Cari

SEBINGKAI SENYUM RAMADHAN

Friday 10 August 2012



Abu fath el_Faatih

SENYUM..ringan tak bersuara, tapi penuh makna.
SENYUM…begitu murah, tapi tak ternilai dengan rupiah.
SENYUM…tak bertenaga, tapi besar motivasinya.
SENYUM…suatu hal yang mudah, tapi selalu nampak indah.
SENYUM…satu hal yang biasa, tapi memberi dampak luar biasa.
SENYUM… ibadah termudah, tapi pahala setara dengan sedekah.
TERSENYUMLAH… agar Semua terasa indah, meski hidup ini tak selamanya mudah,
 Atau mungkin terkadang susah.
(SMS dari seorang ikhwa-dengan sedikit perubahan)

Senyum. Sebuah potongan kata yang ringan namun menyimpan makna. Mari kita ulangi. Coba sebut lagi. Se-nyum… mungkin anda membaca bait-bait di atas sambil tersenyum. Tapi, tak apa. Tersenyumlah, Karena sesungguhnya dari senyum memancar jiwa yang cerah.
Tak ada yang lebih menyenangkan dibanding senyum. Ia begitu murah. Akan tetapi, menebar senyum adalah pertanda bahwa pemiliknya adalah seorang yang kaya raya. Kekayaan yang tidak dimiliki orang kaya hari ini. Kaya hati. Rasulullah saw menyebutkan dalam sabdanya
تبسمك في وجه أخيك صدقة
“Senyummu kepada saudaramu adalah shadaqah” (HR. Tirmidzi dalam Sunannya [1879])
Betul, senyum adalah sedekah. Jika seseorang tak mampu lagi memberi dengan harta yang dimilikinya. Tak apa, kita masih punya modal dua bibih bibir dan beberapa potong gigi depan untuk di-pamerkan. Pasang bibir anda pada posisi 3-3-7. Tarik 3 cm ke kiri. 3 cm ke kanan. Tahan 7 detik. Coba lihatlah dicermin. Ha… ha… ha…
Sangat sejuk kelihatannya. Lepaskan tanpa beban. Dan tebarlah di manapun, kapanpun, dan kepada siapapun. Tapi ingat, asal jangan sama tiang listrik. Anda nanti dipanggil “orang gila …!!!”.
Sebingkai Senyum. Ringan tak bersuara, namun berat berdenting hingga ke dasar qalbu. Itulah senyum. Seperti sekuntum bunga yang mekar. Merekah menebar harum ke setiap makhluk yang menghinggapinya. Senyum, seperti tegukan air. Segar dan menghilangkan dahaga para peminumnya. Senyum, seperti sepotong kue. Manis, mungil dan membuat orang berlomba merogoh kantong untuk mendapatkannya. Senyum, seperti sebuah bintang kenari yang menari  di angkasa. Membuat mata tak jemu memandangnya.
Segaris senyum, ringan menyejukkan. Sebuah tanda keceriaan hati dan kecintaan seorang saudara kepada saudaranya. Sebuah simbol kebahagiaan dari hati yang dalam. Tulus dari sanubari tak berharap balasan. Senyum, renyah dan gurih melebihi ayam crispy 5.000 perak. Senyum, tak perlu beban. Bersamanya, mengawali hari menjadi berarti. Menutup malam dalam selimut cita-cita.
Senyum, sederhana namun menyiratkan ribuan makna. Senyum, dari bibir luar, namun membekas dalam sampai ke jiwa. Senyum, simple namun terkadang susah ditafsirkan. Senyum, tak bermassa, namun berat tak terkira.
