Sistem Demokrasi telah membuka peluang
antar elit politik dan antar konstituen (pendukung) partai saling berbenturan.
Masing-masing memiliki kepentingan dan fanatisme kepartaian. Karena itu,
seringkali wahana pesta demokrasi diwarnai aksi-aksi vandalis (merusak),
penganiayaan fisik, bahkan pembunuhan rival politik. Konflik di tingkat elit
diikuti pula dengan konflik di level bawah. Renungkanlah !!! (Oliver, Invasi Barat. 2009)
Mukadimah
Menyusul isu kenaikan BBM, kecaman dan unjuk
rasa mulai bertebaran. Para mahasiswa dan elite politik menunjukkan aksinya.
Mereka memperlihatkan perhatian mereka terhadap masyarakat yang sepertinya
dizhalimi dengan kenaikan BBM tersebut.
Mulai dari long march, unjuk rasa,
sampai pada aksi yang berujung pada perusakan fasilitas-fasilitas jalan. Semua
itu dianggap adalah bentuk kecaman terhadap pemerintah yang tidak berpihak pada
rakyat. Kenaikan harga BBM karena pengurangan subsidi dari pemerintah adalah
bentuk penindasan. Itu tidak lain hanya akan terus membuat masyarakat semakin
kepayahan dalam menjalani kehidupannya. Namun, di sisi yang lain rakyat bebas
mengemukakan pendapat. Menyampaikan ide dan aspirasinya dalam menuntut hak.
Itulah ciri demokrasi. Kebebasan,
kemanusiaan, kesetaraan dan persamaan. Jargon yang terus menjadi wacana sentral
dalam mengusung agenda perubahan Negara. Sebuah kecaman dan aksi protes dalam
bentuk orasi di jalan, bahkan sampai melakukan aksi anarkhis secara lumrah
dipahami oleh masyarakat sebagai bagian dinamika dari Negara Demokrasi.
Pemerintah secara terbuka menerima kritikan. Dan rakyat pun harus proaktif
dalam menjalankan fungsi pengawasan terhadap kinerja penguasa. Karena itu
dikenal dalam social engineering (Rekayasa
Sosial), Pressure Group (Kelompok
Penekan) yang menjadi pengawas kebijakan-kebijakan publik.
Selain itu, ciri demokrasi adalah
keberpihakan dalam sebuah keputusan ditentukan oleh suara terbanyak. Jumlah
mayoritas. Kebenaran, dan keadilan dipandang adalah miliki masayarakat.
Sehingga rakyat dibiarkan memilih ketentuan mereka sendiri. Kelompok-kelompok
pendapat itulah yang akan dinilai, mana yang paling banyak. Secara otomatis,
kebenaran dan kekuasaan tertinggi ada pada rakyat banyak.
Lebih Dekat dengan Demokrasi
Demokrasi terlahir sekitar tahun 429 SM di
Yunani oleh para filsuf terkenal seperti Aristoteles dan Plato, yang merupakan
bentuk rasa kecewa mereka terhadap kekaisaran yang berkuasa pada waktu itu.
Mereka mengiming-imingi demokrasi ini akan dilakukan sepenuhnya dengan, oleh,
dan untuk rakyat dengan istilah suara rakyat adalah suara tuhan. Apakah itu
pemikiran kita sebagai masyarakat yang agamis, masyarakat yang mempercayai
adanya tuhan?. Tentu kalau kita kaji lebih jauh lagi istilah ini tidak akan
sampai dalam pikiran kita ketika demokrasi ini dianggap sebagai metode yang paling
efektif atau yang mereka menyebutnya suatu cara yang paling demokratis.
Orang-orang
Islam mengenal kata demokrasi sejak jaman transliterasi buku-buku Yunani pada
jaman Abbasiyah. Selanjutnya kata itu menjadi bahasan pokok para filosof muslim
jaman pertengahan seperti Ibnu Sina (Avicenna), dan Ibn Rusyd ketika membahas
karya-karya Aristoteles. Aristoteles dalam bukunya "Organon" bab
Retorika ketika menyandingkan bentuk-bentuk pemerintahan dalam: Demokrasi,
Oligarki, Aristokrasi, dan Monarki mendefinisikan pemerintahan demokrasi
sebagai jika kekuasaan dalam pemerintahan itu dibagi-bagi menurut pemilihan
atau kesepakatan. Artinya, bahwa suatu kebijakan itu ditentukan oleh mayoritas
suara sebagai pemenang dan suara minoritas akan tersingkir sebagai pihak yang
kalah. Suara orang-orang terpelajar, orang-orang yang memiliki ilmu seperti,
guru, doctor bahkan professor disamakan
dengan suara orang-orang bodoh, orang-orang yang tidak pernah mengenyam
pendidikan dengan hitungan perkepala satu suara. Jika kita melihat demokrasi
yang memiliki sifat menang dan kalah, apa bedanya dengan melakukan judi, yang
dilarang di agama manapun. Sama-sama memiliki sifat menang dan kalah, pemenang
menjadi penguasa dan pihak yang kalah menjadi jongos (penjilat) atau orang yang
berkuasa.
