Cari

INDONESIA, DI BAWAH BAYANG-BAYANG DEMOKRASI (I)

Monday, 12 November 2012




Abu Fath al Faatih 1]

Sistem Demokrasi telah membuka peluang antar elit politik dan antar konstituen (pendukung) partai saling berbenturan. Masing-masing memiliki kepentingan dan fanatisme kepartaian. Karena itu, seringkali wahana pesta demokrasi diwarnai aksi-aksi vandalis (merusak), penganiayaan fisik, bahkan pembunuhan rival politik. Konflik di tingkat elit diikuti pula dengan konflik di level bawah. Renungkanlah !!! (Oliver, Invasi Barat. 2009)
Mukadimah
Menyusul isu kenaikan BBM, kecaman dan unjuk rasa mulai bertebaran. Para mahasiswa dan elite politik menunjukkan aksinya. Mereka memperlihatkan perhatian mereka terhadap masyarakat yang sepertinya dizhalimi dengan kenaikan BBM tersebut.
            Mulai dari long march, unjuk rasa, sampai pada aksi yang berujung pada perusakan fasilitas-fasilitas jalan. Semua itu dianggap adalah bentuk kecaman terhadap pemerintah yang tidak berpihak pada rakyat. Kenaikan harga BBM karena pengurangan subsidi dari pemerintah adalah bentuk penindasan. Itu tidak lain hanya akan terus membuat masyarakat semakin kepayahan dalam menjalani kehidupannya. Namun, di sisi yang lain rakyat bebas mengemukakan pendapat. Menyampaikan ide dan aspirasinya dalam menuntut hak.
            Itulah ciri demokrasi. Kebebasan, kemanusiaan, kesetaraan dan persamaan. Jargon yang terus menjadi wacana sentral dalam mengusung agenda perubahan Negara. Sebuah kecaman dan aksi protes dalam bentuk orasi di jalan, bahkan sampai melakukan aksi anarkhis secara lumrah dipahami oleh masyarakat sebagai bagian dinamika dari Negara Demokrasi. Pemerintah secara terbuka menerima kritikan. Dan rakyat pun harus proaktif dalam menjalankan fungsi pengawasan terhadap kinerja penguasa. Karena itu dikenal dalam social engineering (Rekayasa Sosial), Pressure Group (Kelompok Penekan) yang menjadi pengawas kebijakan-kebijakan publik.
            Selain itu, ciri demokrasi adalah keberpihakan dalam sebuah keputusan ditentukan oleh suara terbanyak. Jumlah mayoritas. Kebenaran, dan keadilan dipandang adalah miliki masayarakat. Sehingga rakyat dibiarkan memilih ketentuan mereka sendiri. Kelompok-kelompok pendapat itulah yang akan dinilai, mana yang paling banyak. Secara otomatis, kebenaran dan kekuasaan tertinggi ada pada rakyat banyak.

