Abu Adlan
Faatih
Di atas bumi ini kita harus melalui tantangan.
Pertarungan demi pertarungan harus kita lewati. Karena yang kita cari adalah
kemenangan. Peta hidup seorang muslim harus berakhir pada kemenangan. Kemuliaan
hidup di atas islam, dan kematian mulia di bawah kilauan pedang jihad.
Karena itu ada dua cita-cita kemuliaan bagi
seorang muslim. Cita-cita pertama adalah syurga. Hidup untuk mengabdikan diri
kepada-Nya. Tunduk dan patuh di atas perintah dan larangannya. Mempersembahkan
hal terbaik untuk menjadi seorang hamba. Sebagaimana seorang budak kepada
tuannya. Menghabiskan waktu untuk bermunajat kepada-Nya. Meletihkan badan,
melelahkan raga untuk mencari keridhaan-Nya semata.
Cita-cita berikutnya adalah hidup di atas
kemuliaan islam. Hidup dengan memperjuangkan islam sebagai agama tertinggi
keparipurnaannya. Memperjuangkan islam sebagai satu-satunya pegangan dan
pedoman hidup. Menjadikannya panji yang berkibar di tengah panjii-panji
kebathilan. Karena ialah satu-satunya jalan kemuliaan.
Rib’i Ibn Amir pernah berkata dengan izzahnya di
depan raja romawi, Heraclius. “Kami adalah kaum, yang diutus oleh Allah, untuk
mengeluarkan manusia dari penyembahan kepada sesama makhluk, menuju penyembahan
hanya kepada Allah azza wajalla, dari sesatnya agama-agama menuju kepada
keadilan islam. Dari sempitnya dunia menuju keluasan dunia dan akhirat”.
Demikian halnya umar Ibn Khattab Radhiallahu
‘anhu, Tatkala beliau telah dekat dengan gerbang palestina. Dan para rahib dan
pendeta akan menyerahkan langsung kuncinya kepada umar radhiallahu anhu. Beliau
datang dengan pakaian yang lusuh. Bahkan tanpa pasukan pengawal. Hanya bersama
seorang pengawalnya, yang harus bergantian turun di atas unta. Maka para
sahabat yang telah bersiap menjemputnya, langsung terkejut. Sontak melihat umar
yang datang dengan keletihan. Tidak ada tanda-tanda bahwa ia adalah seorang
pemimpin umat islam yang menguasai masyriq
dan maghrib. Beliau yang ditawari
untuk dijemput dengan kereta mewah dan
ditarik dengan kuda-kuda pilihan langsung berubah rona wajahnya, seraya
berkata, “Kita adalah kaum yang telah dimuliakan oleh islam, barangsiapa yang
mencari kemuliaan selain islam, maka allah akan menghinakannya”,
Islam menyukai kekuatan dan tidak menyukai
kelemahan apalagi kemalasan, sebab seseorang yang mempunyai cita-cita yang
tinggi tentunya akan berusaha dan memaksimalkan kekuatannya untuk mencapai
cita-cita tersebut. Sebagaimana sabda Nabi Shalallahu 'Alaihi Wasallam “mukmin
yang kuat lebih baik dan dicintai oleh Allah dari pada mukmin yang lemah”.
“Tamaklah terhadap apa yang dapat memberikan manfaat kepadamu, dan mintalah
pertolongan kepada Allah dan jangan lemah! Dan kalau kamu tertimpa suatu
musibah janganlah berkata law anni faaltu
kana kadza wa kadza- tetapi katakanlah qaddarallahu
wa masya’a fa’al- (HR. Muslim).
Karena dalam ayat lain Allah
Subhanahu Wa Ta'ala berkalam :
…Kemudian
apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah.
Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya (QS Ali
Imran: 159)
Islam menginginkan kita bergerak, karena ketika
ada orang mempunyai cita-cita yang tinggi sementara ia tidak pernah bergerak,
maka itulah at-tamanni (angan-angan).
Tabi’in yang mulia Hasan al-Bashri berkata: laysal imanu bit-tamanni wa at tahalli, wa laa kina al iman maa waqa’a
fii qalbi wa saddaqa bil ‘amal. Artinya:
“iman itu bukanlah angan-angan dan hayalan, tetapi iman itu adalah sesuatu yang
menghunjam dalam hati dan dibuktikan dengan amal”. Bukan seperti orang-orang
Badui yang berkata : “kami telah beriman. Katakanlah (kepada mereka), kamu
belum beriman tetapi, katakanlah kamu telah berislam, karena iman itu belum
masuk ke dalam hatimu” (QS. Al Hujuraat : 14).
