Cari

“KORBAN” MENJELANG “IDUL QURBAN”

Sunday, 11 November 2012



Abu Fath al_Faatih[1]

Kamis, tepatnya 11 Oktober 2012, dalam perseteruan yang terjadi antara dua kubu, masih kuat di ingatan kita. Suara ledakan, teriakan, serta suara batu yang mengenai seng, sahut-menyahut. Terlihat sekawanan mahasiswa saling menyerbu satu dengan yang lain menggunakan parang, samurai sampai pistol rakitan. Hari itu adalah hari pilu. Kali itu, Rizky Munandar dan Haryanto, adalah dua orang yang harus menjadi korban. Keduanya ditikam di RS Haji Sulsel, Jalan Daeng Tata. Babak II perkelahian di ring berbeda. Mereka sempat mendapatkan pertolongan tim medis. Namun takdir mendahuluinya.
Pecahnya perang antarfakultas adalah satu bukti lagi, betapa umat begitu jauh dari al-qur’an. Setiap kelompok membangun gerakannya di atas kejahilan. Begitu hebat membuat strategi hanya untuk satu kepentingan, membela kehormatan kaumnya. Mereka marah, jika ada salah seorang diantara anggota kelompoknya dicederai. Mereka maju di barisan terdepan, dan membusungkan dada untuk saling menghancurkan. Dan kembali, korban pun tidak bisa dielakkan.
Ini adalah satu kenyataan yang telah menjadi “hujjah”[2], bahwa pokok persoalan atas umat hari ini, bukanlah pada kesenjangan politik atau pun ekonomi. Semuanya bersumber pada lemahnya aqidah dan retaknya fundamen “ilmu”. Muncul pemahaman yang keliru, yang menjadikan kebanggaan adalah pada kelompok dan keturunannya. Muncul orang-orang yang mengklaim atas kemuliaan kaum  di atas kaum yang lain. Padahal, itu merupakan sebuah kesalahan. Bukankah kampus “oemar bakrie” ini adalah pusat persiapan para pendidik yang akan mengarahkan umat ?. bukankah Kampus ini adalah menara gading, yang melahirkan pemimpin-pemimpin masa depan dan figur-figur pendidikan ?.
Karena itu, perlu observasi yang mendalam, perlu penelitian yang jauh. Fenomena ini hanya sebuah ranting. Akar masalahnya jauh bersembunyi di dalam tanah. Sama halnya dengan gunung es yang nampak di permukaan, namun memiliki akar yang jauh lebih besar di bawah permukaannya. Perlu gerakan massif. Birokrasi tidak boleh hanya sekedar menjadikan punishment “DO”[3] kepada para pelaku yang menjadi otak. Karena itu ternyata tidak menyelesaikan masalah. Ia justru menyulut sumbu api yang lain. Pressure birokrasi tidak boleh hanya sekedar dalam kebijakan secara “struktural”. Namun harus diiringi dengan gerakan “kultural”. Pendekatannya tidak boleh sebatas top-down, akan tetapi harus juga bersama upaya bottom-up, dari setiap elemen. Karena semakin jelaslah. Mahasiswa yang menjadi korban, sudah demikian banyak jatuh. Akan tetapi, pertikaian tak kunjung usai. Karena semua langkah-langkah baik pencegahan maupun penanganan hanya menjadi solusi praktis terhadap dampak yang tak berujung pada perdamaian. Solusinya hanya seperti obat yang menghilangkan gejala sakit, bukan sumber penyebab sakit.
Untuk itu, diperlukan gerakan bersama. Mungkin, semua orang telah sibuk dengan urusan masing-masing. Sibuk mencukupkan diri dengan reputasi akademik atau ekstrakurikuler, namun tidak memberi peran terhadap social turbulens di kampus. Padahal inilah tantangan sesungguhnya. Persoalan pertikaian ini adalah sebuah peluang, untuk melihat siapakah para “negosiator terbaik” yang tidak hanya berkarya untuk mengikuti lomba, namun punya kontribusi dalam rusaknya tatanan sosial dalam lingkungannya.
