------Part
1------
Abu Fath el_Faatih
Sungguh,
memang benar hadits nabi saw, “Safar, adalah sepotong adzab…”. Hari itu aku
kelelahan. Perjalanan panjang menempuh 5 jam ternyata berat. Sebenarnya saya
sudah sering menempuh perjalanan seperti
ini. Namun, memang demikianlah. Menapak-jejakkan kaki di bumi adalah keletihan.
Berjalan menuju sebuah negeri nun jauh meniscayakan sisa kelelahan.
Kali ini saya
ingin menyampaikan rekam-jejak kami selama dua hari-dua malam diantara dua
negeri. Sebuah tempat yang menundukkan hati. Menghancurkan kesombongan dan menyadarkan
betapa kecilnya manusia dihadapan Rabb-Nya. Membuat jiwa terenyuh, namun menjadi
setitik asa dari titik balik kebangkitan dakwah kampus.
Izinkan
saya mengawali dengan satu ayat dalam al-Qur’an Surah Al-Baqarah : 197,
(Musim) haji adalah beberapa bulan yang
dimaklumi[1], Barangsiapa yang
menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji, Maka tidak boleh
rafats[2], berbuat Fasik dan
berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji. dan apa yang kamu kerjakan
berupa kebaikan, niscaya Allah mengetahuinya. Berbekallah, dan Sesungguhnya Sebaik-baik
bekal adalah takwa[3] dan bertakwalah
kepada-Ku Hai orang-orang yang berakal.
Mari kita
sedikit tadabburi.
Allah
memulai ayatnya dengan aturan dalam pelaksanaan ibadah haji. Waktu dan larangan
dalam ibadah mulia tersebut. Namun, selanjutnya allah menutup di akhir kalimat
itu dengan sebuah perintah agung. Perintah
untuk berbekal. Dan allah azza wa jalla menyambungnya, sebaik-baik bekal
adalah taqwa. Di sini para ulama tafsir menjelaskan hubungan dari dua kalimat
ini. Tentang haji dan tentang perintah berbekal. Kira-kira menurut pembaca,
–yang dirahmati allah- apa korelasinya ?.
Ternyata,
para mufassir menjelaskan bahwa ibadah haji adalah ibadah yang paling berat
pelaksanaannya. Ia membutuhkan persiapan. Baik mental, fisik dan material. Oleh
karena itu, tidak semua kaum muslimin mampu untuk melakukannya. Dan hampir dari keseluruhan
ibadah haji dalam syariat adalah perjalanan. Dan tentu membutuhkan kesiapan
fisik yang memadai. Oleh karena itu, dalam riwayat, orang-orang mendatangi
masjidil haram sampai bertahun-tahun lamanya. Ketika nabi Ibrahim diperintahkan
oleh allah untuk menyeru manusia mendatanginya, dalam al-qur’an allah
menyebutkan :
Dan berserulah kepada
manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan
berjalan kaki, dan mengendarai unta yang kurus[4] yang datang
dari segenap penjuru yang jauh (QS Al-Hajj: 22)
Bahkan
disebutkan, bahwa ketika para jamaah haji telah sampai di depan ka’bah, mereka
yang saling bertanya, “Tahun berapa engkau meninggalkan kampungmu ?”. Yang lain
menjawab “Saya bertolak dari kampung dalam usia masih muda, namun sekarang uban
telah mulai tumbuh dan memenuhi rambutku”. Dalam perjalanan menuju baitullah,
orang-orang di zaman nabi Ibrahim As membutuhkan waktu hingga puluhan tahun
untuk sampai. Bahkan, bekal yang mereka bawa dari negerinya tidak cukup dalam
perjalanannya. Sehingga ketika bekal mereka habis, mereka terkadang harus
singgah menetap, hingga berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun untuk mempersiapkan
bekal mereka dalam melanjutkan perjalanan kembali.
