bertanggungjawab ?, Dokter, apoteker,
selebriti, guru besar, guru kecil, pejabat pemda, atau anggota dewan yang terhormat
ataukah kiai yang tidak tahu menahu nilai profit dari media iklan yang
tertonton setiap saat ?. Oleh karena itu, mengatasi korupsi dan memperbaiki
moralitas bangsa, tidak hanya dapat diupayakan dari elemen penentu kebijakan
(pemimpin) tapi juga harus dimulai dari rakyatnya. Usaha para rakyat-lah yang
sebenarnya akan menentukan bagaimana nasib bangsa ke depan.
Mari kita renungkan, serta berusaha
untuk menyadari realitas bangsa tentang berita maraknya pembuangan bayi baru
lahir di tong-tong sampah, comberan, dan sudut-sudut pasar tradisional. VCD dan
DVD porno demikian murah dan mudah diperoleh dipasaran, bak jajanan gorengan di
pinggir jalan. Meskipun demikian maraknya razia kadarkum (kadang sadar kadang kumat). Sekali dirazia itu pun sudah
bocor karena ada oknum berkepentingan yang mudah disogok. Setelah itu, lalu
bebas lagi diperjualbelikan sembunyi-sembunyi. Eksploitasi dan eksplorasi aurat makin mendapat dukungan
kokoh dan tempat yang leluasa sambil beriklanisasi demi yang namanya uang dan popularitas...
Oh... kasihan bangsaku, kini engkau juga
hanya bisa mencari kader pemimpin asal kesohoran dengan buka aurat di
panggung....
Kita terlalu lama mendustai diri sendiri dalam beragama.
Padahal, pada saat yang sama kita yakin bahwa segala perbuatan jahat baik pada
diri sendiri maupun pada orang lain akan mendapat balasan yang setimpal.
Bencana yang bertubi-tubi menimpa negeri
ini masih bisa diperbaiki jauh lebih mudah dan lebih murah, tetapi bencana
moral, dari mana kita harus mengawali langkah real yang paling tepat untuk mengatasinya...???
Maka ketika kita bertekad memberantas
korupsi, dan kolusi sebagai bagian dari bencana moral, pemberantasannya terasa
demikian sulit. Perlu banyak satgas dibentuk. Satu terbongkar, puluhan, ratusan
bahkan ribuan yang masih tersembunyi –bagai menggali gunung di bawah pasir- di
balik dalil ketidakadilan dan ketimpangan hidup.
Gaya hidup tanpa pedoman, juga turut mengubah
perilaku dari ramah menjadi beringas, dari bertutur kata halus menjadi kasar,
dari gaya hidup sederhana menjadi bergaya hidup mewah, di atas perut bayi
busung lapar dan derita masyarakat banyak yang menangis dalam kepiluan tanpa
suara, dan berubah dari hidup dalam kebersamaan menjadi egoistik dan
individualistik.
Ya...Allah, antrian panjang bisa disodok
oleh mereka yang berduit, dengan segala macam layanan bermutu hanyalah milik
orang-orang berhasil membeli jasa layanan secara berkolusi.
Aneh bin ajaib, itulah yang terjadi
rusaknya penerapan hukum kita hari ini, sampai kita akan berucap, “hukum kok
untuk hukum, padahal seharusnya untuk manusia, untuk mengatur ketertiban hidup
manusia agar tidak terzalimi”.
Inilah rasanya, sungguh-sungguh telah
menzalimi masyarakat banyak. Berbagai masalah demikian peliknya menimpa negeri
kami, itu tidak lain apakah karena...
Kita tidak adil dalam pemenuhan
kebutuhan antara lahir dan bathin, antara kebutuhan jasmani dan ruhani.
Kita tidak adil dalam menyuguhkan
tontonan dan tuntunan, antara tayangan yang mendidik dengan tayangan yang
merusak.
Kita
juga tidak adil antara porsi penegakan yang ma’ruf dengan pencegahan yang
munkar dengan dalih kebebasan berekspresi...???
Kembali kepada Al-Qur’an; Jalan
Keluarnya
Sebenarnya di tengah kegalauan itu,
isyarat untuk kembali kepada panduan universal-komprehensif semakin tinggi
resonansinya. Bahkan demikian kuat kita
rasakan sinyal-sinyalnya saat kita sesuaikan dengan vibrasi qalbu kita yang
paling dalam. Sebenarnya, kita ingin membuka sebuah pintu sedang mencari anak
kuncinya. Anak kunci yang hilang itu adalah obat semua penyakit kronis di atas
yang ingin kita pulihkan dari tubuh bangsa ini. Tidak lain anak kunci itu
adalah Al-Qur’an. Kembali kepada Al-Qur’an, mempelajari, mentadabburi,
menghafal, mengamalkan dan mengajarkannya. Sebagaimana kalam Allah,
82.
Dan kami turunkan dari Al Quran suatu yang menjadi penawar dan rahmat
bagi orang-orang yang beriman dan Al Quran itu tidaklah menambah kepada
orang-orang yang zalim selain kerugian (QS Al Israa: 82).
Mari kita lihat, demikian Allah
menjadikan Al-Qur’an sebagai solusi dari kezaliman yang melanda suatu kaum.
Di QS Al-a’raf ayat 96 Allah
menambahkan,
96. Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman
dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit
dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa
mereka disebabkan perbuatannya.
Semangat yang ingin digerakkan Al-Qur’an
dengan tugas “amar makruf nahi munkar”, adalah lahirnya keadilan yang diikuti
oleh kemauan berbuat yang terbaik (ihsan-bermakna: baik dan teliti-) baru
kemudian orang bisa terhindar dari yang munkar. Demikian pesan Al-Qur’an yang
berbunyi, “sesungguhnya Allah telah memerintahkan kalian untuk berbuat adil dan
ihsan, memberikan sesuatu pada karib kerabat dan Allah melarang kalian berbuat
keji dan munkar” (QS An-Nahl: 90).
Oleh karena itu
usaha yang paling real saat ini
adalah kembali kepada Al-Qur’an, kitab yang mulia. Ia diturunkan oleh Allah
yang mahamulia, dibawa oleh
malaikat yang paling mulia, Jibril-alaihissalam. Di bulan
yang paling mulia, Ramadhan. Untuk
manusia termulia, Nabi
Muhammad–shallallahu alaihi wa sallam-. Karena itu jika kita ingin mulia,
keluar dari segala bentuk kezaliman, Solusinya adalah kembali kepada Al-Qur’an.
Berinteraksi, membaca, menghafal, memahami, mentadabburi, mengamalkan dan
mengajarkan serta mendakwahkannya (Wallohu Ta’ala A’lam).
(Tulisan ini pernah dimuat di Harian Radar Bone, Tahun 2011)
(Tulisan ini pernah dimuat di Harian Radar Bone, Tahun 2011)
No comments:
Post a Comment