Inilah korban menjelang “idhul qurban”. Lagi; dua orang harus kembali jatuh. Dan semua seharusnya kembali “merenung sejenak”. Ini adalah peringatan. Tidak sekedar, kampus membutuhkan iklim inteletualitas, namun juga butuh orang-orang dengan kapasitas “kecerdasan emosional”[4]. Melerai, dan mempersatukan dua kelompok yang tak pernah akur.
Ideologi kekerasan itu harus disudahi. Dan pertarungan yang paling jelas memang adalah karena ide tentang gerakannya. Itu yang harus direstorasi. Ide tentang pertikaian yang harus diselesaikan. Karena itu, fokus kita hari ini, adalah dengan berusaha membendung “ide anarkisme”, yang di belakangnya hedonisme bercokol. Harus ada upaya “de-radikalisasi gerakan”. Memproteksi mahasiswa dari ideologi pemberontakan yang membabi buta, dengan “menyentuh hati”. Karena, sekali lagi mereka butuh sentuhan hati. Layaknya sebuah lahan tandus yang telah berpuluh tahun tak terjamah hujan.
Itulah korban yang jatuh. Korban menjelang Hari Raya Qurban. Sebuah persembahan bukan untuk Rabb, Allah Azza wa Jalla. Korban yang jatuh atas nama “fanatisme buta”. Atas dasar dendam, kekecewaan dan kemarahan. Bukan atas nama syariat. Korban, yang kita sedih melihatnya. Namun kasihan atas kejahilan yang merembesi aqidah umat. Korban yang tidak diketahui kepada siapa ia harus ditujukan. Atau mungkin merupakan bunga-bunga ritual kemenangan yang berujung pada dendam yang semakin menjadi-jadi. Hingga pertikaian pun tak pernah berakhir.
Inilah, sebuah bukti nyata tentang rusaknya fundamen aqidah yang telah begitu keropos dikeroyok budaya trend. Lemahnya iman dan tidak adanya pembimbing, membuat umat terus diseret oleh pengaruh kehidupan jahiliah. Entah apa lagi yang akan terjadi, jika hal ini terus dibiarkan. Rusaknya fasilitas, kendaraan yang dibakar, atau mungkin harus menunggu korban berikutnya. Hingga kita baru sadar, bahwa sepertinya memang ada yang perlu dibenahi.
Mari kita simak satu ayat dalam Al-Qur’an. Allah mengabadikan do’a Nabi Ibrahim Alahissalam,
Dan (ingatlah), ketika Ibrahim berdoa: "Ya Tuhanku, jadikanlah negeri ini, negeri yang aman sentosa, dan berikanlah rezki dari buah-buahan kepada penduduknya yang beriman diantara mereka kepada Allah dan hari kemudian…" (QS Al-Baqarah: 126).
Hal pertama yang Nabi Ibrahim alahissalam minta adalah rasa aman, setelah itu baru rezki. Karena rezki bisa dinikmati jika dimensi rasa aman (safety) telah didapatkan lebih dulu. Oleh sebab itu, prioritas utama kita adalah “meng-aman-kan” kampus. Menjaga iklim kampus agar tetap dalam kondisi damai. Sebelum itu terwujud, fasilitas tidak akan dapat dinikmati. Kerja kita hanya akan berkutat pada perbaikan fasilitas yang terus saja rusak. Yakinlah, “Phinisi” tidak akan bisa berlayar, jika dek bawahnya dibocori oleh sebagian awaknya. Dan tidak ada yang melarangnya dengan amar ma’ruf nahi munkar[5].
Akan tetapi, kabar terakhir menunjukkan satu bukti jelas. Penemuan 2,1 Kg ganja, beberapa botol miras dan timbangan dari berita yang diturunkan di portal LPPM Profesi. Penyisiran Tim Penyidik dari Polsekta Tamalate menunjukkan kampus ini telah menjadi tempat transaksi dan distribusi Narkotika dan obat–obat terlarang. Semua itu mengindikasikan retaknya kultur kampus sebagai menara gading. Penetas pelopor pendidik yang berubah menjadi tempat transaksi Narkotika. Oleh karena itu, kita berani mengatakan, “miras-lah penyebab tawuran”. Selama itu belum dientaskan, jangan harap kampus akan aman. Berapa pun jumlah cendikiawannya.
