Cari

ATAS NAMA DEMOKRASI (I)

Monday, 12 November 2012


 
Abu Fath al-Faatih

Demokrasi terlahir sekitar tahun 429 SM di Yunani oleh para filsuf terkenal seperti Aristoteles dan Plato, yang merupakan bentuk rasa kecewa mereka terhadap kekaisaran yang berkuasa pada waktu itu. Mereka mengiming-imingi demokrasi ini akan dilakukan sepenuhnya dengan, oleh, dan untuk rakyat dengan istilah suara rakyat adalah suara tuhan. Apakah itu pemikiran kita sebagai masyarakat yang agamis, masyarakat yang mempercayai adanya tuhan?. Tentu kalau kita kaji lebih jauh lagi istilah ini tidak akan sampai dalam pikiran kita ketika demokrasi ini dianggap sebagai metode yang paling efektif atau yang mereka menyebutnya suatu cara yang paling demokratis.
Aristoteles dalam bukunya "Organon" bab Retorika ketika menyandingkan bentuk-bentuk pemerintahan dalam: Demokrasi, Oligarki, Aristokrasi, dan Monarki mendefinisikan pemerintahan demokrasi sebagai jika kekuasaan dalam pemerintahan itu dibagi-bagi menurut pemilihan atau kesepakatan.
 Artinya, bahwa suatu kebijakan itu ditentukan oleh mayoritas suara sebagai pemenang dan suara minoritas akan tersingkir sebagai pihak yang kalah. Suara orang-orang terpelajar, orang-orang yang memiliki ilmu seperti, guru, doktor bahkan  professor disamakan dengan suara orang-orang bodoh, orang-orang yang tidak pernah mengenyam pendidikan dengan hitungan perkepala satu suara. Jika kita melihat demokrasi yang memiliki sifat menang dan kalah, apa bedanya dengan melakukan judi, yang dilarang di agama manapun. Sama-sama memiliki sifat menang dan kalah, pemenang menjadi penguasa dan pihak yang kalah menjadi jongos (penjilat) atau orang yang berkuasa. Tidakkah kita melihat fenomena ini sekarang?,  proses dan aktivitas demokrasi digunakan dalam berbagai kegiatan dengan menggunakan pemungutan suara (voting) dari tingkat terbawah (RT) hingga tingkat nasional.
Dalam KBBI offline v 1.1 tahun 2010, demokrasi adalah bentuk atau sistem pemerintahan yang seluruh rakyatnya turut serta memerintah dengan perantaraan wakilnya; pemerintahan rakyat; atau gagasan atau pandangan hidup yang mengutamakan persamaan hak dan kewajiban serta perlakuan yang sama bagi semua warga negara.
Secara umum, demokrasi dapat diartikan secara ringkas sebagai pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Sehingga dalam demokrasi dikenal istilah kebebasan berekspresi, kebebasan berpendapat dan terjaminnya hak-hak rakyat. Secara historis juga demokrasi lahir dari petisi atau protes terhadap kekuasaan yang telah melampaui kapasitas atau wewenangnya. Akhirnya timbullah reaksi terhadap kesewenang-wenangan, yang memandang bahwa kekuasaan tertinggi bukan pada penguasa, akan tetapi rakyat. Penguasa hanyalah diangkat untuk melindungi hak-hak rakyat. Dan jika rakyat bersepakat untuk menurunkannya, maka ia dapat diturunkan. “Kontrak politik”, istilah yang lebih lazim dikenal. Yaitu untuk menjalankan roda pemerintahan, penguasa dipilih oleh rakyat. Jika ia berhasil menjalankan tugasnya maka ia tetap dalam posisinya. Akan tetapi jika tidak dapat memenuhi hak-hak rakyat, maka rakyat dengan kekuasannya dapat menurunkannya.
Inilah yang menjadi paradigma berpikir kebanyakan masyarakat. “Negara kita sudah era reformasi”, “sekarang zaman kebebasan”, dan lain-lain. Demikian perkataan-perkataan orang-orang sekarang.
Akan tetapi, jika diteliti dan dilihat aplikasinya, ternyata demokrasi seakan hanya menjadi sebuah semboyan dalam angan-angan. Kita memahami bahwa demokrasi mengedepankan nilai kebebasan dan kesetaraan hak, akan tetapi dalam tataran realitas, tenyata ada ketimpangan.
Baru-baru ini ada seorang mahasiswa yang aktif mengikuti kajian keislaman dan memprogramkan matakuliah PPL (praktik pengalaman lapangan). Karena kepercayaan dan keyakinan untuk tidak memanjangkan kainnnya melewati mata kaki[1]. Akhirnya mata kakinya kelihatan apalagi dipadanakan dengan kaos kaki putih dengan celana dan sepatu hitam. Dengan satu alasan, bahwa sekolah yang didatanginya adalah sekolah swasta dan tidak pernah ada seperti itu sebelumnya. Akhirnya kepala sekolahnya menyuruhnya untuk keluar. Tidak mengajar lagi.
Karena sudah memprogramkan matakuliah ini, maka ia pun khawatir, kuliahnya malah amburadul. Matakuliah yang ia sudah susun akan diulang kembali tahun berikutnya, sementara ia masih punya kuliah. Akhirnya ia harus menangung konsekuensi untuk menambah jangka waktu studinya.
Ia pun berkonsultasi ke dosen pembimbing, demikian halnya pihak penyelenggara PPL. Ia tetap mempertahankan pendapatnya, pilihannya kalau ia dikeluarkan, maka ia meminta pindah sekolah. Akan teapi pihak PPL mengatakan, itu bukan lagi wewenang kami. Karena itu, ikuti saja keinginan kepala sekolahnya. Ia pun menjadi putus asa. Tidak tahu bagaimana seharusnya langkah-langkah yang bias dia ambil.
Inilah wajah demokrasi kita. Di satu sisi, digembar-gemborkan tentang demokrasi dan kebebasan. Tapi itu hanya untuk suara-suara yang memperjuangkan keburukan akhlaq.  Bagaimana getolnya masyarakat menentang RUU Anti Pornografi dan Pornoaksi dan lain-lain. Akan tetapi jika itu mnyangkut kepentingan umat islam, maka ia ternyata tidak diperhatikan. Bahkan dijadikan sebagai bahan untuk ditindas dan ditutup-tutupi syiarnya.
Inilah wajah demokrasi kita. Wajah demokrasi kebebasan yang kebablasan. Di satu kebebasan, akan tetapi di sisi lain, ketika seseorang ingin melakukan kebaikan, justru tidak dihargai. Wallohu al musta’an.

PLT, 12.23 1 Maret 2012
Menanti Subuh Kamis dan Muraja’ah



[1] Dalam istilah syar’i disebut isbal

No comments:

Post a Comment

 

Iklan Buku

Followers

Bincang-Bincang