Cari

INDONESIA, DI BAWAH BAYANG-BAYANG DEMOKRASI (II-Habis)

Monday 12 November 2012


 
Abu Fath al Faatih

Mendudukkan Problematika Bangsa
Jika kita memandang persoalan dari setiap masalah bangsa, kita akan melihat krisis multidimensional. Utang yang melilit leher rakyat, masalah KKN, serta problem disintegrasi bangsa serta krisis akhlaq. Akan tetapi jika kita jeli melihatnya, persoalannya sederhana. Masalah-masalah itu seperti kran-kran yang terus mengalirkan air. Ternyata jika ditelusuri, semua kran tadi bersumber dari satu kran utama. Jika kran utama itu telah ditutup, semua kran masalah tadi akan tertutup pula.
Ya, kran itu adalah kran aqidah. Persoalan keyakinan individual. Persoalan yang membuat manusia tidak mampu melawan fitnah (cobaan) berupa trilogy dunia (Baca: harta, wanita dan tahta). Sekiranya, mari kita bermimpi bahwa suatu saat seluruh penduduk ini telah beriman dan memiliki aqidah shahih, maka tak perlu lelah mengejar para koruptor. Tidak perlu letih meneliti kasus demi kasus. Bahkan harus dibuatkan badan tersendiri untuk satu kasus tersendiri.
Itulah yang dilakukan oleh Rasulullah Shallahu alaihi wa sallam. 13 tahun membina aqidah para sahabat. Sehingga di periode madinah, muncul orang-orang yang memiliki integritas dalam menjalankan tugas-tugas warga Negara dan sebagai hamba Allah.
Di zaman itu diriwayatkan seorang wanita yang datang kepada Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam mengadu untuk dihukum rajam karena berzina. Beliau menangguhkannya sampai melahirkan. Setelah itu dengan sabar wanita ini menunggu masa kelahiran anaknya. Setelah itu, ia kembali kepada Nabi Shallallahu alaihi wasallam. Akan tetapi beliau kembali menangguhkannya, sampai ia selesai menyapih atau menyusuinya. Bukan malah lari atau menghilang, wanita ini justru sadar akan kesalahannya ia tetap sabar menyapih anaknya selama dua tahun. Setelah itu baru ia mendapatkan hukumannya. Dapat dibayangkan seorang yang bersalah, dan tanpa diawasi oleh intelijen, wanita ini siap untuk menerima konsekuensi atas kesalahan yang diperbuatnya. Bukan hanya itu, ia dengan sabar menanti keputusan Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam atasnya. Disitulah puncak peradaban islam. Bukan pada dinasti Abbasiyah, atau Turki Utsmani dengan cirri kejayaan luas wilayah kekuasaan dan kemajuan masyarakat di bidang ekonomi. Bukan itu.
Yang penulis ingin tunjukkan adalah kemampuan islam dalam mencetak manusia-manusia berkualitas. Karena itulah para cendikiawan muslim mendudukkan periode madinah sebagai puncak keberhasilan peradaban islam. Puncak kejayaan itu ada pada system yang berhasil membentuk karakter masyarakat bertauhid. Masyarakat yang berakhlaq dan jauh dari kesyirikan serta disintegrasi. Hal ini tepat dengan apa yang dijelaskan oleh Allah Subhanahu wata’ala.
55. Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa dimuka bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka dalam ketakutan menjadi aman sentausa. Mereka tetap menyembahku-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan Aku. Dan barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik.
Demikian gambaran Allah. Persoalan kemakmuran, kekuasaan, keamanan dan kesejahteraan adalah anugrah. Ia adalah hadiah dari Allah Subhanahahu wata’ala. Setelah syarat utama dari perjuangan terealisasi. Ya, Mereka tetap menyembahku-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan Aku, kata Allah selanjutnya. Itu kuncinya, tauhid. Akan tetapi tidak boleh memaknainya sebatas persoalan ibadah saja. Persoalan tauhid adalah persoalan yang melingkupi seluruh dimensi hidup manusia. Orang malas beribadah, shalat, puasa, zakat intinya karena aqidahnya lemah. Lemah keyakinannya dari janji syurga Allah. Itu pula yang menyebabkan seseorang gampang terseret oleh tumpukan uang ketika memuluskan satu tender proyek dan akhirnya berujung di KPK. Ini hanya contoh kecil, masih banyak yang lain.
Kalau mereka adalah orang yang menolak kapitalisme, justru setelah kampus, mereka-lah yang menjadi pengguna produk kapitalisme. Kalau mereka adalah para penentang diktator, justru mereka-lah yang tak berkutik ketika masuk ke sistem. Kalau dulu mereka adalah pejuang dalam pemberantasan KKN, justru sangat ironi, pasca menerima jabatan, merekalah pelakunya. Kalau dulu mereka adalah penentang kedzaliman, justru pascakampus merekalah yang berbuat dzalim. Kalau dulu mereka adalah aktivis-aktivis ideologis, justru pascakampus mereka hanya menjadi manusia-manusia pragmatis-praktis. Kalau dulu mereka adalah penentang getol produk-produk kapitalisme, justru pascakampus merekalah pengguna setia produknya.
Sungguh deretan pernyataan di atas adalah sesuatu yang memilukan dada. Hanya dengan menghela nafas panjang yang dapat melegakannya.