Demikianlah
beratnya safar dalam ibadah haji tersebut. Belum lagi rentetan ibadah di
dalamnya, seperti thawaf (mengelilingi ka’bah sebanyak 7 kali). Berlari-lari kecil
(3 kali) antara shafa dan marwah. Dan
perjalanan di setiap tempat-tempat bersejarah dalam syariat. Oleh karena itu, rasulullah
saw menyebutkan bahwa safar adalah sepotong adzab.
Maka tentu
semakin jelaslah, bahwa perjalanan itu adalah pasti melelahkan. Namun jika dilihat
hadist nabi saw di atas dalam konteks kekinian, sepertinya safar bukan lagi
sebuah adzab. Teknologi transpotasi yang sudah demikian mapan. Perjalanan darat
sudah demikian cepat untuk ditempuh. Apalagi sudah terbuka jalur laut yang
dengan kapal – kapal laut, perjalanan bahkan dinikmati dengan pelesiran dan
melancong ke tempat-tempat wisata. Begitu pula perjalanan udara, dengan
ditemukannya pesawat terbang, waktu tempuh semakin ringkas dan padat.
Akan
tetapi, ternyata jika dilihat lebih dekat, perjalanan justru tetap melelahkan. Seorang
yang menempuh jalur darat, di atas kendaraan mungkin hanya istirahat, bahkan
tidur di dalamnya masih merasakan keletihan. Padahal tidak ada aktivitas dalam
kendaraan itu. Setelah sampai, kita malah merasakan keletihan yang sangat dan
butuh istirahat kembali.
Demikian
halnya dalam perjalanan laut sampai perjalanan udara. Baru – baru ini tragedi
Sukhoi SJ 100 yang jatuh di gunung salak bogor sepertinya menjadi tekanan, bagi
orang-orang yang memilih jalur udara dalam perjalanannya. Paling tidak ia memberi
warning bagi setiap kita untuk semakin
menyiapkan mental menempuh jalur udara. Itulah
kebenaran hadist nabi saw dan kesesuaiannya terhadap perkembangan zaman.
Perumpamaan
safar dan perjalanan itulah kehidupan dunia. Dalam satu atsar, umar Ibn Khattab
Ra menyebutkan : “Jadilah kalian hidup di dunia ini seperti musafir.” Orang
yang sedang melakukan perjalanan tentu hanya sekedar singgah di tempat
persitirahatannya. Tidak membangun rumah yang besar-besar dan tinggi. Karena
sebentar lagi ia akan meninggalkannya.
Kehidupan
dunia adalah seperti menempuh sebuah jalan. Suatu saat, kita akan sampai ke
tujuan. Dan rasulullah saw menyebutkan “seseorang yang hidup di dunia ini
seperti berjalan di atas sebuah jalan, dan kematian berjalan menuju kepadanya,
suatu saat ia akan bertemu dengan kematian itu”.
Dan
menjadi hal yang mafhum[5], bahwa semakin
jauh perjalanan itu, semakin kita membutuhkan bekal. Semakin lama perjalanan
yang akan kita tempuh, semakin baik pula bekal yang harus kita persiapkan. Jika
dalam kehidupan dunia, semakin jauh tempatnya, semakin banyak bekal yang mesti
untuk dipersiapkan. Semakin lama perjalanannya, semakin kita butuh kesiapan
materi, fisik dan mental. Maka, apatah lagi jika kampung yang akan kita tempuh adalah
kampung akhirat. Kampung yang tidak ada lagi ujungnya dan sejauh-jauh
perjalanan.
Abu
hurairah, Sahabat nabi saw yang mulia di akhir kehidupan beliau dalam kondisi
sakaratul maut, saat berlinangan air mata keluar dari lisannya, “bagaimana
mungkin saya tidak menangis, jika sedikitnya bekal, dan jauhnya perjalanan”.
Oleh
karena itu, Allah menyebutkan “dan berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik
bekal adalah takwa”. Bekal yang terbaik bagi seorang manusia, tidak lain adalah
bekal taqwa. Bekal menuju kampung hakiki mereka, syurga atau neraka. Maka
pantaslah, jika pengingat yang paling pantas di kala kita butuh nasihat adalah,
“Ittaqillah…!!!”, bertaqwalah kepada
Allah. Karena ia adalah sebaik-baik bekal. Dan cukupkan diri kita dengan
nasihat itu.
