Cari

MENAPAK JEJAK SUNNAH, MEREBUT KEMBALI KEJAYAAN ISLAM (Sebuah Catatan dari Perjalanan Meniti Jalan-Jalan Tadabbur)

Friday, 13 July 2012



------Part 2------
Abu Fath el_Faatih

Pos pertama adalah pos ilmu. Seperti tahun lalu. Di sini peserta diuji kapasitas ilmu mereka. Sejauh mana mereka mengetahui dalil-dalil dan memahaminya. Ada juga beberapa pertanyaan syubhat yang ditanyakan. Pertanyaan mengenai dasar-dasar keislaman. Semuanya menjadi ujian dan untuk melihat siapa diantara mereka yang masih minim ilmu. Terakhir, pos ini ditutup dengan motivasi menuntut ilmu. Semua tim harus melewati pos ini. Dan di sini pula mereka mulai bertolak mendaki gunung “Bulu satu”[1].
Dua jam perjalanan. Latihan ini melatih otot-otot kaki. Kekuatan betis, lutut dan paha. Subhanallah… dua jam itu, semua medannya terjal, nyaris 900. Disekeliling hanya terlihat pohon. Mata kita hanya terpaku menyusuri jejak-jejak yang dianggap sudah dilewati manusia sebelumnya. Karena jika kita lalai. Kita bisa tersesat. Tidak jauh. Karena di samping kiri-kanan, hanya ada bukit terjal berbatu yang di bawahnya jurang. Jika kita melihat keluar, maka yang ada adalah bayang-bayang langit yang biru di sela-sela rindanganya dedaunan hijau. Beberapa tanaman berlumut, pakis, dan pohon-pohon besar kami dapati di sini. Untungnya, kita dapat melewati jalur ini dengan mengikuti jejak aliran air. Sebuah sungai kecil yang menghimpun seluruh mata air di puncak melintasi bebatuan di gunung ini. Rintangannya licin, kaki harus kokoh. Jangan sampai terpeleset dan terguling ke bawah, karena akibat nya bisa fatal. Tidak sampai jatuh ke jurang. Minimal tersangkut di pohon. Tapi tidak tahu berapa jauh  kita jatuh, baru akan tersangkut.
Dengan usaha yang keras. Kami berusaha melalui perjalanan itu. Setelah tepat pukul 12.15 wita, puncak sepertinya semakin menjauh. “wahh… itu dia puncaknya…”, teriakku. Tapi, semakin kami berusaha mengejarnya, sepertinya ada puncak lain yang lebih tinggi. Keringat mulai bercucuran, baju kaos sudah mulai melengket di tubuh karena keringat. Sementara matahari semakin panas. Ditambah lagi kami berdua (sebagai Steering Comitee) bersama Syuaib tidak membawa bekal air minum yang cukup. Hanya dua gelas air mineral. Tapi bagi kami itu sudah cukup. Ini juga menjadi pelajaran, bahwa dalam menempuh perjalanan persiapkanlah bekal.
Perjalanan kami berdua terus dilanjutkan. Sampai berkas-berkas semburat langit kami mulai dapatkan. Semakin lama semakin jelas. Semakin lama, semakin terang. “Nah… itu dia puncaknya…”, kataku dalam hati. “waduh… ternyata kita tertahan. Ada satu batu besar licin yang harus dilewati untuk naik”, kataku kepada syuaib. “Oh… tidak, coba dulu cari jalan… berdasarkan jejak-jejak, sepertinya batu ini tidak menjadi jalan untuk naik”, syuaib menganalisis. Begitulah dia. Otak kirinya selalu menjadi tumpuan selama mendapat masalah. Sehingga kalau ada masalah, pertimbangannya selalu harus logis, analisis, dan sistematis didasarkan ada bukti ilmiah dan empiris. Wah… seperti ilmu sains saja. Karena seperti itu, kami beberapa kali harus turun mengulangi jalan, bahkan meminta bantuan ikhwa di bawah. Karena memang, jejak-jejak yang dilewati masih begitu asing. Ini memang jalur yang baru. Belum banyak yang melaluinya. Jalur lain sebenarnya ada, hanya saja butuh waktu lama, dan tidak begitu menantang.
“Nah… ini dia, kita lewat kanan. Jalur di sini sepertinya dilalui oleh ikhwa yang naik ke sini tadi”, kata syuaib sambil menunjuk dahinya yang sedari tadi berkerut. “Na’am… langsung naik saja”, kataku. Setelah beberapa langkah, puncak semakin membuat kami penasaran. “Sedikit lagi, sedikit lagi….”, kataku dalam hati. Thussss…… Setelah melewati satu pohon besar, kami langsung dikejutkan dengan pemandangan luar biasa. “Allahu akbar…!!!”, aku berteriak sekencang-kencangnya. Suara itu datang kembali menggema dari satu gunung disebelah yang tingginya hampir sama dengan gunung yang kami daki.
