Cari

INDONESIA, DI BAWAH BAYANG-BAYANG DEMOKRASI (II-Habis)

Monday, 12 November 2012


 
Abu Fath al Faatih

Mendudukkan Problematika Bangsa
Jika kita memandang persoalan dari setiap masalah bangsa, kita akan melihat krisis multidimensional. Utang yang melilit leher rakyat, masalah KKN, serta problem disintegrasi bangsa serta krisis akhlaq. Akan tetapi jika kita jeli melihatnya, persoalannya sederhana. Masalah-masalah itu seperti kran-kran yang terus mengalirkan air. Ternyata jika ditelusuri, semua kran tadi bersumber dari satu kran utama. Jika kran utama itu telah ditutup, semua kran masalah tadi akan tertutup pula.
Ya, kran itu adalah kran aqidah. Persoalan keyakinan individual. Persoalan yang membuat manusia tidak mampu melawan fitnah (cobaan) berupa trilogy dunia (Baca: harta, wanita dan tahta). Sekiranya, mari kita bermimpi bahwa suatu saat seluruh penduduk ini telah beriman dan memiliki aqidah shahih, maka tak perlu lelah mengejar para koruptor. Tidak perlu letih meneliti kasus demi kasus. Bahkan harus dibuatkan badan tersendiri untuk satu kasus tersendiri.
Itulah yang dilakukan oleh Rasulullah Shallahu alaihi wa sallam. 13 tahun membina aqidah para sahabat. Sehingga di periode madinah, muncul orang-orang yang memiliki integritas dalam menjalankan tugas-tugas warga Negara dan sebagai hamba Allah.
Di zaman itu diriwayatkan seorang wanita yang datang kepada Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam mengadu untuk dihukum rajam karena berzina. Beliau menangguhkannya sampai melahirkan. Setelah itu dengan sabar wanita ini menunggu masa kelahiran anaknya. Setelah itu, ia kembali kepada Nabi Shallallahu alaihi wasallam. Akan tetapi beliau kembali menangguhkannya, sampai ia selesai menyapih atau menyusuinya. Bukan malah lari atau menghilang, wanita ini justru sadar akan kesalahannya ia tetap sabar menyapih anaknya selama dua tahun. Setelah itu baru ia mendapatkan hukumannya. Dapat dibayangkan seorang yang bersalah, dan tanpa diawasi oleh intelijen, wanita ini siap untuk menerima konsekuensi atas kesalahan yang diperbuatnya. Bukan hanya itu, ia dengan sabar menanti keputusan Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam atasnya. Disitulah puncak peradaban islam. Bukan pada dinasti Abbasiyah, atau Turki Utsmani dengan cirri kejayaan luas wilayah kekuasaan dan kemajuan masyarakat di bidang ekonomi. Bukan itu.
Yang penulis ingin tunjukkan adalah kemampuan islam dalam mencetak manusia-manusia berkualitas. Karena itulah para cendikiawan muslim mendudukkan periode madinah sebagai puncak keberhasilan peradaban islam. Puncak kejayaan itu ada pada system yang berhasil membentuk karakter masyarakat bertauhid. Masyarakat yang berakhlaq dan jauh dari kesyirikan serta disintegrasi. Hal ini tepat dengan apa yang dijelaskan oleh Allah Subhanahu wata’ala.
55. Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa dimuka bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka dalam ketakutan menjadi aman sentausa. Mereka tetap menyembahku-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan Aku. Dan barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik.
Demikian gambaran Allah. Persoalan kemakmuran, kekuasaan, keamanan dan kesejahteraan adalah anugrah. Ia adalah hadiah dari Allah Subhanahahu wata’ala. Setelah syarat utama dari perjuangan terealisasi. Ya, Mereka tetap menyembahku-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan Aku, kata Allah selanjutnya. Itu kuncinya, tauhid. Akan tetapi tidak boleh memaknainya sebatas persoalan ibadah saja. Persoalan tauhid adalah persoalan yang melingkupi seluruh dimensi hidup manusia. Orang malas beribadah, shalat, puasa, zakat intinya karena aqidahnya lemah. Lemah keyakinannya dari janji syurga Allah. Itu pula yang menyebabkan seseorang gampang terseret oleh tumpukan uang ketika memuluskan satu tender proyek dan akhirnya berujung di KPK. Ini hanya contoh kecil, masih banyak yang lain.
Kalau mereka adalah orang yang menolak kapitalisme, justru setelah kampus, mereka-lah yang menjadi pengguna produk kapitalisme. Kalau mereka adalah para penentang diktator, justru mereka-lah yang tak berkutik ketika masuk ke sistem. Kalau dulu mereka adalah pejuang dalam pemberantasan KKN, justru sangat ironi, pasca menerima jabatan, merekalah pelakunya. Kalau dulu mereka adalah penentang kedzaliman, justru pascakampus merekalah yang berbuat dzalim. Kalau dulu mereka adalah aktivis-aktivis ideologis, justru pascakampus mereka hanya menjadi manusia-manusia pragmatis-praktis. Kalau dulu mereka adalah penentang getol produk-produk kapitalisme, justru pascakampus merekalah pengguna setia produknya.
Sungguh deretan pernyataan di atas adalah sesuatu yang memilukan dada. Hanya dengan menghela nafas panjang yang dapat melegakannya.
