Abu Fath el_Faatih
Sepertinya, kemodernan
telah membuat formalisasi. Termasuk dalam memperoleh ilmu. Setelah orang berada
pada puncak kesuksesannya, dan menduduki posisi dalam suatu jabatan strategis
tertentu, justru mereka hanya menjadikannya sebagai sarana dalam menikmati
hidup.
Bagi mereka, itu
adalah hasil jerih payah yang harus untuk dinikmati. Menurut mereka, dalam fase
tertentu, mereka harus berjuang. Dan akan datang suatu masa di mana mereka akan
mendapatkan hasil dari jerih payahnya itu. Akhirnya setelah ia sampai pada
posisi tertentu, ia malah seperti menjadi hilang tujuan. Semua menjadi kesempatan
untuk dinikmati dan dirayakan. Maka dibuatlah acara-acara formal, dari tingkat
yang paling rendah sampai tingkat yang paling tinggi. Pertemuan itu seakan-akan
menjadi begitu sakral. Semua harus
berpakaian resmi, lengkap dengan jas dan mengenakan fasilitas mewah. Yang datang
dengan fasilitas murahan sepertinya minder dan merasa rendah. Sekalipun mungkin
ilmunya lebih tinggi. Para pemimpin bukan lagi menjadi pekerja dan pejuang
kebaikan bagi rakyat atau masyarakat yang dipimpinnya. Akan tetapi, jabatan
baginya adalah kekuasaan dan kedigjayaan. Karena demikian mereka akan memiliki
ketenaran dan popularitas. Demikian halnya kekayaan.
Ilmi bukan lagi
menjadi kebanggaan. Yang berilmu, jika tidak punya kedudukan atau posisi, tidak
akan dianggap kata-katanya. Kalimatnya sepertinya ringan di telinga para
pendengar. Adapun pejabat, mereka justru dihormati. Digelari karpet merah,
berkalung dan bertabur bunga dengan kedatangannya. Momentum seperti itu sangat
sarat dengan penampilan yang dibuat-buat. Dan itulah yang menjadi bagian dari
formalitas zaman ini.
Ya, zaman ini
saya sebut sebagai zaman formalitas. Zaman di mana orang berdasi dan berjas
dianggap lebih pantas untuk dihormati dibanding seorang bersurban dan
berpakaian kusut masai. Sekali lagi, meskipun ia lebih berilmu. Itu semua tidak
lain karena ilmu bukan lagi menjadi sumber kemuliaan. Mengapa ?. Karena
sebagian besar manusia adalah makhluq
yang jahil. Jahil agama dan ilmu dunia. Yang dinilai adalah ketenaran, dan
seberapa banyak anda diminati oleh masyarakat. Seberapa banyak anda tampil di
media. Persoalan ilmu itu belakangan. Yang penting anda tampil dengan banyak
gelar, meskipun itu diperoleh dengan sejumlah uang untuk membayar makalah, atau
buku ajar untuk dipelajari sendiri. Sarjana, tidak perlu lama cukup 1 tahun.
Jangankan satu tahun, tiga hari pun jadi. Yang penting tinggal siapkan uang pengganti
percetakan ijazah yang tidak masuk akal harganya, 10-20 juta. Demikianlah jika
ilmu sekarang sudah dikomersialkan. Yang penting sudah bergelar, urusan ‘isi’
nati belakangan.
Sayang. Ini
memang patut untuk kita sayangkan. Sebenarnya kita harus sedih, karena
tantangan zaman yang semakin keras, akan tetapi bekal ilmu tidak menjadi
prioritas. Ancaman degradasi akhlaq dan pergeseran nilai semakin besar, namun
semangat menuntut ilmu masih dalam angan–angan. Budaya ilmiah tidak dipegang
teguh oleh para intelektual. Orang-orang bergerak karena dorongan ekonomi. Itu
pun tidak didasari dengan prinsip-prinsip ilmu muamalah[1].
Sebuah program yang seharusnya menjadi pengarah masyarakat, justru disikapi
sebagai peluang dalam mengeruk keuntungan yang sebesar-besarnya. Perusahaan
jasa komunikasi dan pengelola informasi yang seharusnya membangun prinsip objektif
dalam mengelola berita, justru menjadikan ‘kebebasan finansial’ pemilik modal menjadi
prioritas utama. Dan tidak lain, karena merebaknya materialisme.