Karena islam adalah
agama misi, maka dibutuhkan tandzhim yang kuat untuk menggerakkan dan memandu
umat pada jalan kemuliaannya. Tandzhim yang kuat harus dipimpin dan dibangun
oleh pemimpin yang kuat. Oleh karena,
sebagai bagian dari tanaasaw bil haq, Penulis menyusun risalah ini.
Tulisan ini terinspirasi dari buku Al Imam Ibn
Qayyim al-Jauziyyah Rahimahulah tentang Madarijus as-Saalikin, Persinggahan-persinggahan
yang akan dilalui seorang hamba dalam perjalanannya menuju Rabbnya. Akan
tetapi, Saya tidak akan membicarakan pembahasan beliau dalam tulisan ini. Karena
insya Allah, apa yang saya tuliskan nantinya berkenaan dengan terminal
persinggahan para pemimpin. Atau mungkin calon pemimpin. Terminal yang akan
dilalui ketika telah memulai langkah iltizamnya dalam menapaki jalan panjang
nan berliku, dakwah.
Maqam-Maqam
(Persinggahan) Pemimpin
Karena hidup adalah layaknya sebuah perjalanan. Stasiun
titik tolaknya adalah kelahiran kita, dan titik terminal akhirnya adalah pintu
kematian. Seperti itu pula pemimpin. Ada titik-titik terminal yang akan ia
lalui di atas relnya sebagai seorang pemimpin.
Sebuah kalimat hikmah menyebutkan, “Potensi umat
ini begitu besar, seperti gerbong-gerbong kereta. Karena itu, dibutuhkan
Lokomotif yang kuat untuk menarik dan membawanya sampai pada tujuan”.
Karena kata Nabi Kullukum Raa’in, “Setiap dari
kalian adalah Pemimpin”. Maka setiap kita, akan menjumpai terminal persinggahan
ini. Bersiaplah, dan kencangkan sabuk pengaman kalian.
Di depan kita akan melalui 7 terminal. Nama
terminal masing-masing diwakilkan oleh makna dari pemimpin dalam terminologi
bahasa arab.
1. Maqam Sulthan
Sulthan, adalah sebuah gelar. Gelar pengakuan dari
rakyat kepada seseorang yang dianggap memegang segala urusan mereka. Sulthan
adalah Raja yang diangkat dan didaulat sebagai pemimpin. Dan di terminal ini,
seorang pemimpin memperoleh ‘legitimasi’ sebagai seorang pemimpin yang sah
(legal) menurut kesepakatan yang mereka tuliskan dalam konstitusi.
Inilah terminal yang pertama. Terminal pengakuan
secara de facto dan de jure, bagi seorang pemimpin yang diangkat dan
dikukuhkan oleh para anggota, kader dan pengikutnya.
Ia diangkat lewat pemilihan ataupun lewat
musyawarah. Dan insya Allah, dalam musyawarah, keputusan terbaik akan selalu
akan dihasilkan. Dalam perjalanan dan track record, para kader telah teramati
oleh anggota dan senior-seniornya. Ada banyak interaksi dan ada banyak aksi,
bahkan ada banyak emosi yang terkadang menimbulkan reaksi. Semua itulah yang
direduksi dalam sebuah aspirasi yang terwakili lewat suara dan pendapat. Dan
mudah-mudahan dapat meng-oksidasi lahir dan terpilihnya seorang pemimpin baru
dan pembaharu yang pemimpin. Lewat tarbiyah, musyawarah yang menguras pikiran,
menghabiskan energi dan terkadang mengundang lapar dan kedinginan
(bersama-sama), akan lahir calon pemimpin umat. Semua itu adalah ‘rahim’ yang
akan melahirkan ulama yang intelektual dan intelektual yang ulama.
2. Maqam Imam
Imam berasal
dari kata amma-ya’ummu, artinya depan. Terminal ini adalah pit stop
berikutnya dari perjalanan seorang pemimpin. Tempat persinggahan yang merujuk
pada makna bahwa seorang pemimpin harus selalu menjadi yang terdepan, dan
berada di depan.
Dalam
rapat pembahasan konsep atau dalam kerja di lapangan. Seorang pemimpin harus
siap memandu, mengkoordinasi dan mengarahkan dari depan. Ia harus duduk di
tengah dan tampil di depan anggotanya untuk memimpin rapat.