Istilah demokrasi dalam sejarah Islam tetaplah
asing, karena sistem demokrasi tidak pernah dikenal oleh kaum muslimin sejak
awal. Orang-orang Islam hanya mengenal kebebasan (al hurriyah) yang merupakan pilar utama demokrasi yang diwarisi
semenjak zaman Nabi Muhammad Shallalhu Alaihi Wasallam. Termasuk di dalamnya
kebebasan memilih pemimpin, mengelola negara secara bersama-sama (syuro),
kebebasan mengkritik penguasa, kebebasan berpendapat.
Berdasarkan
prinsip ini maka ajaran Islam menolak kudeta atau merebut kekuasaan secara
inkonstitusional. Kudeta merupakan bentuk pernyataan sepihak sebagai penguasa.
Sedangkan legitimasi kekuasaan harus diperoleh dari rakyat secara sukarela
tanpa ada paksaan apapun yang bisa membawa kemashlahatan umat.
Dari
titik ini para ulama Islam sejak dulu menegaskan bahwa kekuasaan pada asalnya
di tangan rakyat, karena itu kekuasaan tidak boleh dipaksakan tanpa ada
kerelaan dari hati rakyat. Pernyataan kerelaan itu dinyatakan dalam bentuk
"pernyataan setia" atau bai'at (kesetiaan kepada pemimpin/imam)
Mari kita analisis secara jernih dan
jujur bahwa antara Islam dan demokrasi saling bertentangan.
Pertama
:
Secara
bahasa , demokrasi berasal dari bahasa Yunani. Dari kata ‘Demos” dan “Kratos”
demos artinya rakyat, sedangkan kratos artinya kekuasaan atau pemerintahan.
Maknanya adalah pemerintahan/ kekuasaan rakyat. Pada prakteknya adalah suatu
pemerintahan yang dijalankan dengan kehendak rakyat (mayoritas rakyat). Maka
sistim kekuasaan yang berlaku, hukum undang-undang, program penguasa suatu
Negara ditentukan oleh suara mayoritas rakyat atau wakilnya. Adapun makna Islam
secara bahasa berarti masuk dalam kedamaian, sedangkan secara syara, Islam
berarti pasrah kepada Allah. Betauhid dan tunduk kepada-Nya. Taat dan
membebaskan diri dari syirik dan pengikutnya. Maka itu jelas dalam Islam :
ketundukan , ketaatan, dan kepatuhan adalah hanya kepada Allah, termnasuk dalam
menjalankan pemerintahan, politik, hukum, dan undang-undang.
Dalam Islam, hukum adalah hak Allah untuk
membuat dan menentukannya. Dalam demokrasi membuat hukum ada di tanagan rakyat
atau wakilnya, yaitu anggota legislative. Jadi sangat jelas bahwa Islam
bertolak belakang dengan demokrasi. Ini bisa dilihat oleh setiap orang yang
memilili mata kecuali orang buta.
Kedua
:
Demokrasi
bersumber dari akal manusia. Peletak dasar demokrasi adalah Jean Jasques
Russao, orang Rusia, yang kemudian disempurnakanoleh Montesque dengan ajaran
trias politika. Dalam Trias Politica disebutkan bahwa kekuasaan terbagi menjadi
tiga yaitu : Legislatif sebagai pembuat undang-undang, Eksekutif sebagai
pelaksana undang-undang, Yudikatif sebagai pengawas undang-undang.
Adapun
Islam bersumber dari wahyu Allah yang disampaikan kepada Rasulullah SAW dengan
perantara malaikat Jibril As. Dalam Islam yang membuat undang-undang adalah hak
Allah SWT. Undang-undang itu dilaksanakan oleh manusia.
Demokrasi
berasal dari pikiran manusia yang penuh dengan kelemahan dan kekurangan.
Sedangkan Islam, berasal dari Allah yang maha sempurna. Bagaimana mungkin keduanya
sama?
Ketiga
:
Dalam
demokrasi orang bebas untuk memilih agama dan berpindah agama, sehingga tidak
mengapa bila seorang Muslim murtad, berpindah agama Yahudi atau Nasrani atau
agama lainnya. Dalam Islam orang yang berpindah agama (murtad) hukumannya
adalah dibunuh.
Seperti
sabda Rasulullah SAW: “Barang siapa yang mengganti agamanya, maka bunuhlah!!!”
Islam
tidak memaksakan orang untuk menjadi muslim, namun ketika seorang sudah masuk
Islam, dia harus taat dan tunduk pada perintah serta ajaran Islam, dan dia
tidak boleh keluar dari Islam.