Atas dasar itulah upaya kerja nyata yang diaktualkan sejak dini adalah tanggapan yang tepat. Sudah terlalu lama kita membincang revolusi dan perubahan, toh kenyataannya umat, bangsa dan negara belum juga keluar dari tempurung keterbelakangan.
Perjuangan adalah takaran mutlak perubahan. Tapi ingat, dalam menggaris vektor perubahan, titik awal yang mesti kita tentukan adalah ujungnya mengarah ke mana. Setelah jelas arahnya, maka baru nilainya yang menyusul. Perubahan bukan hanya sekedar semangat. Kita memang rindu  akan hadirnya pembaharu-pembaharu yang mampu memperbaiki kondisi. Akan tetapi bekal untuk perjuangan itu bukan hanya kemauan, visi dan cita-cita. Ia harus dibangun di atas kebijaksanaan seorang berilmu dan prinsip-prinsip itu harus menjadi patron realisasi aksi menuju perubahan.
Dampak ketika tidak di atas petunjuk dan bimbingan prinsip-prinsip ilmu adalah seperti apa yang kita lihat dari berbagai media. Sangat memilukan, mahasiswa meneriakkan revolusi dan memperjuangkan perubahan dan keadilan dan kebebasan. Namun, tepat pada saat yang sama yang terjadi adalah kedzaliman. Untuk itu, perlu dikaji ulang. Apakah hal tersebut adalah jalan atau solusi terbaik dalam melakukan perubahan.
Sudah saatnya kita memfokuskan perjuangan untuk membangun bangsa kita menjadi lebih baik dengan memulai dari kampus. Mari kita lebih dulu membenahi masalah-masalah yang sangat dekat dengan diri kita, sebelum melangkah ke wacana yang lebih besar. Misalnya, masalah tawuran antar fakultas, masih adanya pungli yang dilakukan senior terhadap juniornya. Bahkan yang paling memprihatinkan bagi aktivis beragama Islam adalah masih terjadinya kesyirikan di dalam kampus. Berkeliarannya wanita-wanita yang sengaja mempertontonkan aurat bahkan masih banyak mahasiswa yang belum bisa baca tulis AI-Qur'an.
Oleh karena itu, fokus pergerakan yang efektif dilakukan saat ini adalah dengan melakukan pembinaan terhadap individu-individu mahasiswa agar terbentuk komunitas mahasiswa yang berakhlak dan bertauhid murni. Sebagaimana gerakan Rasululullah Shallallahu alaihi wasallam membentuk dan merubah arab jahiliyah saat itu.
Adapun pembinaan yang dilakukan adalah dengan mengacu pada pembinaan Rasulullah, Muhammad Shalallahu Alaihi Wasallani. "Sesugguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah. " (Qs. Al-Ahzab: 21).
Khatimah
Di sesi akhri ini, penulis hanya ingin menyatakan bahwa bangkitnya bangsa dan tegaknya sebuah peradaban tidak cukup hanya dengan artikulasi ide dan pemikiran. Tidak cukup hanya dengan darah dan peluh. Ia butuh kerja nyata. Tidak cukup dengan teriakan-teriakan idealis.
Solusi berikutnya adalah perlunya patron nilai universal yang menjadi prinsip kompetisi yang diakui secara umum oleh semua elemen yang ada. Patron dalam mengawal perubahan yang saya maksudkan adalah budaya ilmiah di lingkungan kampus. Karena kita tidak bisa menutup mata, budaya ini seakan telah tenggelam ditengah temperamental karena kondisi yang labil dan semangat serta idealisme yang tak terkendali.
Oleh karena itu, gerakan mahasiswa sepatutnya harus merevisi patron gerakannya untuk diarahkan dan dibangun di atas prinsip-prinsip ilmiah, budaya ilmu dan diskusi, membaca dan menulis. Budaya berpikir dan berdzikir, tadabbur dan tafakkur. Hingga akan muncul spirit perubahan yang mengarah kepada perubahan berbasis paradigma tauhid.
Karena itu jangan pernah berharap akan terjadi perubahan, jika ruh gerakan pembaruan LK atau mahasiswa adalah budaya-budaya hasil warisan jahiliah. Perpecahan, perang, pertikaian, anarkisme, apalagi ketika lingkar budaya itu telah menjangkau sampai radius aktivitas-aktivitas sia-sia, seperti judi, miras dan pacaran. Jangan pernah berharap. Sekali lagi saya katakan, sedikit pun jangan pernah berharap !!!.
Jangan pernah memimpikan perubahan jika budaya itu masing-masing melingkupi aktivitas-aktivitas kita, dan budaya ilmiah belum menjadi nilai yang dijunjung tinggi dalam realisasi idealisme mahasiswa. Perubahan itu tidak hanya dibawa dengan batu dan darah, tapi perubahan itu dibawa dengan kecintaan terhadap tradisi ilmu, tinta dan peluh. Karena yang kita ingin bangun kembali adalah peradaban yang telah lama hilang. Sebuah peradaban warisan generasi terbaik manusia. Diletakkan pada wahyu ilahi yang paling pertama turun yang mampu mereformasi peradaban hingga memimpin 2/3 belahan dunia. Wahyu yang mengawal transformasi peradaban yang menjadi anugrah dari Allah, hingga menguasai sebagian besar daratan Eropa, Asia dan Afrika selama kurang lebih 700 tahun.
Bacalah, dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan (QS Al-‘Alaq:1)
Ya, wahyu inilah yang saya maksud (Wallohu ta’ala a’lam).