---------------
Saat itu,
saya merasa letih hingga tidak menyempatkan diri untuk menggubah beberapa baris
kalimat. Ya, letih dan lelah. Belum lagi bis yang sudah ditunggu sejak beberapa
jam. Sejak jam 16.00 wita, usai shalat ashar. Semua peserta langsung terbaring
melepas kepenatan dan haus yang sudah dari pagi mereka tahan saat kepulangan
ini.
Perjalanan
itu diawali saat seluruh peserta dikumpulkan di depan gedung auditorium kampus
UNM Gunung Sari. Waktu sosialisasi memang agak mepet. Hanya sekitar satu pekan. Sehingga beberapa LDK tidak dapat
menghadiri acara ini. Tapi itu sudah saya bantu, di setiap majelis, saya selalu
menyampaikannya agar mereka semua bersiap-siap dalam waktu dekat. Sebuah ajang
yang mempertemukan para pejuang dakwah kampus melepas diri mereka di alam raya.
Tadabbur dan tafakkur imaniah di lintas batas bumi. Keluar dari kota yang setiap
hari hanya hiruk-pikuk kendaraan yang berlalu-lalang menuju lembah dan gunung.
Orang menyebutnya Desa Bulu Dua. Di tepi batas di antara dua kabupaten. Barru
dan Soppeng.
Hanya saja
karena konsolidasi yang kurang baik, seluruh peserta tidak berangkat bersamaan.
Dua gelombang. Tepatnya empat gelombang, karena kita terpisah ke dalam satu
mobil bis yang berangkat menjelang jam 17.00 petang. Setelah itu mobil bis
kedua bersamaan dengan 4 motor dengan 5 orang. Dan sebuah mobil panther,
terakhir mobil mewah. Satu jamaah dari ikhwa taddulako. Saya dan wardi bersama
mereka.
Sebenarnya
bersama mobil panther itu kami mulai start. Hanya saja karena salah belok di
tol reformasi, akhirnya kami tersesat. Keluar di jalur pelabuhan. Terpaksa
memutar kembali setelah sekitar 30 menit yang lalu, mobil panther itu telah
mendahului kami.
-----------------
Tidak
banyak kisah yang saya bisa uraikan di perjalanan. Kami hanya banyak istirahat.
Sejenak singgah mengisi perut yang sudah keroncongan di Barru. Dan melanjutkan
kembali hingga lewat perbatasan kami baru awas. Ternyata tempatnya tidak begitu
kami ketahui. Tepatnya tidak tahu sama sekali, sementara waktu semakin larut,
memakan detik-detik yang telah berlalu. Kami berada paling belakang. Menyusuri
jalan raya yang sesekali di selingi
kabut. “Wah… daerah ini bagi saya masih asing, saya mungkin baru lewat disini
seumur-umur”, kataku dalam hati. Apalagi tiga orang yang kami temani dari
Universitas Taddulako, Palu. Parahnya, jalan yang kurang bersahabat ditambah
sinyal yang hilang sama sekali membuat kami semakin bertanya-tanya, di mana
sebenarnya tempat perkemahan. Setelah lewat sekitar 10 Km dari perbatasan, jejak
sinyal sudah membaik. Kami langsung menghubungi ketua panitia, Sukandi. “halo…,
assalamu alaikum…”, kataku. “wa alaikum salam warahmatullah… “, balasnya. “Kenapa
kak…??, di mana maki ??”, Tanya sukandi. “Justru saya yang mau Tanya, di mana
tempatnya ?”, aku menimpali. “saya sekarang sudah lewat dari perbatasan Barru-Soppeng,
lewat di daerah berkabut tadi.”, Lanjutku. “Wah… lewat maki itu pale’…. Jauh
maki itu… kembaliki…,” kata sukandi. Ternyata ia berada di belakang kami karena
motor salah seorang ikhwa mengalami kedala. Bannya pecah, kuncinya hilang dan
kehabisan bensin. Peristiwa itu berturut-turut ia alami di Barru. Mereka
berhenti sejenak untuk memperbaiki kendaraannya.
