------Part
2------
Abu Fath el_Faatih
Pos
pertama adalah pos ilmu. Seperti tahun lalu. Di sini peserta diuji kapasitas
ilmu mereka. Sejauh mana mereka mengetahui dalil-dalil dan memahaminya. Ada
juga beberapa pertanyaan syubhat yang ditanyakan. Pertanyaan mengenai
dasar-dasar keislaman. Semuanya menjadi ujian dan untuk melihat siapa diantara
mereka yang masih minim ilmu. Terakhir, pos ini ditutup dengan motivasi
menuntut ilmu. Semua tim harus melewati pos ini. Dan di sini pula mereka mulai
bertolak mendaki gunung “Bulu satu”[1].
Dua jam
perjalanan. Latihan ini melatih otot-otot kaki. Kekuatan betis, lutut dan paha.
Subhanallah… dua jam itu, semua medannya terjal, nyaris 900. Disekeliling
hanya terlihat pohon. Mata kita hanya terpaku menyusuri jejak-jejak yang
dianggap sudah dilewati manusia sebelumnya. Karena jika kita lalai. Kita bisa
tersesat. Tidak jauh. Karena di samping kiri-kanan, hanya ada bukit terjal
berbatu yang di bawahnya jurang. Jika kita melihat keluar, maka yang ada adalah
bayang-bayang langit yang biru di sela-sela rindanganya dedaunan hijau. Beberapa
tanaman berlumut, pakis, dan pohon-pohon besar kami dapati di sini. Untungnya,
kita dapat melewati jalur ini dengan mengikuti jejak aliran air. Sebuah sungai
kecil yang menghimpun seluruh mata air di puncak melintasi bebatuan di gunung
ini. Rintangannya licin, kaki harus kokoh. Jangan sampai terpeleset dan
terguling ke bawah, karena akibat nya bisa fatal. Tidak sampai jatuh ke jurang.
Minimal tersangkut di pohon. Tapi tidak tahu berapa jauh kita jatuh, baru akan tersangkut.
Dengan
usaha yang keras. Kami berusaha melalui perjalanan itu. Setelah tepat pukul
12.15 wita, puncak sepertinya semakin menjauh. “wahh… itu dia puncaknya…”,
teriakku. Tapi, semakin kami berusaha mengejarnya, sepertinya ada puncak lain
yang lebih tinggi. Keringat mulai bercucuran, baju kaos sudah mulai melengket
di tubuh karena keringat. Sementara matahari semakin panas. Ditambah lagi kami
berdua (sebagai Steering Comitee) bersama Syuaib tidak membawa bekal air minum
yang cukup. Hanya dua gelas air mineral. Tapi bagi kami itu sudah cukup. Ini
juga menjadi pelajaran, bahwa dalam
menempuh perjalanan persiapkanlah bekal.
Perjalanan
kami berdua terus dilanjutkan. Sampai berkas-berkas semburat langit kami mulai
dapatkan. Semakin lama semakin jelas. Semakin lama, semakin terang. “Nah… itu
dia puncaknya…”, kataku dalam hati. “waduh… ternyata kita tertahan. Ada satu
batu besar licin yang harus dilewati untuk naik”, kataku kepada syuaib. “Oh…
tidak, coba dulu cari jalan… berdasarkan jejak-jejak, sepertinya batu ini tidak
menjadi jalan untuk naik”, syuaib menganalisis. Begitulah dia. Otak kirinya
selalu menjadi tumpuan selama mendapat masalah. Sehingga kalau ada masalah, pertimbangannya
selalu harus logis, analisis, dan sistematis didasarkan ada bukti ilmiah dan
empiris. Wah… seperti ilmu sains saja. Karena seperti itu, kami beberapa kali
harus turun mengulangi jalan, bahkan meminta bantuan ikhwa di bawah. Karena
memang, jejak-jejak yang dilewati masih begitu asing. Ini memang jalur yang
baru. Belum banyak yang melaluinya. Jalur lain sebenarnya ada, hanya saja butuh
waktu lama, dan tidak begitu menantang.
“Nah… ini
dia, kita lewat kanan. Jalur di sini sepertinya dilalui oleh ikhwa yang naik ke
sini tadi”, kata syuaib sambil menunjuk dahinya yang sedari tadi berkerut. “Na’am…
langsung naik saja”, kataku. Setelah beberapa langkah, puncak semakin membuat
kami penasaran. “Sedikit lagi, sedikit lagi….”, kataku dalam hati. Thussss…… Setelah
melewati satu pohon besar, kami langsung dikejutkan dengan pemandangan luar
biasa. “Allahu akbar…!!!”, aku berteriak sekencang-kencangnya. Suara itu datang
kembali menggema dari satu gunung disebelah yang tingginya hampir sama dengan
gunung yang kami daki.
Kaki yang
sedari tadi pegal, dipaksa mengangkat berat badan yang sudah sempoyongan.
“Sedikit lagi… sedikit lagi…”. Tetes keringat mengiringi langkah ini. Tapi
angin yang dingin membuat badan tetap berusaha berdiri. Ia seperti sebuah aroma
syurga yang menuntun kami menuju pintunya. Bahwa di atas, ada sebuah kenikmatan
menanti. Akhirnya kami tiba di puncak. Seakan sebuah tabir yang tadi
menghalangi menikmati pemandangan terbuka lebar. Satu landscape pemandangan maha karya dari yang maha pencipta tersibak. Kami
tepat berada di puncak. “Allahu akbar…”. Kami teriakkan berkali-kali. Dan
sedemikian itu juga suaranya memantul sayup-sayup ke arah kami. “Subhanallah…”.
Dari sini laut terlihat di kejauhan. Sebelah timur ada gunung-gunung yang berjejer.