INDONESIA, DI BAWAH BAYANG-BAYANG DEMOKRASI (I)




Abu Fath al Faatih 1]

Sistem Demokrasi telah membuka peluang antar elit politik dan antar konstituen (pendukung) partai saling berbenturan. Masing-masing memiliki kepentingan dan fanatisme kepartaian. Karena itu, seringkali wahana pesta demokrasi diwarnai aksi-aksi vandalis (merusak), penganiayaan fisik, bahkan pembunuhan rival politik. Konflik di tingkat elit diikuti pula dengan konflik di level bawah. Renungkanlah !!! (Oliver, Invasi Barat. 2009)
Mukadimah
Menyusul isu kenaikan BBM, kecaman dan unjuk rasa mulai bertebaran. Para mahasiswa dan elite politik menunjukkan aksinya. Mereka memperlihatkan perhatian mereka terhadap masyarakat yang sepertinya dizhalimi dengan kenaikan BBM tersebut.
            Mulai dari long march, unjuk rasa, sampai pada aksi yang berujung pada perusakan fasilitas-fasilitas jalan. Semua itu dianggap adalah bentuk kecaman terhadap pemerintah yang tidak berpihak pada rakyat. Kenaikan harga BBM karena pengurangan subsidi dari pemerintah adalah bentuk penindasan. Itu tidak lain hanya akan terus membuat masyarakat semakin kepayahan dalam menjalani kehidupannya. Namun, di sisi yang lain rakyat bebas mengemukakan pendapat. Menyampaikan ide dan aspirasinya dalam menuntut hak.
            Itulah ciri demokrasi. Kebebasan, kemanusiaan, kesetaraan dan persamaan. Jargon yang terus menjadi wacana sentral dalam mengusung agenda perubahan Negara. Sebuah kecaman dan aksi protes dalam bentuk orasi di jalan, bahkan sampai melakukan aksi anarkhis secara lumrah dipahami oleh masyarakat sebagai bagian dinamika dari Negara Demokrasi. Pemerintah secara terbuka menerima kritikan. Dan rakyat pun harus proaktif dalam menjalankan fungsi pengawasan terhadap kinerja penguasa. Karena itu dikenal dalam social engineering (Rekayasa Sosial), Pressure Group (Kelompok Penekan) yang menjadi pengawas kebijakan-kebijakan publik.
            Selain itu, ciri demokrasi adalah keberpihakan dalam sebuah keputusan ditentukan oleh suara terbanyak. Jumlah mayoritas. Kebenaran, dan keadilan dipandang adalah miliki masayarakat. Sehingga rakyat dibiarkan memilih ketentuan mereka sendiri. Kelompok-kelompok pendapat itulah yang akan dinilai, mana yang paling banyak. Secara otomatis, kebenaran dan kekuasaan tertinggi ada pada rakyat banyak.