Aku muak dengan
formalitas. Perayaan-perayaan yang tidak berguna. Menghabiskan waktu, biaya
energi dan menyedot pikiran dalam energi besar, namun hasilnya hanya beberapa
saat terasa. Formalitas upacara, rapat, dan peringatan-peringatan apa pun yang
tidak berlandaskan pada kaidah ilmiah ilmu dan agama.
Karena memang
yang orang cintai sekarang adalah formalitas. Yang lebih dinikmati, dan disukai
hanya kulit, merek, brand, dan pack atau kemasan dan bungkus. Bukan isi.
Lihatlah produk-produk industry sekarang. Desain kemasan begitu menarik, sayang isinya ringan.
Bentuknya mungkin besar, tetapi besar karena mengembang. Tidak berbobot.
Untuk itu,
sekaranglah saatnya menjadikan patron ilmu sebagai standar kebaikan. Standar
kemuliaan dan penghargaan seseorang seharusnya dari ilmu yang dimilikinya. Seseorang
seharusnya dinilai, bukan dari apa yang dikatakan, tapi apa yang ia perbuat.
Seseorang dihargai karena berkah ilmu yang dimilikinya. Seseorang dimuliakan
karena wara’, dan rasa takut mereka yang besar kepada Allah azza wajalla. Bukan
karena jabatan dan kedudukannya. Kalau dengan kedudukan, maka setelah pemimpin
kita turun jabatan, ia tak lagi pantas dihargai.
Oleh sebab itu, saatnya
budaya ilmiah digulirkan. sudut-sudut kampus dipenuh-sesaki kajian. Saatnya
penjuru-penjuru sekolah sibuk dengan diskusi dan gema pengetahuan. Karena
masyarakat akan kokoh karakternya hanya dengan ‘kegilaan’ mereka terhadap ilmu.
Waktu, pikiran, tenaga dan biaya seluruhnya habis untuk ilmu. Sahabat Nabi
shallahu alaihi wasallam, Ibnu Abbas mengatakan : “Dahulu kami menuntut ilmu dalam
keadaan hina, namun setelah kami berilmu, allah memuliakan kami dengannya”.
Itulah sebabnya tiket
penyanyi terkenal laris-manis sampai 50-an ribu dengan harga melangit, sementara
kedatangannya masih berjarak 1 bulan. Adapun kedatangan seorang ustadz, syaikh
atau seorang ilmuwan sepi pengunjung, dari ta’lim, orasi ilmiah dan
seminar-seminar mereka. Kalaupun ada yang datang, hanya untuk menginginkan
sertifikatnya. Wallahu al musta’an.
Saatnya sudut-sudut
ruang kelas digemakan teriakan idealisme keilmuan, bukan teriakan yang sarat
doktrin yang menjajah pikiran. Karena ‘aktivisme’[2]
dibangun di atas tradisi ilmiah. Saatnya mimbar-mimbar ilmiah menggemakan suara
dan ajakan untuk mengkaji agama dan ilmu pengetahuan dari orang-orang yang
kapabel. Dari orang-orang yang terlihat keberkahan ilmu pada dirinya. Bukan
dengan titel yang panjang namun tidak punya produktivitas. Tidak berkontribusi bagi
masyarakat karena sibuk dengan proyek formalitas.
Akan tetapi, mungkin
malam ini, kita masih mendengarkan alunan-alunan musik remeh dan membuat
mental-mental kita menjadi pengecut, ciut tak bernyali. Tidur dan terbuai
dengan petikan-petikan gitar dari penyanyi-penyanyi bermoral buruk, dan diikut-ikuti.
Tapi dengan gerakan cinta ilmu, suatu saat kita akan melihat, konser-konser
musik tak lagi ramai. Karena yang ramai adalah majelis-majelis ilmu, sampai
berdesa-desak lutut di dalamnya. Hanya saja semua butuh perjuangan. Semua butuh
pengorbanan.
Jeneponto, 29 Mei 2012
21.05 Wita
Mengisi
waktu, mencari semangat di tengah pengaruh dunia yang hebat…..
mudah - mudahan kami terlepas dari perkara di atas...
ReplyDeleteINSYA ALLAH... BANYAK BERILMU DAN BERAMAL D.
ReplyDeletesubhanallah...
ReplyDelete