Kaki yang sedari tadi pegal, dipaksa mengangkat berat badan yang sudah sempoyongan. “Sedikit lagi… sedikit lagi…”. Tetes keringat mengiringi langkah ini. Tapi angin yang dingin membuat badan tetap berusaha berdiri. Ia seperti sebuah aroma syurga yang menuntun kami menuju pintunya. Bahwa di atas, ada sebuah kenikmatan menanti. Akhirnya kami tiba di puncak. Seakan sebuah tabir yang tadi menghalangi menikmati pemandangan terbuka lebar. Satu landscape pemandangan maha karya dari yang maha pencipta tersibak. Kami tepat berada di puncak. “Allahu akbar…”. Kami teriakkan berkali-kali. Dan sedemikian itu juga suaranya memantul sayup-sayup ke arah kami. “Subhanallah…”. Dari sini laut terlihat di kejauhan. Sebelah timur ada gunung-gunung yang berjejer. Seperti shaf-shaf yang teratur rapi menghadap Rabb-Nya. Semakin lama, semakin kelam dan akhirnya menghilang, ditutup oleh awan abu-abu yang bergerak mendekati puncak-puncak gunung. Bergerak di sela-sela lembah, seperti kawanan burung yang terbang tanpa permisi. Kami tepat berada di puncak. Puncak bumi yang bersinggungan dengan lapisan awan paling bawah, awan troposfer.  Awan ini jika sudah berkumpul akan menghasilkan awan nimbus dan jika berderet ke atas menjadi comulunimbus. Awan yang menghasilkan hujan karena pertemuan molekul-molekul air yang dibawa oleh kabut berkumpul hingga massanya membesar. Terkadang pula menghasilkan halilintar dan Guntur karena pertemuan awan positif dan negatif.
Di kejauhan panorama tanpa sudut ini, sebuah gumpalan raksasa, awan pekat mendekati kami. Saat jauh sepertinya sangat besar, namun ketika dekat ia menyebar menjadi titik yang menghalangi pandangan. Inilah kabut. Kabut melintas mengenai tubuh kami. Ia adalah titik-titik yang terbang menghampiri kami, dan menitip sebagian kesejukannya di tubuh. kesejukan yang mendekati dingin yang dibawa oleh angin.
Di sebelah barat, ada panorama alam raya yang dahsyat. Matahari  membusur api di atas sana, bergerak sedikit demi sedikit merunduk menghampiri peraduannya. Sementara garis horison memecah dua warna yang berdegradasi menyatu dipertengahan. Hijau di bumi dan biru di langit. Di sana ada laut. Ada satu pulau kecil di tengahnya. Konfigurasi panorama ini, tidak akan kami dapatkan di kota. Di kota hanya ada gedung-gedung menjulang. Sebuah simbol keangkuhan dan keserakahan umat manusia mengeksploitasi alam. Deretan kendaraan mulai dari mobil reot yang sudah berasap hitam seperti kapal sampai mobil mengkilat yang suara mesinnya sangat susah dideteksi adalah pemandangan menjemukan. Namun keduanya menyisakan hikmah.
Itulah sebuah perbandingan. Dan dengan mengelilingi alam ini, seorang akan semakin bijak. Seorang akan semakin paham bahwa, tidak ada yang pantas untuk dibanggakan dari apa-apa yang dimiliki. Sifat takabbur hanyalah menjadi simbol kelemahan diri seorang hamba. Bahkan ia tidak akan menambah perbendaharaan. Justru malah mengundang adzab yang pedih. Oleh karena itu, ambillah dan bacalah bait-bait yang  singgah dalam ayat-ayat kauniyah-Nya. Nikmatilah kesejukan imaniah dan renungilah pencipta-Nya. Temukan ketakjuban di balik fakta-fakta logika dan simponi estetika semesta yang mendorong agar kita lebih beretika.
190. Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal (QS Ali Imran: 190)
Dan bacalah hingga kita betul-betul mengerti tentang makna kejadian kita menapaki kehidupan dalam semesta-Nya.
1. Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan, 2. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. 3. Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha pemurah, 4. Yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam, 5. Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya (QS Al-‘Alaq: 1-5).
Jika belum cukup, sepertinya ada yang mendung di hati anda. Karena cahaya itu begitu jelas dan terang. Karena frekuensinya sangat presisi dengan celah hati yang bening. Dan ia akan beresenonansi bersama dengan hati yang murni. Karena qalbu yang bersih akan menangkap kebenaran itu, akurasinya tepat tanpa bias sedikit pun. Jika pun masih belum… Belajar dan berjuanglah untuk mengetahui kebenaran itu. Memahami kebenaran, meyakininya, memperjuangkannya hingga al-yaqin[2] betul-betul menjemput anda.
Dan sembahlah Tuhanmu sampai datang kepadamu yang diyakini (ajal) (Al-Hijr: 99).
----------------------