Lebih Dekat dengan Demokrasi
Demokrasi terlahir sekitar tahun 429 SM di Yunani oleh para filsuf terkenal seperti Aristoteles dan Plato, yang merupakan bentuk rasa kecewa mereka terhadap kekaisaran yang berkuasa pada waktu itu. Mereka mengiming-imingi demokrasi ini akan dilakukan sepenuhnya dengan, oleh, dan untuk rakyat dengan istilah suara rakyat adalah suara tuhan. Apakah itu pemikiran kita sebagai masyarakat yang agamis, masyarakat yang mempercayai adanya tuhan?. Tentu kalau kita kaji lebih jauh lagi istilah ini tidak akan sampai dalam pikiran kita ketika demokrasi ini dianggap sebagai metode yang paling efektif atau yang mereka menyebutnya suatu cara yang paling demokratis.
            Orang-orang Islam mengenal kata demokrasi sejak jaman transliterasi buku-buku Yunani pada jaman Abbasiyah. Selanjutnya kata itu menjadi bahasan pokok para filosof muslim jaman pertengahan seperti Ibnu Sina (Avicenna), dan Ibn Rusyd ketika membahas karya-karya Aristoteles. Aristoteles dalam bukunya "Organon" bab Retorika ketika menyandingkan bentuk-bentuk pemerintahan dalam: Demokrasi, Oligarki, Aristokrasi, dan Monarki mendefinisikan pemerintahan demokrasi sebagai jika kekuasaan dalam pemerintahan itu dibagi-bagi menurut pemilihan atau kesepakatan. Artinya, bahwa suatu kebijakan itu ditentukan oleh mayoritas suara sebagai pemenang dan suara minoritas akan tersingkir sebagai pihak yang kalah. Suara orang-orang terpelajar, orang-orang yang memiliki ilmu seperti, guru, doctor bahkan  professor disamakan dengan suara orang-orang bodoh, orang-orang yang tidak pernah mengenyam pendidikan dengan hitungan perkepala satu suara. Jika kita melihat demokrasi yang memiliki sifat menang dan kalah, apa bedanya dengan melakukan judi, yang dilarang di agama manapun. Sama-sama memiliki sifat menang dan kalah, pemenang menjadi penguasa dan pihak yang kalah menjadi jongos (penjilat) atau orang yang berkuasa.
Istilah demokrasi dalam sejarah Islam tetaplah asing, karena sistem demokrasi tidak pernah dikenal oleh kaum muslimin sejak awal. Orang-orang Islam hanya mengenal kebebasan (al hurriyah) yang merupakan pilar utama demokrasi yang diwarisi semenjak zaman Nabi Muhammad Shallalhu Alaihi Wasallam. Termasuk di dalamnya kebebasan memilih pemimpin, mengelola negara secara bersama-sama (syuro), kebebasan mengkritik penguasa, kebebasan berpendapat.
            Berdasarkan prinsip ini maka ajaran Islam menolak kudeta atau merebut kekuasaan secara inkonstitusional. Kudeta merupakan bentuk pernyataan sepihak sebagai penguasa. Sedangkan legitimasi kekuasaan harus diperoleh dari rakyat secara sukarela tanpa ada paksaan apapun yang bisa membawa kemashlahatan umat.
            Dari titik ini para ulama Islam sejak dulu menegaskan bahwa kekuasaan pada asalnya di tangan rakyat, karena itu kekuasaan tidak boleh dipaksakan tanpa ada kerelaan dari hati rakyat. Pernyataan kerelaan itu dinyatakan dalam bentuk "pernyataan setia" atau bai'at (kesetiaan kepada pemimpin/imam)