Itulah akibat, 1.400 tahun lalu telah diperingatkan. Namun, sayang peringatan itu tidak diindahkan. Atau mungkin tidak pernah dilirik. Diketahui, atau mungkin tidak mau untuk diketahui. Atau karena kerapuhan iman, sehingga larangan-Nya justru menjadi demikian mudah diamalkan. Allah menyebutkan,
Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan (QS al-Baqarah: 93).
Syariat allah telah mengatur bagaimana sikap kita kepada perkara khamar. Dan tidaklah dilarang, kecuali pasti akan mendatangkan kerusakan. Demikian sebaliknya, Jika dilanggar justru akan mengundang bencana.
Jatuhnya korban, rusaknya fasilitas, putusnya aktivitas akademik, hancurnya persatuan, yang berujung pada rusaknya citra dan identitas institusi di mata publik kini menjadi konsekuensi, ketika amar makruf dan nahi munkar tidak lagi ditegakkan. Para civitas akademika, telah larut dalam urusan masing-masing, sementara upaya perusakan umat terus mengalir, menyeret orang-orang yang tidak berpegang pada “dustur ilahiyah”[6]. Kemaksiatan merajalela, namun semua tutup mata, mulut dan telinga. Sibuk dengan urusannya masing-masing.
Hal ini mengingatkan kita dengan satu hadits nabi saw,
Dari Ibnu Umar-radhiallahu anhu- saya mendengar Rasulullah shallahu alaihi wasallam berkata, “Jika kalian telah berjual beli dengan al’inah (riba), dan telah mengikuti ekor-ekor sapi, dan telah ridha dengan tanam-tanaman, dan meninggalkan perjuangan (jihad), maka Allah akan menimpakan kehinaan kepada kalian. Dan tidak allah tidak akan mengangkatnya, hingga kalian kembali kepada agama kalian” (HR. Abu Daud).
Jika sistem ekonomi kita telah berbau ribawi. Dan umat islam telah disibukkan dengan urusan pribadi, dan telah merasa tenang dengan reputasi dunia, serta meninggalkan jalan perjuangan dalam amar makruf dan nahi munkar, maka kehinaan akan ditimpakan kepada kita semua. Syarat dalam menempuh jalan keluarnya adalah kembali kepada agama.
Tingginya menara phinisi, tak mampu menghentikan korban. Ia tak memberi solusi pada kerusuhan kampus. Oleh  karena itu, kampus pendidik ini, harus melakukan perbaikan metode pendidikannya. Tidak cukup dengan fasilitas. Harus ada upaya yang dibangun di atas idealisme pembentukan karakter manusia yang utuh. Karena ternyata kampus tidak lagi memanusiakan manusia, justru membuat mereka semakin dekat derajatnya dengan hewan. Tak ubahnya berakhlaq seperti hewan. Saling menanduk, atau mungkin saling mencederai dan saling membunuh satu sama lain. Potensinya bukan untuk memperbaiki, namun untuk merusak.
Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk (isi neraka Jahannam) kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai. (QS Al-A’raf: 179)
Karena itu, mari berbenah ! (Wallohu ta’ala a’lam).


[1] Koordinator Pusat Jaringan Wilayah Sulawesi, Maluku, Papua Lingkar Dakwah Mahasiswa Indonesia (LIDMI) tahun 2011-2012
[2] Argumen yang kuat                                    
[3] Drop Out (sanksi akademik berupa pemecatan atau pencabutan hak sebagai mahasiswa UNM) (Peraturan Kemahasiswaan Bab VIII, pasal 23 ayat (2) poin e, dan pasal 26)
[4] Kecerdasan Emosional meliputi empati, kejujuran, tanggung jawab, integritas dan lain-lain
[5] Mengajak kepada kebaikan dan mencegah dari yang munkar
[6] Aturan Allah

No comments:

Post a Comment

 

Iklan Buku

Followers

Bincang-Bincang