Mengapa
harus di depan ?, karena seorang pemimpin tidak akan bisa mengarahkan jika ia
selalu terbelakang. Memotivasi untuk berprestasi namun, IPKnya “2 koma
alhamdulillah”. Menginstruksi untuk bekerja, akan tetapi tangannya tak pernah
kotor karena debu, dan dahinya tidak pernah basah dengan peluh.
Memimpin,
harus menjadi yang di depan. Siap tampil untuk digugu, ditiru dan diteladani. Karena
Nabi sebelum menyampaikan hadits aqwalnya, beliau terlebih dahulu memperlihatkan
hadits af’alnya. Beliau berbuat dulu, baru memerintah. Bukan berkoar-koar,
mengompori untuk on time datang rapat, namun selalu terlambat dan berlindung di
balik ‘manajemen afwan’.
3. Maqam Ra’is
Secara
bahasa Ra’is, bermakna kepala. Dan tugas kepala adalah berpikir dan punya ide,
konsep dan gagasan. Maka pada maqam ini, seorang peehingga pemimpin harus punya
konsep tentang apa yang dipimpinnya.
Seorang pemimpin harus tahu apa tujuan yang
seharusnya dicapai, bagaimana caranya, dengan metode apa.
Ibaratnya sebuah sekumpulan orang yang ingin
bepergian, Pemimpin dari mereka harus mengetahui ‘mau kemana’ mereka diantar ?.
‘lewat jalan apa’ ?, serta ‘naik apa’ ?. Tiga pertanyaan ini harus tuntas agar
di kepala pemimpin sebelum bergerak.
Dalam lingkup yang lebih luas, lembaga
diibaratkan kendaraannya, maka visi dan tujuannya serta jalannya harus jelas
agar tidak lambat sampai pada tujuan, karena boleh jadi ‘kendaraan lain’ akan
menyusul dan menyalipnya.
4. Maqam Khalifah
Dalam
Quran kita sering mendapati ayat “Min Khalfihim”, yang berarti “dari belakang
mereka”. Karena itu, Khalifah berasal dari kata “Khalfun”, yang berarti
belakang. Merujuk pada makna ini, maka tugas seorang pemimpin adalah siap mendorong
dari belakang.
Tidak
selamanya seorang pemimpin harus berada ‘di depan’. Boleh jadi satu waktu, ia
harus mundur dan turun melihat kondisi anggotanya. Lembaga dakwah tidak sama
halnya dengan perusahaan atau lembaga pemerintahan. Dalam struktur
kepengurusan, Lembaga dakwah semakin tinggi hirarkinya (tingkatan), maka orang
dalam posisi itu harus semakin banyak ‘turun’ membantu dan mengarahkan
anggotanya. Akan tetapi, yang penting
dalam memainkan posisi depan dan belakang adalah timingnya. Kapan
seorang pemimpin itu di depan, dan kapan di belakang. Kita bisa meminjam istilah
“tut wuri handayani”.
Ketika
seorang pemimpin turun (blusukan, bukan pencitraan), maka pada proses itu,
pemimpin akan melihat bagaimana teknis pelaksanaan hasil musyawarah dan
keputusan.
Pada
proses ini, pemimpin harus mengerti, bahwa dalam interaksinya dengan anggota
ada kondisi dimana mereka terkadang ‘bekerja sama’, terkadang ‘bekerja bersama’,
terkadang ‘bekerja tapi tidak bersama’, dan terkadang pula, ‘bersama-sama tapi
tidak bekerja’,
Bekerja
sama berarti ber-ta’awun, saling membantu menyelesaikan masalah. Bekerja
bersama, berarti melakukan beberapa pekerjaan secara kelompok. Masing-masing
mengerjakan pekerjaan yang berbeda. Bekerja tapi tidak bersama, artinya
sama-sama bekerja, boleh jadi mengerjakan pekerjaan yang sama, boleh jadi
tidak. Dan yang terakhir, bersama-sama tapi tidak bekerja, artinya berkumpul
tapi tidak melakukan aksi lapangan. Boleh jadi musyawarah, atau boleh jadi ‘tidur
jama’ah’.
5. Maqam Za’iim
Za’ama-yaz’umu, bermakna menyangka. Za’iim (terambil
dari kata tersebut) bermakna pemimpin. Akan tetatpi, jika kita dekati dengan
pendekatan kata, za’iim merupakan shigah mubaalaghah yang bisa berarti
persangkaan yang mendalam.