            Mari kita analisis secara jernih dan jujur bahwa antara Islam dan demokrasi saling bertentangan.
Pertama :
Secara bahasa , demokrasi berasal dari bahasa Yunani. Dari kata ‘Demos” dan “Kratos” demos artinya rakyat, sedangkan kratos artinya kekuasaan atau pemerintahan. Maknanya adalah pemerintahan/ kekuasaan rakyat. Pada prakteknya adalah suatu pemerintahan yang dijalankan dengan kehendak rakyat (mayoritas rakyat). Maka sistim kekuasaan yang berlaku, hukum undang-undang, program penguasa suatu Negara ditentukan oleh suara mayoritas rakyat atau wakilnya. Adapun makna Islam secara bahasa berarti masuk dalam kedamaian, sedangkan secara syara, Islam berarti pasrah kepada Allah. Betauhid dan tunduk kepada-Nya. Taat dan membebaskan diri dari syirik dan pengikutnya. Maka itu jelas dalam Islam : ketundukan , ketaatan, dan kepatuhan adalah hanya kepada Allah, termnasuk dalam menjalankan pemerintahan, politik, hukum, dan undang-undang.
Dalam Islam, hukum adalah hak Allah untuk membuat dan menentukannya. Dalam demokrasi membuat hukum ada di tanagan rakyat atau wakilnya, yaitu anggota legislative. Jadi sangat jelas bahwa Islam bertolak belakang dengan demokrasi. Ini bisa dilihat oleh setiap orang yang memilili mata kecuali orang buta.
Kedua :
Demokrasi bersumber dari akal manusia. Peletak dasar demokrasi adalah Jean Jasques Russao, orang Rusia, yang kemudian disempurnakanoleh Montesque dengan ajaran trias politika. Dalam Trias Politica disebutkan bahwa kekuasaan terbagi menjadi tiga yaitu : Legislatif sebagai pembuat undang-undang, Eksekutif sebagai pelaksana undang-undang, Yudikatif sebagai pengawas undang-undang.
Adapun Islam bersumber dari wahyu Allah yang disampaikan kepada Rasulullah SAW dengan perantara malaikat Jibril As. Dalam Islam yang membuat undang-undang adalah hak Allah SWT. Undang-undang itu dilaksanakan oleh manusia.
Demokrasi berasal dari pikiran manusia yang penuh dengan kelemahan dan kekurangan. Sedangkan Islam, berasal dari Allah yang maha sempurna. Bagaimana mungkin keduanya sama?
Ketiga :
Dalam demokrasi orang bebas untuk memilih agama dan berpindah agama, sehingga tidak mengapa bila seorang Muslim murtad, berpindah agama Yahudi atau Nasrani atau agama lainnya. Dalam Islam orang yang berpindah agama (murtad) hukumannya adalah dibunuh.
Seperti sabda Rasulullah SAW: “Barang siapa yang mengganti agamanya, maka bunuhlah!!!”
Islam tidak memaksakan orang untuk menjadi muslim, namun ketika seorang sudah masuk Islam, dia harus taat dan tunduk pada perintah serta ajaran Islam, dan dia tidak boleh keluar dari Islam.
Dalam ajaran demokrasi , setiap orang yang beragama apa saja tidak disebut kafir. Dalam Islam, orang yang beragama selain Islam disebut kafir.
Keempat :
Manusia mempunyai kedudukan yang sama derajatnya dalam demokrasi, baik kafir maupun muslim (namum kenyataannya nagara pengusung demokrasi (Barat) merasa superior, dari bangsa lainnya) dalam Islam, orang Muslim (beriman) lebih mulia derajatnya dari orang kafir.