Itulah yang saya dapat di sini. Ramadhan di tanah pilih pesako betuah. Negeri angso duo[1]. Jambi. Negeri di ujung barat Indonesia. Negeri yang berjarak 6 jam dari bandara Sultan Hasanuddin, Makassar. Transit Jakarta dan melanjutkan ke Bandar Udara Sultan Thaha. Daerah eksodus yang para penghuninya hangat dan ramah. Tak banyak pusing. Kata pak RT, “ah... yang penting kito biso makan besamo. Selesai persoalan. Tak perlu banyak pusing !”. Itu mungkin yang membuat daerah ini jauh lebih tenang dan aman di banding di tanah kelahiran kami. Memang kultur orang melayu masih sangat terasa di sini. Hanya saja, orang disini agak lamban. Pembangunannya juga baru mulai berjalan. Bahkan sampai aparat pun sangat lamban. Subuh-subuh, jalan masih kosong. Pak polisi, belum ada yang berjaga. Nanti jam 9-an baru jalan ramai. Setelah dhuhur pun. Pos-pos polisi sudah kosong ditinggalkan. Sorenya, orang tak berhelm bebas ke mana-mana dengan kendaraannya.
Akan tetapi, di tempat ini, senyum tulus kami dapatkan. Senyum yang sudah jarang diperoleh dari manusia di kota lain. Akan tetapi yang lebih indah adalah senyum dari saudara. Kebersamaan selama 14 hari adalah sejarah yang tidak bisa dinilai dari lembaran-lembaran uang. Jangankan uang, sampai emas permata pun tidak bisa sama sekali !.
Kehangatan ukhuwah. Dalam dekapan cinta dan kasih sayang. Kelembutan hati dan cahaya keceriaan. Inilah ukhuwah. Inilah cinta dalam pencarian. Karena ini adalah cinta di tengah keterasingan. Senyum cinta yang dalam yang sudah terabai karena digilas egoisme modernitas. Sudah hampir hilang, kecuali bekas-bekas yang masih berusaha dijaga oleh orang-orang yang menjaganya.
Dari situlah kami sadar, di tengah keterasingan masih ada pijar harapan. Di tengah kegelapan, masih ada sepotong rindu yang terpendam dari jiwa yang bersinar. Di dalam hiruk-pikuk dunia, masih ada yang meyempatkan setengah waktunya untuk sejenak mengabdi bertemu dengan Allah. Melepas kepenatannya dari dunia yang berat bagi mereka terasa. Di tengah kemunafikan, masih ada orang-orang yang jujur. Maraknya pengkhianatan dan kebohongan, masih ada orang-orang yang menjaga amanah. Meskipun hanya sepasang sandal. Di tengah pekatnya maksiat, masih ada orang-orang yang beristighfar, menangis di hadapan tuhan-Nya. Merengek meminta ampun atas kesalahannya. Segera bertobat dan kembali dalam keadaan membawa pahala hasil kekhilafannya.
žwÎ) `tB z>$s? šÆtB#uäur Ÿ@ÏJtãur WxyJtã $[sÎ=»|¹ šÍ´¯»s9'ré'sù ãAÏdt6ムª!$# ôMÎgÏ?$t«Íhy ;M»uZ|¡ym 3 tb%x.ur ª!$# #Yqàÿxî $VJŠÏm§ ÇÐÉÈ  
kecuali orang-orang yang bertaubat, beriman dan mengerjakan amal saleh; maka itu kejahatan mereka diganti Allah dengan kebajikan. Dan adalah Allah maha Pengampun lagi Maha Penyayang (QS Al-Furqan: 70)
Dari sekian banyaknya bayangan-bayangan kelam, malam yang semakin larut. Manusia pun semakin bersembunyi bersama pasangan gelapnya. Ada yang ke semak, ada yang memang menyewa villa, atau kamar hotel berbintang. Atau mungkin hanya kamar kos ukuran 3x4. Semakin larutnya malam, masih saja ada titik-titik cahaya dari orang-orang yang mengingat Rabb-Nya. Memperpanjang bacaannya dan berlama-lama bercumbu, bermunajat kepada Tuhan-Nya. Dalam hitam pekatnya hati manusia dari noda dosa, masih ada yang berusaha membersihkannya dalam duduk simpuh memohon ampun kepada-Nya.
Di tengah canda palsu dan kesia-siaan yang melanda bak cendawan di musim hujan, masih ada senyum tulus dari bibir yang tak kenal letih memberi kepada sesama. Berkorban, karena mencintai jalan pengorbanan. Di saat hampir semua manusia sudah merusak umur, dan berkah waktunya, masih ada yang menjaga masa mudanya. Di saat manusia sudah banyak melumuri aqidah mereka dari takhayul dan khurafat, ibadah mereka dari bid’ah dan kesesatan, masih ada yang merawat sunnah dengan cinta dan keberaniannya. Di tengah gempuran pemikiran merusak, masih ada yang menyeru. Memberi peringatan atasnya.