Dalam
ajaran demokrasi , setiap orang yang beragama apa saja tidak disebut kafir.
Dalam Islam, orang yang beragama selain Islam disebut kafir.
Keempat
:
Manusia
mempunyai kedudukan yang sama derajatnya dalam demokrasi, baik kafir maupun
muslim (namum kenyataannya nagara pengusung demokrasi (Barat) merasa superior,
dari bangsa lainnya) dalam Islam, orang Muslim (beriman) lebih mulia derajatnya
dari orang kafir.
Sebagaimana
firman Allah SWT :
“Dan
janganlah kamu merasa lemah dan jangan pula bersedih hati. Sebab kamu paling
tinggi derajatnya jika kamu orang beriman” (QS Ali Imran (3):139).
Keempat
hal di atas adalah sebagian kecil pertentangan antara Islam dan demokrasi.
Adapun yang perlu diperhatikan adalah hakikat dari ajaran demokrasi. Hakikat
dari ajaran demokrasi adalah pemberian kekuasaan kepada mayoritas rakyat atau
wakilnya untuk membuat hukum atau undang-undang. Dimana hukum atau
undang-undang yang telah disepakati oleh para wakil rakyat akan ditaati dan
dijunjung tinggi oleh rakyat. Setiap orang yang melanggarnya akan dikenakan
sanksi sesuai dengan undang-undang tersebut.
Sedangkan
dalam ajaran Islam yang berhak untuk menetapkan hukum adalah Allah, dan Allah
juga yang mentapkan sanksinya terhadap orang yang melanggar hukum-Nya. Oleh
kerana itu, demokrasi adalah kemusyrikan, karena menyerahkan hak Allah (membuat
hukum) kepada manusia. Bahkan yang lebih celaka, hukum yang dibuat oleh para
anggota legislatif ada kalanya menghalalkan yang diharamkan oleh Allah. Seperti
membolehkan pelacuran pada tempat tertentu yang diatur undang-undang.
Membolehkan penjualan dan pembuatan khamr (miras) pada tempat yang berizin.
Adalah
suatu anggapan yang salah kalau dikatakan bahwa demokrasi sesuai dengan Islam.
Dalam demokrasi, segala sesuatu diputuskan dengan musyawarah, musyawarah
diajarkan dalam Islam.
Benar
kalau dikatakan Islam mengajarkan musyawarah. Tetapi bukan berarti Islam sesuai
dengan demokrasi. Dalam Islam, hukum telah ditetapkan oleh Allah dan Rasul-Nya.
Maka tidak ada hak bagi manusia untuk membuatnya. Yang dimusyawarahkan dlama
Islam adalah persoalan-persoalan tekhnis (cara) dalam melaksanakan perintah
Allah, manakala persoalan tekhnis itu belum ditetapkan caranya oleh Allah SWT.
Tidak semua urusan harus dimsyawarahkan dalam Islam..
Sebaliknya,
demokrasi mengajarkan segala hal harus diputuskan dengan musyawarah. Termasuk
hal-hal yang hukumnya sudah ditentukan oleh Allah SWT. Bahkan menentukan halal,
haram, baik dan buruk yang semuanya itu telah ditetapkan oleh Allah SWT, masih
dimusyawarahkan. Sekiranya kita masih meyakini Islam adalah ajaran yang benar
dan sempurna.
Sekarang
masyarakat dunia telah begitu banyak menganut paham demokrasi. Termasuk juga
Negara kita, Indonesia. Akan tetapi, demokrasinya ternyata adalah demokrasi
yang dibangun di atas pemikiran Montesquei.
Demokrasi yang terdiri dari trias politika. Yaitu Demokrasi yang dijalankan
dengan system pembagian kekuasaan. Legislatif sebagai pembuat Undang-udang,
Eksekutif sebagai pekerja Undang-undang, dan Yudikatif sebagai pengawas
Undang-undang. Konsep ini salah dan tidak cocok diterapkan pada umat islam. Jika
pun kita ingin mendekatkan makna demokrasi kepada islam, maka hanya ada satu
ketentuan, bahwa Islam menganut demokrasi Eka
Politika, alias Politik Tunggal. Legislatif demikian halnya Yudikatif itu
adalah Allah, karena Dia yang paling pantas diikuti hukumnya, bukan hukum
buatan manusia. Adapun eksekutif adalah kalangan ulama, sebagai pekerja hukum
dan kekuasaan.
[1]
Ketua Umum Demisioner FSI Raudhatul Ilmi UNM dan Aktivis Koordinator Pusjarwil
SULTANBARATA-MALPA LIDMI (Pusat Jaringan Wilayah Sulawesi Selatan, Sulawesi
Barat, Sulawesi Tengah, Maluku dan Papua Lingkar Dakwah Mahasiswa Indonesia)
No comments:
Post a Comment