Sebagaimana firman Allah SWT :
“Dan janganlah kamu merasa lemah dan jangan pula bersedih hati. Sebab kamu paling tinggi derajatnya jika kamu orang beriman” (QS Ali Imran (3):139).

Keempat hal di atas adalah sebagian kecil pertentangan antara Islam dan demokrasi. Adapun yang perlu diperhatikan adalah hakikat dari ajaran demokrasi. Hakikat dari ajaran demokrasi adalah pemberian kekuasaan kepada mayoritas rakyat atau wakilnya untuk membuat hukum atau undang-undang. Dimana hukum atau undang-undang yang telah disepakati oleh para wakil rakyat akan ditaati dan dijunjung tinggi oleh rakyat. Setiap orang yang melanggarnya akan dikenakan sanksi sesuai dengan undang-undang tersebut.

Sedangkan dalam ajaran Islam yang berhak untuk menetapkan hukum adalah Allah, dan Allah juga yang mentapkan sanksinya terhadap orang yang melanggar hukum-Nya. Oleh kerana itu, demokrasi adalah kemusyrikan, karena menyerahkan hak Allah (membuat hukum) kepada manusia. Bahkan yang lebih celaka, hukum yang dibuat oleh para anggota legislatif ada kalanya menghalalkan yang diharamkan oleh Allah. Seperti membolehkan pelacuran pada tempat tertentu yang diatur undang-undang. Membolehkan penjualan dan pembuatan khamr (miras) pada tempat yang berizin.
Adalah suatu anggapan yang salah kalau dikatakan bahwa demokrasi sesuai dengan Islam. Dalam demokrasi, segala sesuatu diputuskan dengan musyawarah, musyawarah diajarkan dalam Islam.
Benar kalau dikatakan Islam mengajarkan musyawarah. Tetapi bukan berarti Islam sesuai dengan demokrasi. Dalam Islam, hukum telah ditetapkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Maka tidak ada hak bagi manusia untuk membuatnya. Yang dimusyawarahkan dlama Islam adalah persoalan-persoalan tekhnis (cara) dalam melaksanakan perintah Allah, manakala persoalan tekhnis itu belum ditetapkan caranya oleh Allah SWT. Tidak semua urusan harus dimsyawarahkan dalam Islam..
Sebaliknya, demokrasi mengajarkan segala hal harus diputuskan dengan musyawarah. Termasuk hal-hal yang hukumnya sudah ditentukan oleh Allah SWT. Bahkan menentukan halal, haram, baik dan buruk yang semuanya itu telah ditetapkan oleh Allah SWT, masih dimusyawarahkan. Sekiranya kita masih meyakini Islam adalah ajaran yang benar dan sempurna.
Sekarang masyarakat dunia telah begitu banyak menganut paham demokrasi. Termasuk juga Negara kita, Indonesia. Akan tetapi, demokrasinya ternyata adalah demokrasi yang dibangun di atas pemikiran Montesquei. Demokrasi yang terdiri dari trias politika. Yaitu Demokrasi yang dijalankan dengan system pembagian kekuasaan. Legislatif sebagai pembuat Undang-udang, Eksekutif sebagai pekerja Undang-undang, dan Yudikatif sebagai pengawas Undang-undang. Konsep ini salah dan tidak cocok diterapkan pada umat islam. Jika pun kita ingin mendekatkan makna demokrasi kepada islam, maka hanya ada satu ketentuan, bahwa Islam menganut demokrasi Eka Politika, alias Politik Tunggal. Legislatif demikian halnya Yudikatif itu adalah Allah, karena Dia yang paling pantas diikuti hukumnya, bukan hukum buatan manusia. Adapun eksekutif adalah kalangan ulama, sebagai pekerja hukum dan kekuasaan.


[1] Ketua Umum Demisioner FSI Raudhatul Ilmi UNM dan Aktivis Koordinator Pusjarwil SULTANBARATA-MALPA LIDMI (Pusat Jaringan Wilayah Sulawesi Selatan, Sulawesi Barat, Sulawesi Tengah, Maluku dan Papua Lingkar Dakwah Mahasiswa Indonesia)
 

Iklan Buku

Followers

Bincang-Bincang