Akhirnya
setelah lama menyusuri jejak-jejak di jalan, dan melewati banyak petunjuk
jalan, kami berusaha meraba-raba. Bukan main jam sudah menunjukkan pukul 01.30 wita. Semua ikhwa di mobil yang berjumlah lima
orang sudah terlelap kecuali saya, zam-zam, dan satu orang lagi yang sudah
terbangun. Bukan main, malam ini pun diguyur hujan rintik-rintik. Dingin
menusuk ditambah kabut yang banyak membuat kami kehilangan jarak pandang dan
semakin memperlambat jalan. Apalagi ini jalan terjal, di sebelah kiri adalah
jurang. Saya terus konfirmasi ke akh sukandi. Ingin betul-betul memastikan
bahwa kami telah lewat. Dan sebenarnya kami memang cenderung pada kesimpulan
itu. Karena isyaratnya adalah, tempatnya tepat di perbatasan. Tandanya ada tugu
di situ. Dan kami melihat tugunya tadi.
Setelah
menempuh jalan kembali, tepat bis yang kedua juga berhenti di perbatasan. Di
kejauhan, cahaya lampu bis itu kelihatan.
Dan kami pun menepi, berhenti di trotoar jalan.
Ternyata,
jadwal yang disusun sangat molor. Seharusnya seluruh MDK[6]
sampai paling lambat pukul 20.00 wita di sini. Namun ternyata sampai jam 02.00
wita. Kami belum terdeteksi berapa jumlahnya. Menurut saya saat itu sekitar
80-an orang. 5 fakultas dari UNM (SCMM MIPA, PUSDAMM FBS, KBM FT, SRN FIP, dan
SC Al-Furqan FIS. Untuk LDK lain LPKSM Unismuh, MA’HAD ALY STIBA dan MPM UNHAS,
serta FORMASI STAIN PARE-PARE DAN UNTAD PALU) Dan semuanya terkatung-katung
karena hujan yang mengguyur di tengah malam, ditambah dingin dan rasa ngatuk
yang menyerbu, membuat sebagian mengambil jalan pintas. Ya, tidur. Adalah jalan
terbaik dari semua ini. Tapi dimana ?. sementara, tempat campingnya belum diketahui pasti. Akhirnya diputuskan untuk minta izin menginap di rumah
warga. Wardi pun memberanikan diri mengetuk pintu rumah warga tepat di seberang
jalan. Dan semua MDK dari LDK dan LDF terselamatkan. Mereka melepas lelah di
rumah warga. Rumah beralas tembok cor. Kasar dan berdebu. Namun itu disiasati
dengan menggelar tikar – tikar yang mereka sudah persiapkan untuk camping.
Semua menikmati malam yang lelap. Tapi Alhamdulillah, kami terbangun di waktu
subuh. Semua bangun dari tidur lelapnya. Tidur berkualitas. Cepat, namun sangat
dinikmati.
Saat itu
subuh. Air seperi diambil dari freezer
kulkas. Wuhh…. Dingin menusuk. Diantara kami sepertinya tidak ada yang saling
mengenal. Masing-masing mengenakan sarung menutup muka. Seperti orang kedinginan.
Bukan seperti, tapi memang kedinginan.
Subuh itu
dilalui dengan khusyu’. Masih ada bekas-bekas ngantuk semalam kami bawa dalam shalat. Sisa-sisa kepenatan masih
terasa. Namun berusaha untuk disusir dengan mengikuti bacaan imam. Amir
memimpin jama’ah shalat. Dan shalat pun usai hampir sesaat sebelum mahari
terbit. Setelah terbit, ternyata seluruh medan baru kelihatan dengan baik. Kita
berada di lereng gunung. Naik sekitar 50 m dari jalan raya. Membangun tenda dan
selanjutnya bersiap-siap untuk mendaki.