Lebih Dekat dengan Demokrasi
Demokrasi terlahir sekitar tahun 429 SM di Yunani oleh para filsuf terkenal seperti Aristoteles dan Plato, yang merupakan bentuk rasa kecewa mereka terhadap kekaisaran yang berkuasa pada waktu itu. Mereka mengiming-imingi demokrasi ini akan dilakukan sepenuhnya dengan, oleh, dan untuk rakyat dengan istilah suara rakyat adalah suara tuhan. Apakah itu pemikiran kita sebagai masyarakat yang agamis, masyarakat yang mempercayai adanya tuhan?. Tentu kalau kita kaji lebih jauh lagi istilah ini tidak akan sampai dalam pikiran kita ketika demokrasi ini dianggap sebagai metode yang paling efektif atau yang mereka menyebutnya suatu cara yang paling demokratis.
            Orang-orang Islam mengenal kata demokrasi sejak jaman transliterasi buku-buku Yunani pada jaman Abbasiyah. Selanjutnya kata itu menjadi bahasan pokok para filosof muslim jaman pertengahan seperti Ibnu Sina (Avicenna), dan Ibn Rusyd ketika membahas karya-karya Aristoteles. Aristoteles dalam bukunya "Organon" bab Retorika ketika menyandingkan bentuk-bentuk pemerintahan dalam: Demokrasi, Oligarki, Aristokrasi, dan Monarki mendefinisikan pemerintahan demokrasi sebagai jika kekuasaan dalam pemerintahan itu dibagi-bagi menurut pemilihan atau kesepakatan. Artinya, bahwa suatu kebijakan itu ditentukan oleh mayoritas suara sebagai pemenang dan suara minoritas akan tersingkir sebagai pihak yang kalah. Suara orang-orang terpelajar, orang-orang yang memiliki ilmu seperti, guru, doctor bahkan  professor disamakan dengan suara orang-orang bodoh, orang-orang yang tidak pernah mengenyam pendidikan dengan hitungan perkepala satu suara. Jika kita melihat demokrasi yang memiliki sifat menang dan kalah, apa bedanya dengan melakukan judi, yang dilarang di agama manapun. Sama-sama memiliki sifat menang dan kalah, pemenang menjadi penguasa dan pihak yang kalah menjadi jongos (penjilat) atau orang yang berkuasa.
Istilah demokrasi dalam sejarah Islam tetaplah asing, karena sistem demokrasi tidak pernah dikenal oleh kaum muslimin sejak awal. Orang-orang Islam hanya mengenal kebebasan (al hurriyah) yang merupakan pilar utama demokrasi yang diwarisi semenjak zaman Nabi Muhammad Shallalhu Alaihi Wasallam. Termasuk di dalamnya kebebasan memilih pemimpin, mengelola negara secara bersama-sama (syuro), kebebasan mengkritik penguasa, kebebasan berpendapat.
            Berdasarkan prinsip ini maka ajaran Islam menolak kudeta atau merebut kekuasaan secara inkonstitusional. Kudeta merupakan bentuk pernyataan sepihak sebagai penguasa. Sedangkan legitimasi kekuasaan harus diperoleh dari rakyat secara sukarela tanpa ada paksaan apapun yang bisa membawa kemashlahatan umat.
            Dari titik ini para ulama Islam sejak dulu menegaskan bahwa kekuasaan pada asalnya di tangan rakyat, karena itu kekuasaan tidak boleh dipaksakan tanpa ada kerelaan dari hati rakyat. Pernyataan kerelaan itu dinyatakan dalam bentuk "pernyataan setia" atau bai'at (kesetiaan kepada pemimpin/imam)
            Mari kita analisis secara jernih dan jujur bahwa antara Islam dan demokrasi saling bertentangan.
Pertama :
Secara bahasa , demokrasi berasal dari bahasa Yunani. Dari kata ‘Demos” dan “Kratos” demos artinya rakyat, sedangkan kratos artinya kekuasaan atau pemerintahan. Maknanya adalah pemerintahan/ kekuasaan rakyat. Pada prakteknya adalah suatu pemerintahan yang dijalankan dengan kehendak rakyat (mayoritas rakyat). Maka sistim kekuasaan yang berlaku, hukum undang-undang, program penguasa suatu Negara ditentukan oleh suara mayoritas rakyat atau wakilnya. Adapun makna Islam secara bahasa berarti masuk dalam kedamaian, sedangkan secara syara, Islam berarti pasrah kepada Allah. Betauhid dan tunduk kepada-Nya. Taat dan membebaskan diri dari syirik dan pengikutnya. Maka itu jelas dalam Islam : ketundukan , ketaatan, dan kepatuhan adalah hanya kepada Allah, termnasuk dalam menjalankan pemerintahan, politik, hukum, dan undang-undang.
Dalam Islam, hukum adalah hak Allah untuk membuat dan menentukannya. Dalam demokrasi membuat hukum ada di tanagan rakyat atau wakilnya, yaitu anggota legislative. Jadi sangat jelas bahwa Islam bertolak belakang dengan demokrasi. Ini bisa dilihat oleh setiap orang yang memilili mata kecuali orang buta.
Kedua :
Demokrasi bersumber dari akal manusia. Peletak dasar demokrasi adalah Jean Jasques Russao, orang Rusia, yang kemudian disempurnakanoleh Montesque dengan ajaran trias politika. Dalam Trias Politica disebutkan bahwa kekuasaan terbagi menjadi tiga yaitu : Legislatif sebagai pembuat undang-undang, Eksekutif sebagai pelaksana undang-undang, Yudikatif sebagai pengawas undang-undang.
Adapun Islam bersumber dari wahyu Allah yang disampaikan kepada Rasulullah SAW dengan perantara malaikat Jibril As. Dalam Islam yang membuat undang-undang adalah hak Allah SWT. Undang-undang itu dilaksanakan oleh manusia.
Demokrasi berasal dari pikiran manusia yang penuh dengan kelemahan dan kekurangan. Sedangkan Islam, berasal dari Allah yang maha sempurna. Bagaimana mungkin keduanya sama?
Ketiga :
Dalam demokrasi orang bebas untuk memilih agama dan berpindah agama, sehingga tidak mengapa bila seorang Muslim murtad, berpindah agama Yahudi atau Nasrani atau agama lainnya. Dalam Islam orang yang berpindah agama (murtad) hukumannya adalah dibunuh.
Seperti sabda Rasulullah SAW: “Barang siapa yang mengganti agamanya, maka bunuhlah!!!”
Islam tidak memaksakan orang untuk menjadi muslim, namun ketika seorang sudah masuk Islam, dia harus taat dan tunduk pada perintah serta ajaran Islam, dan dia tidak boleh keluar dari Islam.
Dalam ajaran demokrasi , setiap orang yang beragama apa saja tidak disebut kafir. Dalam Islam, orang yang beragama selain Islam disebut kafir.
Keempat :
Manusia mempunyai kedudukan yang sama derajatnya dalam demokrasi, baik kafir maupun muslim (namum kenyataannya nagara pengusung demokrasi (Barat) merasa superior, dari bangsa lainnya) dalam Islam, orang Muslim (beriman) lebih mulia derajatnya dari orang kafir.