Seperti shaf-shaf yang teratur rapi menghadap Rabb-Nya. Semakin lama, semakin
kelam dan akhirnya menghilang, ditutup oleh awan abu-abu yang bergerak mendekati
puncak-puncak gunung. Bergerak di sela-sela lembah, seperti kawanan burung yang
terbang tanpa permisi. Kami tepat berada di puncak. Puncak bumi yang
bersinggungan dengan lapisan awan paling bawah, awan troposfer. Awan ini jika sudah berkumpul akan
menghasilkan awan nimbus dan jika
berderet ke atas menjadi comulunimbus.
Awan yang menghasilkan hujan karena pertemuan molekul-molekul air yang dibawa
oleh kabut berkumpul hingga massanya membesar. Terkadang pula menghasilkan
halilintar dan Guntur karena pertemuan awan positif dan negatif.
Di
kejauhan panorama tanpa sudut ini, sebuah gumpalan raksasa, awan pekat
mendekati kami. Saat jauh sepertinya sangat besar, namun ketika dekat ia
menyebar menjadi titik yang menghalangi pandangan. Inilah kabut. Kabut melintas
mengenai tubuh kami. Ia adalah titik-titik yang terbang menghampiri kami, dan menitip
sebagian kesejukannya di tubuh. kesejukan yang mendekati dingin yang dibawa oleh
angin.
Di sebelah
barat, ada panorama alam raya yang dahsyat. Matahari membusur api di atas sana, bergerak sedikit
demi sedikit merunduk menghampiri peraduannya. Sementara garis horison memecah
dua warna yang berdegradasi menyatu dipertengahan. Hijau di bumi dan biru di
langit. Di sana ada laut. Ada satu pulau kecil di tengahnya. Konfigurasi panorama
ini, tidak akan kami dapatkan di kota. Di kota hanya ada gedung-gedung
menjulang. Sebuah simbol keangkuhan dan keserakahan umat manusia mengeksploitasi
alam. Deretan kendaraan mulai dari mobil reot yang sudah berasap hitam seperti
kapal sampai mobil mengkilat yang suara mesinnya sangat susah dideteksi adalah
pemandangan menjemukan. Namun keduanya menyisakan hikmah.
Itulah
sebuah perbandingan. Dan dengan mengelilingi alam ini, seorang akan semakin
bijak. Seorang akan semakin paham bahwa, tidak ada yang pantas untuk
dibanggakan dari apa-apa yang dimiliki. Sifat takabbur hanyalah menjadi simbol
kelemahan diri seorang hamba. Bahkan ia tidak akan menambah perbendaharaan.
Justru malah mengundang adzab yang pedih. Oleh karena itu, ambillah dan bacalah
bait-bait yang singgah dalam ayat-ayat
kauniyah-Nya. Nikmatilah kesejukan imaniah dan renungilah pencipta-Nya. Temukan
ketakjuban di balik fakta-fakta logika dan simponi estetika semesta yang
mendorong agar kita lebih beretika.
190. Sesungguhnya dalam
penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat
tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal (QS Ali Imran: 190)
Dan
bacalah hingga kita betul-betul mengerti tentang makna kejadian kita menapaki
kehidupan dalam semesta-Nya.
1. Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan, 2. Dia
telah menciptakan manusia dari segumpal darah. 3. Bacalah, dan Tuhanmulah yang
Maha pemurah, 4. Yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam, 5. Dia
mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya (QS Al-‘Alaq: 1-5).
Jika belum
cukup, sepertinya ada yang mendung di hati anda. Karena cahaya itu begitu jelas
dan terang. Karena frekuensinya sangat presisi dengan celah hati yang bening. Dan
ia akan beresenonansi bersama dengan hati yang murni. Karena qalbu yang bersih
akan menangkap kebenaran itu, akurasinya tepat tanpa bias sedikit pun. Jika pun
masih belum… Belajar dan berjuanglah untuk mengetahui kebenaran itu. Memahami
kebenaran, meyakininya, memperjuangkannya hingga al-yaqin[2]
betul-betul menjemput anda.
Dan sembahlah Tuhanmu sampai datang kepadamu yang diyakini (ajal) (Al-Hijr: 99).
----------------------
Keimanan
itulah yang paling pertama yang harus dibenahi. Dengan berusaha meraih manisnya
iman. Ulama menjelaskan bahwa menikmati iman adalah dengan mencintai allah di
atas kecintaan kepada makhluk. Setelah merenggut hidayah keimanan, maka selanjutnya
adalah menyebarkan dengan mengajarkannya. Berdakwah kepada jalan-Nya. Kemudian
berjuang meniti jalan itu. Terakhir adalah berusaha untuk itqan[3]
dalam dakwah itu dalam kerjasama secara jama’iyah.
Itu yang
ingin kami tanamkan dalam muhayyam
tarbawy kali ini. Sebuah tahap dalam perubahan umat yang lebih luas. Mu’min,
Muslih, Mujahid, Mutqin dan Muta’awin. 5M sebagai out put dari madrasah Rasulullah saw, Tarbiyah Islamiyah. Sebuah instrumen yang menjadi keyakinan sebagai
jalan terbaik melakukan usaha islahul ummah.
-------------
Setelah
kami berkumpul di puncak, dengan menghabiskan waktu sekitar 3 jam, semua
peserta sudah berkumpul. Semuanya nyaris memiliki ekspresi yang sama dengan
saya. Kelelahan dibarengi ketakjuban ternyata
menjadi pengantar untuk langsung merebahkan diri.
(Bersambung insya
allah)
PDA, 21
Juni 2012
Pkl. 13.10
Wita
Saatnya
bergerak….
No comments:
Post a Comment