Inilah Islamic camp IV. Kami para MDK yang tergabung
dalam LIDMI[7] mengambil momen pertemuan
di alam raya. Sebuah kesempatan mempekokoh ukhuwah dan menjalin silaturahim di
antara para pengurus LDK se sul-sel. Bukan hanya itu, ini juga adalah wadah
membangun kerjasama tim. Melihat kekompakan dari pengurus LDK dan melihat
sejauh mana ketahanan mereka dari segi fisik dan mental. Di sini tempatnya.
Tempat mengadu kekuatan dan menujukkan kebolehan mereka dalam segala hal.
--------------
Setelah
matahari meninggi. Ia mulai memperlihatkan ronanya yang menguning. Menyebar
memenuhi ufuk dan menebarkan kehangatan di tubuh kami yang sudah sedari tadi
menggigil. Foton-nya menabrak partikel-partikel yang dibawa kabut memendar
diangkasa. Berpendar ke segala arah seperti pedang-pedang cahaya. Di sebelah
kiri kami gunung. Di sebelah kanan pun gunung. Keduanya terjal. Dan sesaat lagi
salah satu dari mereka akan kami taklukkan pagi ini. Allahu Akbar ….!!!!
Materi
pertama dari Ust. Ismail Rajab, ST. Seorang pakar pergerakan dan Manajemen
dakwah kampus. Beliau menghabiskan sekitar 1,5 jam menyampaikan bagaimana LIDMI
dirintis di akhir tahun 90-an. Serta bagaimana pergerakan mahasiswa di era
rezim orde baru.
Satu hal
yang kami petik, “kita semua adalah aktivis. Seorang aktivis adalah orang yang
dapat hidup di manapun dan bagaimana pun kondisinya. Tidak ada batas yang dapat
menghambat gerakan seorang aktivis. Karena itu jadilah aktivis sejati”. Terakhir
kami ditantang untuk bisa hidup dengan hasil keringat sendiri. Singkatnya
itulah aktivis. Orang yang mampu berdiri di atas kaki mereka sendiri.
---------------
Setelah
berta’aruf dari LDK masing-masing, semua tim diberi waktu 60 menit untuk
membangun tenda, dan menyantap sarapan pagi mereka. Yang tentu, mereka harus
menyalakan api yang diperoleh dari ranting atau batang pohon kering di sekitar
mereka.
Semua MDK
dibagi. Dan mereka masing-masing mendirikan tenda. Terlihat asap
mengepul-ngepul ke angkasa. Ternyata itu adalah asap dari tungku api
masing-masing tim. Ada yang baru mencari kayu bakar. Ada yang sudah menanak
nasi. Ada pula yang baru membangun tendanya. Semua seperti para mujahidin yang
bergerilya melawan tentara musuh di daerah mereka. Tak lupa, suasana itu
diperlengkap dengan satu nasyid perjuangan. “Pemuda Kahfi”….Bangkitkan negeri… siapkan
generasi…. Pemuda harapan… tumbangkan kedzalimaaaann….”. Allahu Akbar !!!.
Sebuah suasana yang jarang kami dapati di kampus.
Satu jam
berlalu semua berkumpul. Ini diawali dengan pemanasan, yel-yel penyemangat dari
masing-masing tim dan persiapan mendaki.
Setelah
semua berbaris, semua dilepas dengan berbaris seperti sebuah pasukan semut.
Menuruni jalan menuju gunung yang akan ditaklukkan…
(bersambung
insya allah…)
-----------
[1] Ialah bulan Syawal, Zulkaidah dan
Zulhijjah.
[2] Rafats artinya mengeluarkan Perkataan
yang menimbulkan berahi yang tidak senonoh atau bersetubuh.
[3]
Maksud bekal takwa di sini ialah bekal yang cukup agar dapat memelihara
diri dari perbuatan hina atau minta-minta selama perjalanan haji.
[4] Unta yang kurus menggambarkan jauh dan
sukarnya yang ditempuh oleh jemaah haji.
[5] Sudah dipahami dengan baik
[6] Mujahid Dakwah Kampus
[7] Lingkar Dakwah Mahasiswa Indonesia
No comments:
Post a Comment