Sebagaimana firman Allah SWT :
“Dan janganlah kamu merasa lemah dan jangan pula bersedih hati. Sebab kamu paling tinggi derajatnya jika kamu orang beriman” (QS Ali Imran (3):139).

Keempat hal di atas adalah sebagian kecil pertentangan antara Islam dan demokrasi. Adapun yang perlu diperhatikan adalah hakikat dari ajaran demokrasi. Hakikat dari ajaran demokrasi adalah pemberian kekuasaan kepada mayoritas rakyat atau wakilnya untuk membuat hukum atau undang-undang. Dimana hukum atau undang-undang yang telah disepakati oleh para wakil rakyat akan ditaati dan dijunjung tinggi oleh rakyat. Setiap orang yang melanggarnya akan dikenakan sanksi sesuai dengan undang-undang tersebut.

Sedangkan dalam ajaran Islam yang berhak untuk menetapkan hukum adalah Allah, dan Allah juga yang mentapkan sanksinya terhadap orang yang melanggar hukum-Nya. Oleh kerana itu, demokrasi adalah kemusyrikan, karena menyerahkan hak Allah (membuat hukum) kepada manusia. Bahkan yang lebih celaka, hukum yang dibuat oleh para anggota legislatif ada kalanya menghalalkan yang diharamkan oleh Allah. Seperti membolehkan pelacuran pada tempat tertentu yang diatur undang-undang. Membolehkan penjualan dan pembuatan khamr (miras) pada tempat yang berizin.
Adalah suatu anggapan yang salah kalau dikatakan bahwa demokrasi sesuai dengan Islam. Dalam demokrasi, segala sesuatu diputuskan dengan musyawarah, musyawarah diajarkan dalam Islam.
Benar kalau dikatakan Islam mengajarkan musyawarah. Tetapi bukan berarti Islam sesuai dengan demokrasi. Dalam Islam, hukum telah ditetapkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Maka tidak ada hak bagi manusia untuk membuatnya. Yang dimusyawarahkan dlama Islam adalah persoalan-persoalan tekhnis (cara) dalam melaksanakan perintah Allah, manakala persoalan tekhnis itu belum ditetapkan caranya oleh Allah SWT. Tidak semua urusan harus dimsyawarahkan dalam Islam..
Sebaliknya, demokrasi mengajarkan segala hal harus diputuskan dengan musyawarah. Termasuk hal-hal yang hukumnya sudah ditentukan oleh Allah SWT. Bahkan menentukan halal, haram, baik dan buruk yang semuanya itu telah ditetapkan oleh Allah SWT, masih dimusyawarahkan. Sekiranya kita masih meyakini Islam adalah ajaran yang benar dan sempurna.
Sekarang masyarakat dunia telah begitu banyak menganut paham demokrasi. Termasuk juga Negara kita, Indonesia. Akan tetapi, demokrasinya ternyata adalah demokrasi yang dibangun di atas pemikiran Montesquei. Demokrasi yang terdiri dari trias politika. Yaitu Demokrasi yang dijalankan dengan system pembagian kekuasaan. Legislatif sebagai pembuat Undang-udang, Eksekutif sebagai pekerja Undang-undang, dan Yudikatif sebagai pengawas Undang-undang. Konsep ini salah dan tidak cocok diterapkan pada umat islam. Jika pun kita ingin mendekatkan makna demokrasi kepada islam, maka hanya ada satu ketentuan, bahwa Islam menganut demokrasi Eka Politika, alias Politik Tunggal. Legislatif demikian halnya Yudikatif itu adalah Allah, karena Dia yang paling pantas diikuti hukumnya, bukan hukum buatan manusia. Adapun eksekutif adalah kalangan ulama, sebagai pekerja hukum dan kekuasaan.


[1] Ketua Umum Demisioner FSI Raudhatul Ilmi UNM dan Aktivis Koordinator Pusjarwil SULTANBARATA-MALPA LIDMI (Pusat Jaringan Wilayah Sulawesi Selatan, Sulawesi Barat, Sulawesi Tengah, Maluku dan Papua Lingkar Dakwah Mahasiswa Indonesia)

No comments:

Post a Comment

 

Iklan Buku

Followers

Bincang-Bincang