Ya, dalam
lembaga kita butuh persangkaan, yang dalam bahasa ilmiahnya, ‘analisis dan
prediksi’. Maka dari itu, seorang pemimpin harus mampu berada pada maqam Za’iim,
yang berati seorang pemimpin adalah
seorang analisator atau predictor. Orang yang mampu
memprediksikan kejadian serta menganalisis resiko. Paling tidak seorang
pemimpin harus punya sense yang terasah dan berpengalaman dalam
meminimalisasi resiko serta mampu menangkap peluang-peluang dakwah.
6. Maqam Raa’in
Raa’in, bermakna
penggembala. Sebagaimana hadits Nabi Shallallahu alaihi wasallam, Kullukum
Raa’in. Seorang penggembala harus punya kedisiplinan dan kekuatan
mengarahkan gembalaannya. Oleh karena itu, setiap nabi sebelum diangkat mereka
menjadi seorang penggembala, sebagai latihan untuk memimpin manusia.
Seorang Raa’in,
bukan hanya menghalau ke kiri dan ke kanan, tapi seorang Raa’in harus punya
pandangan dan wawasan yang luas.
Ia harus
mengetahui daerah padang rumput yang subur untuk gembalaannya. Dalam lembaga
dakwah, ‘padang rumput’ kita bisa maknai sebagai sumber finansial (keuangan).
Memang
betul bahwa ‘Kekurangan Dana tidak akan menjadi Penghambat Dakwah”, akan tetapi
tetap saja dana adalah kebutuhan mendasar. Tanpa pendanaan, sebuah lembaga bisa
mati dan ‘collapse’. Karena pentingnya unsur pendanaan, maka Allah selalu
menggandengkan jihad jiwa selalu dengan jihad harta. Dalam medan jihad, sebutir
peluru juga harus dibeli.
Pemimpin (Raa’in) juga harus paham betul bahwa
masalah lembaga dakwah, dai zaman dulu hingga kini hanya berputar pada tiga
hal. Dana, Anggaran dan Biaya. Ya, hanya itu!.
7. Maqam Qa’id
Qa’id, dalam
bahasa inggris driver atau pengendara. Setelah mengetahui jawaban dari
tiga pertanyaan tersebut, maka maqam selanjutnya adalah maqam Qa’id. Dimana pemimpin
harus memiliki kompetensi berkendara yang handal. Harus mampu mengendalikan
konflik. Mampu mengatur tempo dan kondisi psikologi kolektif anngotanya. Serta
mengetahui kapan menancap gas, kapan mengerem atau bahkan membanting setir jika
dalam kondisi tidak memungkinkan.
Qaid, adalah seorang instruktur. Menjelaskan
tugas masing-masing anggotanya. Memaparkan job description serta mengatur
distribution of power (pembagian amanah) kepada setiap anggotanya.
Dan ketika terjadi konflik, Qaid harus mampu
tetap menggenggam ‘kemudi’ agar ‘kendaraannya’ tidak oleng atau malah terpelanting
jatuh ke jurang.
Maqam
ini, bukanlah terminal yang terakhir. Ini hanya pendekatan. Terminal yang lain
masih banyak dan jumlahnya mungkin lebih dari 100. Selebihnya ada pada tataran
aksi. Di situlah terminal demi terminal, maqam demi maqam akan dilewati dan
lebih nyata.
Demikianlah tujuh maqam para pemimpin. Mudah-mudaham
tulisan ini memberi sedikit faidah dan manfaat, bagi kita dan khususnya kepada
pemimpin terpilih. Setidaknya menjadi bahan perenungan sebelum menjalankan
aksinya dan sebelum memulai amanah barunya sebagai seorang Pemimpin.
Dalam umat islam ‘krisis kepemimpinan’ juga
menjadi persoalan utama. Oleh karena itu, harus ada upya untuk mendidik umat,
agar dari mereka lahir para pemimpin. Setiap 100 tahun akan muncul mujaddid,
meski mungkin kita tidak berada di antara penguhujung zaman 100 tahun itu,
paling tidak kita menjadi penjaga yang mengawal lahirnya para mujaddid.
Selamat bermuktamar, Uhibbukumm fillah....
Selesai
di Cibinong, Kabupaten Bogor Jawa Barat,
Pasca
Gerhana Bulan
Ahad,
16 Jumadil Akhir 1436 H/5 April 2105
Pukul
06.34 WITA
No comments:
Post a Comment