Jumlah yang banyak adalah sebuah kepastian. Namun sebuah tahqiq[2], dari jumlah yang sedikit sudah menjadi keniscayaan. Sedikitnya, pasti adalah yang terpilih. Sedikitnya pasti adalah yang terbaik. Dan sedikitnya, adalah alamat kemenangan. Karena kemenangan, tidak pernah diperoleh dari kelapangan dan banyaknya jumlah. Kemenangan selalu lahir dari kesempitan harta, akan tetapi dibawa oleh jiwa yang lapang. Kemenangan tidak pernah lahir dari lengkapnya fasilitas, dan mapannya kehidupan. Tapi dari kondisi susah, sulit, namun menempa mental seorang pejuang menjadi pemenang. Kemenangan, jika dalam kemapanan adalah hal yang biasa. Bahkan hal yang menjadi keharusan, menang karena memang pantas menang. Akan tetapi, kemenangan yang berasal dari keterbatasan, itulah yang luar biasa. Hingga kemustahilan, menjadi sebuah realitas tak terbantahkan. Idealisme, telah mengalahkan realitas.  Karena keyakinan yang tak dapat lagi dinalar dan didekati lewat persamaan apa pun. Karena tak dapat dijabarkan dalam rumus matematika.  Itulah keajaiban. Ia diundang dengan keyakikan paripurna yang tak bercampur keraguan sedikit pun.
------
Hari ini hari yang mulia. Bulan ini, bulan termulia di antara bulan yang mulia lainnya. Mari memperbanyak ibadah. Walau pun hanya dengan senyuman ringkas. Sedekah dengan sebutir kurma. Namun dikawal dengan ihtisab[3] wajah allah di yaumil akhir[4].
Pergunakan waktu kita. Sekalipun dalam canda dan tawa. Bawalah ia menjadi ibadah yang mengundang pahala berlipat-lipat. Karena ketulusan dan niat. Tanpa meremehkan satu pun dari amalan dalam agama.
Karena boleh jadi senyum kita mengantar seorang ahlul maksiat ke gerbang hidayah. Dan ia menjadi penyeru kebenaran suatu hari nanti. Kita tidak mengetahui amalan mana yang akan diterima oleh allah. Boleh jadi seluruh amalan kita sampai hari ini,  masih menggantung. Berada antara langit dan bumi. Atau mungkin hilang menguap. Dan dengan senyum yang ikhlas, itulah yang dicatat malaikat, dan diangkat kepada allah swt menuju arsy-Nya, menembus petala-petala langit yang tujuh.
Boleh jadi dengan senyum itu, seseorang miskin, yatim atau pun janda menjadi senang. Apalagi jika kita memelihara dan memberikan mereka haknya dari harta yang kita punyai. Dan ia sempat berdoa, “Yaa allah… selamatkan fulan di dunia dan di akhirat !!!”. Lalu doanya pun dikabulkan oleh allah azza wa jalla.

Selamat beramadhan….!!!
Raih Cinta-Nya sebelum kecintaan Makhluq.
Allohumma inii as’aluka hubbak, wa hubba man yuhibbuk. Wal amalu yuqarribu ila hubbak
Yaa allah aku memohon cinta-Mu, dan cinta orang-orang yang mencintai-Mu dan amalan yang mendekatkan kepada cinta-Mu.


Telanai Pura, Jambi
17 Ramadhan 1433 H/6 Agustus 2012
Pkl. 23.10 WIB
Menanti perjalanan panjang esok hari menuju Pekan Baru



[1] Bahasa Melayu Jambi (Dua Angsa: Lambang/maskot daerah ini)
[2] Bentuk pernyataan pengesahan atau penguatan argumen
[3] Mengharap pahala
[4] Hari akhir

No comments:

Post a Comment

 

Iklan Buku

Followers

Bincang-Bincang