Abu Fath al-Faatih
Demokrasi
terlahir sekitar tahun 429 SM di Yunani oleh para filsuf terkenal seperti
Aristoteles dan Plato, yang merupakan bentuk rasa kecewa mereka terhadap
kekaisaran yang berkuasa pada waktu itu. Mereka mengiming-imingi demokrasi ini
akan dilakukan sepenuhnya dengan, oleh, dan untuk rakyat dengan istilah suara
rakyat adalah suara tuhan. Apakah itu pemikiran kita sebagai masyarakat yang
agamis, masyarakat yang mempercayai adanya tuhan?. Tentu kalau kita kaji lebih
jauh lagi istilah ini tidak akan sampai dalam pikiran kita ketika demokrasi ini
dianggap sebagai metode yang paling efektif atau yang mereka menyebutnya suatu
cara yang paling demokratis.
Aristoteles
dalam bukunya "Organon" bab Retorika ketika menyandingkan
bentuk-bentuk pemerintahan dalam: Demokrasi, Oligarki, Aristokrasi, dan Monarki
mendefinisikan pemerintahan demokrasi sebagai jika kekuasaan dalam pemerintahan
itu dibagi-bagi menurut pemilihan atau kesepakatan.
Artinya, bahwa suatu kebijakan itu ditentukan
oleh mayoritas suara sebagai pemenang dan suara minoritas akan tersingkir
sebagai pihak yang kalah. Suara orang-orang terpelajar, orang-orang yang
memiliki ilmu seperti, guru, doktor bahkan
professor disamakan dengan suara orang-orang bodoh, orang-orang yang
tidak pernah mengenyam pendidikan dengan hitungan perkepala satu suara. Jika
kita melihat demokrasi yang memiliki sifat menang dan kalah, apa bedanya dengan
melakukan judi, yang dilarang di agama manapun. Sama-sama memiliki sifat menang
dan kalah, pemenang menjadi penguasa dan pihak yang kalah menjadi jongos
(penjilat) atau orang yang berkuasa. Tidakkah kita melihat fenomena ini
sekarang?, proses dan aktivitas
demokrasi digunakan dalam berbagai kegiatan dengan menggunakan pemungutan suara
(voting) dari tingkat terbawah (RT) hingga tingkat nasional.
Dalam KBBI
offline v 1.1 tahun 2010, demokrasi adalah bentuk atau sistem pemerintahan yang
seluruh rakyatnya turut serta memerintah dengan perantaraan wakilnya;
pemerintahan rakyat; atau gagasan atau pandangan hidup yang mengutamakan
persamaan hak dan kewajiban serta perlakuan yang sama bagi semua warga negara.
Secara umum,
demokrasi dapat diartikan secara ringkas sebagai pemerintahan dari rakyat, oleh
rakyat, dan untuk rakyat. Sehingga dalam demokrasi dikenal istilah kebebasan
berekspresi, kebebasan berpendapat dan terjaminnya hak-hak rakyat. Secara
historis juga demokrasi lahir dari petisi atau protes terhadap kekuasaan yang
telah melampaui kapasitas atau wewenangnya. Akhirnya timbullah reaksi terhadap kesewenang-wenangan,
yang memandang bahwa kekuasaan tertinggi bukan pada penguasa, akan tetapi
rakyat. Penguasa hanyalah diangkat untuk melindungi hak-hak rakyat. Dan jika
rakyat bersepakat untuk menurunkannya, maka ia dapat diturunkan. “Kontrak
politik”, istilah yang lebih lazim dikenal. Yaitu untuk menjalankan roda
pemerintahan, penguasa dipilih oleh rakyat. Jika ia berhasil menjalankan
tugasnya maka ia tetap dalam posisinya. Akan tetapi jika tidak dapat memenuhi
hak-hak rakyat, maka rakyat dengan kekuasannya dapat menurunkannya.
Inilah yang
menjadi paradigma berpikir kebanyakan masyarakat. “Negara kita sudah era reformasi”,
“sekarang zaman kebebasan”, dan lain-lain. Demikian perkataan-perkataan
orang-orang sekarang.
Akan tetapi,
jika diteliti dan dilihat aplikasinya, ternyata demokrasi seakan hanya menjadi
sebuah semboyan dalam angan-angan. Kita memahami bahwa demokrasi mengedepankan
nilai kebebasan dan kesetaraan hak, akan tetapi dalam tataran realitas, tenyata
ada ketimpangan.
Baru-baru ini
ada seorang mahasiswa yang aktif mengikuti kajian keislaman dan memprogramkan
matakuliah PPL (praktik pengalaman lapangan). Karena kepercayaan dan keyakinan
untuk tidak memanjangkan kainnnya melewati mata kaki[1].
Akhirnya mata kakinya kelihatan apalagi dipadanakan dengan kaos kaki putih
dengan celana dan sepatu hitam. Dengan satu alasan, bahwa sekolah yang
didatanginya adalah sekolah swasta dan tidak pernah ada seperti itu sebelumnya.
Akhirnya kepala sekolahnya menyuruhnya untuk keluar. Tidak mengajar lagi.
Karena sudah
memprogramkan matakuliah ini, maka ia pun khawatir, kuliahnya malah amburadul. Matakuliah
yang ia sudah susun akan diulang kembali tahun berikutnya, sementara ia masih
punya kuliah. Akhirnya ia harus menangung konsekuensi untuk menambah jangka
waktu studinya.
Ia pun berkonsultasi
ke dosen pembimbing, demikian halnya pihak penyelenggara PPL. Ia tetap mempertahankan
pendapatnya, pilihannya kalau ia dikeluarkan, maka ia meminta pindah sekolah.
Akan teapi pihak PPL mengatakan, itu bukan lagi wewenang kami. Karena itu,
ikuti saja keinginan kepala sekolahnya. Ia pun menjadi putus asa. Tidak tahu
bagaimana seharusnya langkah-langkah yang bias dia ambil.
Inilah wajah
demokrasi kita. Di satu sisi, digembar-gemborkan tentang demokrasi dan
kebebasan. Tapi itu hanya untuk suara-suara yang memperjuangkan keburukan
akhlaq. Bagaimana getolnya masyarakat
menentang RUU Anti Pornografi dan Pornoaksi dan lain-lain. Akan tetapi jika itu
mnyangkut kepentingan umat islam, maka ia ternyata tidak diperhatikan. Bahkan
dijadikan sebagai bahan untuk ditindas dan ditutup-tutupi syiarnya.
Inilah wajah
demokrasi kita. Wajah demokrasi kebebasan yang kebablasan. Di satu kebebasan,
akan tetapi di sisi lain, ketika seseorang ingin melakukan kebaikan, justru
tidak dihargai. Wallohu al musta’an.
PLT, 12.23 1 Maret 2012
Menanti Subuh
Kamis dan Muraja’ah
No comments:
Post a Comment