Atas dasar itulah upaya kerja nyata yang diaktualkan sejak dini adalah tanggapan yang tepat. Sudah terlalu lama kita membincang revolusi dan perubahan, toh kenyataannya umat, bangsa dan negara belum juga keluar dari tempurung keterbelakangan.
Perjuangan adalah takaran mutlak perubahan. Tapi ingat, dalam menggaris vektor perubahan, titik awal yang mesti kita tentukan adalah ujungnya mengarah ke mana. Setelah jelas arahnya, maka baru nilainya yang menyusul. Perubahan bukan hanya sekedar semangat. Kita memang rindu  akan hadirnya pembaharu-pembaharu yang mampu memperbaiki kondisi. Akan tetapi bekal untuk perjuangan itu bukan hanya kemauan, visi dan cita-cita. Ia harus dibangun di atas kebijaksanaan seorang berilmu dan prinsip-prinsip itu harus menjadi patron realisasi aksi menuju perubahan.
Dampak ketika tidak di atas petunjuk dan bimbingan prinsip-prinsip ilmu adalah seperti apa yang kita lihat dari berbagai media. Sangat memilukan, mahasiswa meneriakkan revolusi dan memperjuangkan perubahan dan keadilan dan kebebasan. Namun, tepat pada saat yang sama yang terjadi adalah kedzaliman. Untuk itu, perlu dikaji ulang. Apakah hal tersebut adalah jalan atau solusi terbaik dalam melakukan perubahan.
Sudah saatnya kita memfokuskan perjuangan untuk membangun bangsa kita menjadi lebih baik dengan memulai dari kampus. Mari kita lebih dulu membenahi masalah-masalah yang sangat dekat dengan diri kita, sebelum melangkah ke wacana yang lebih besar. Misalnya, masalah tawuran antar fakultas, masih adanya pungli yang dilakukan senior terhadap juniornya. Bahkan yang paling memprihatinkan bagi aktivis beragama Islam adalah masih terjadinya kesyirikan di dalam kampus. Berkeliarannya wanita-wanita yang sengaja mempertontonkan aurat bahkan masih banyak mahasiswa yang belum bisa baca tulis AI-Qur'an.
Oleh karena itu, fokus pergerakan yang efektif dilakukan saat ini adalah dengan melakukan pembinaan terhadap individu-individu mahasiswa agar terbentuk komunitas mahasiswa yang berakhlak dan bertauhid murni. Sebagaimana gerakan Rasululullah Shallallahu alaihi wasallam membentuk dan merubah arab jahiliyah saat itu.
Adapun pembinaan yang dilakukan adalah dengan mengacu pada pembinaan Rasulullah, Muhammad Shalallahu Alaihi Wasallani. "Sesugguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah. " (Qs. Al-Ahzab: 21).
Khatimah
Di sesi akhri ini, penulis hanya ingin menyatakan bahwa bangkitnya bangsa dan tegaknya sebuah peradaban tidak cukup hanya dengan artikulasi ide dan pemikiran. Tidak cukup hanya dengan darah dan peluh. Ia butuh kerja nyata. Tidak cukup dengan teriakan-teriakan idealis.
Solusi berikutnya adalah perlunya patron nilai universal yang menjadi prinsip kompetisi yang diakui secara umum oleh semua elemen yang ada. Patron dalam mengawal perubahan yang saya maksudkan adalah budaya ilmiah di lingkungan kampus. Karena kita tidak bisa menutup mata, budaya ini seakan telah tenggelam ditengah temperamental karena kondisi yang labil dan semangat serta idealisme yang tak terkendali.
Oleh karena itu, gerakan mahasiswa sepatutnya harus merevisi patron gerakannya untuk diarahkan dan dibangun di atas prinsip-prinsip ilmiah, budaya ilmu dan diskusi, membaca dan menulis. Budaya berpikir dan berdzikir, tadabbur dan tafakkur. Hingga akan muncul spirit perubahan yang mengarah kepada perubahan berbasis paradigma tauhid.
Karena itu jangan pernah berharap akan terjadi perubahan, jika ruh gerakan pembaruan LK atau mahasiswa adalah budaya-budaya hasil warisan jahiliah. Perpecahan, perang, pertikaian, anarkisme, apalagi ketika lingkar budaya itu telah menjangkau sampai radius aktivitas-aktivitas sia-sia, seperti judi, miras dan pacaran. Jangan pernah berharap. Sekali lagi saya katakan, sedikit pun jangan pernah berharap !!!.
Jangan pernah memimpikan perubahan jika budaya itu masing-masing melingkupi aktivitas-aktivitas kita, dan budaya ilmiah belum menjadi nilai yang dijunjung tinggi dalam realisasi idealisme mahasiswa. Perubahan itu tidak hanya dibawa dengan batu dan darah, tapi perubahan itu dibawa dengan kecintaan terhadap tradisi ilmu, tinta dan peluh. Karena yang kita ingin bangun kembali adalah peradaban yang telah lama hilang. Sebuah peradaban warisan generasi terbaik manusia. Diletakkan pada wahyu ilahi yang paling pertama turun yang mampu mereformasi peradaban hingga memimpin 2/3 belahan dunia. Wahyu yang mengawal transformasi peradaban yang menjadi anugrah dari Allah, hingga menguasai sebagian besar daratan Eropa, Asia dan Afrika selama kurang lebih 700 tahun.
Bacalah, dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan (QS Al-‘Alaq:1)
Ya, wahyu inilah yang saya maksud (Wallohu ta’ala a’lam).

2 comments

  1. Tetapi demokrasi tidak harus mutlak ditolak...
    jika itu memang ada yang sesuai dengan islam...

    (blogwalking...http://muhammadscilta.blogspot.com/)

    ReplyDelete
  2. demokrasi... hancurkan...
    islam... tegakkan...

    ReplyDelete

 

Iklan Buku

Followers

Bincang-Bincang