Keimanan itulah yang paling pertama yang harus dibenahi. Dengan berusaha meraih manisnya iman. Ulama menjelaskan bahwa menikmati iman adalah dengan mencintai allah di atas kecintaan kepada makhluk. Setelah merenggut hidayah keimanan, maka selanjutnya adalah menyebarkan dengan mengajarkannya. Berdakwah kepada jalan-Nya. Kemudian berjuang meniti jalan itu. Terakhir adalah berusaha untuk itqan[3] dalam dakwah itu dalam kerjasama secara jama’iyah.
Itu yang ingin kami tanamkan dalam muhayyam tarbawy kali ini. Sebuah tahap dalam perubahan umat yang lebih luas. Mu’min, Muslih, Mujahid, Mutqin dan Muta’awin. 5M sebagai out put dari madrasah Rasulullah saw, Tarbiyah Islamiyah. Sebuah instrumen yang menjadi keyakinan sebagai jalan terbaik melakukan usaha islahul ummah.
-------------
Setelah kami berkumpul di puncak, dengan menghabiskan waktu sekitar 3 jam, semua peserta sudah berkumpul. Semuanya nyaris memiliki ekspresi yang sama dengan saya. Kelelahan dibarengi ketakjuban  ternyata menjadi pengantar untuk langsung merebahkan diri.

(Bersambung insya allah)
PDA, 21 Juni 2012
Pkl. 13.10 Wita
Saatnya bergerak….


[1] Kami menyebutnya Bulu Satu, karena daerah ini bernama Bulu Dua (Bulu [Bugis]: Gunung )
[2] Al-Maut atau kematian
[3] Profesional. Menurut Prof. Halide (Rektor UNIFA, Makassar) Itqan adalah doing the job as the best work.

No comments:

Post a Comment

 

Iklan Buku

Followers

Bincang-Bincang