Abu Fath al Faatih
Mendudukkan
Problematika Bangsa
Jika kita memandang persoalan dari
setiap masalah bangsa, kita akan melihat krisis multidimensional. Utang yang
melilit leher rakyat, masalah KKN, serta problem disintegrasi bangsa serta
krisis akhlaq. Akan tetapi jika kita jeli melihatnya, persoalannya sederhana.
Masalah-masalah itu seperti kran-kran yang terus mengalirkan air. Ternyata jika
ditelusuri, semua kran tadi bersumber dari satu kran utama. Jika kran utama itu
telah ditutup, semua kran masalah tadi akan tertutup pula.
Ya, kran itu adalah kran aqidah. Persoalan keyakinan individual.
Persoalan yang membuat manusia tidak mampu melawan fitnah (cobaan) berupa
trilogy dunia (Baca: harta, wanita dan tahta). Sekiranya, mari kita bermimpi
bahwa suatu saat seluruh penduduk ini telah beriman dan memiliki aqidah shahih, maka tak perlu lelah
mengejar para koruptor. Tidak perlu letih meneliti kasus demi kasus. Bahkan
harus dibuatkan badan tersendiri untuk satu kasus tersendiri.
Itulah yang dilakukan oleh Rasulullah
Shallahu alaihi wa sallam. 13 tahun membina aqidah para sahabat. Sehingga di
periode madinah, muncul orang-orang yang memiliki integritas dalam menjalankan
tugas-tugas warga Negara dan sebagai hamba Allah.
Di zaman itu diriwayatkan seorang
wanita yang datang kepada Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam mengadu untuk
dihukum rajam karena berzina. Beliau menangguhkannya sampai
melahirkan. Setelah itu dengan sabar wanita ini menunggu masa kelahiran
anaknya. Setelah itu, ia kembali kepada Nabi Shallallahu alaihi wasallam. Akan
tetapi beliau kembali menangguhkannya, sampai ia selesai menyapih atau
menyusuinya. Bukan malah lari atau menghilang, wanita ini justru sadar akan
kesalahannya ia tetap sabar menyapih anaknya selama dua tahun. Setelah itu baru
ia mendapatkan hukumannya. Dapat dibayangkan seorang yang bersalah, dan tanpa
diawasi oleh intelijen, wanita ini
siap untuk menerima konsekuensi atas kesalahan yang diperbuatnya. Bukan hanya
itu, ia dengan sabar menanti keputusan Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam
atasnya. Disitulah puncak peradaban islam. Bukan pada dinasti Abbasiyah, atau
Turki Utsmani dengan cirri kejayaan luas wilayah kekuasaan dan kemajuan
masyarakat di bidang ekonomi. Bukan itu.
Yang penulis ingin tunjukkan adalah
kemampuan islam dalam mencetak manusia-manusia berkualitas. Karena itulah para
cendikiawan muslim mendudukkan periode madinah sebagai puncak keberhasilan
peradaban islam. Puncak kejayaan itu ada pada system yang berhasil membentuk
karakter masyarakat bertauhid. Masyarakat yang berakhlaq dan jauh dari
kesyirikan serta disintegrasi. Hal ini tepat dengan apa yang dijelaskan oleh
Allah Subhanahu wata’ala.
55.
Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang
yang beriman di antara kamu dan mengerjakan
amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa dimuka bumi, sebagaimana Dia
telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan
meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia
benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka dalam ketakutan menjadi
aman sentausa. Mereka tetap menyembahku-Ku
dengan tiada mempersekutukan sesuatu
apapun dengan Aku. Dan barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu,
maka mereka itulah orang-orang yang fasik.
Demikian gambaran Allah. Persoalan
kemakmuran, kekuasaan, keamanan dan kesejahteraan adalah anugrah. Ia adalah
hadiah dari Allah Subhanahahu wata’ala. Setelah syarat utama dari perjuangan
terealisasi. Ya, Mereka tetap menyembahku-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan
Aku, kata Allah selanjutnya.
Itu kuncinya, tauhid. Akan tetapi tidak boleh memaknainya sebatas persoalan
ibadah saja. Persoalan tauhid adalah persoalan yang melingkupi seluruh dimensi
hidup manusia. Orang malas beribadah, shalat, puasa, zakat intinya karena
aqidahnya lemah. Lemah keyakinannya dari janji syurga Allah. Itu pula yang
menyebabkan seseorang gampang terseret oleh tumpukan uang ketika memuluskan
satu tender proyek dan akhirnya berujung di KPK. Ini hanya contoh kecil, masih
banyak yang lain.
Kalau mereka adalah orang yang menolak
kapitalisme, justru setelah kampus, mereka-lah yang menjadi pengguna produk
kapitalisme. Kalau mereka adalah para penentang diktator, justru mereka-lah
yang tak berkutik ketika masuk ke sistem. Kalau dulu mereka adalah pejuang
dalam pemberantasan KKN, justru sangat ironi, pasca menerima jabatan, merekalah
pelakunya. Kalau dulu mereka adalah penentang kedzaliman, justru pascakampus
merekalah yang berbuat dzalim. Kalau dulu mereka adalah aktivis-aktivis
ideologis, justru pascakampus mereka hanya menjadi manusia-manusia
pragmatis-praktis. Kalau dulu mereka adalah penentang getol produk-produk
kapitalisme, justru pascakampus merekalah pengguna setia produknya.
Sungguh deretan pernyataan di atas
adalah sesuatu yang memilukan dada. Hanya dengan menghela nafas panjang yang
dapat melegakannya.
Atas dasar itulah upaya kerja nyata
yang diaktualkan sejak dini adalah tanggapan yang tepat. Sudah terlalu lama
kita membincang revolusi dan perubahan, toh kenyataannya umat, bangsa dan
negara belum juga keluar dari tempurung keterbelakangan.
Perjuangan adalah takaran mutlak
perubahan. Tapi ingat, dalam menggaris vektor perubahan, titik awal yang mesti
kita tentukan adalah ujungnya mengarah ke mana. Setelah jelas arahnya, maka
baru nilainya yang menyusul. Perubahan bukan hanya sekedar semangat. Kita
memang rindu akan hadirnya
pembaharu-pembaharu yang mampu memperbaiki kondisi. Akan tetapi bekal untuk
perjuangan itu bukan hanya kemauan, visi dan cita-cita. Ia harus dibangun di
atas kebijaksanaan seorang berilmu dan prinsip-prinsip itu harus menjadi patron
realisasi aksi menuju perubahan.
Dampak ketika tidak di atas petunjuk
dan bimbingan prinsip-prinsip ilmu adalah seperti apa yang kita lihat dari
berbagai media. Sangat memilukan, mahasiswa meneriakkan revolusi dan
memperjuangkan perubahan dan keadilan dan kebebasan. Namun, tepat pada saat
yang sama yang terjadi adalah kedzaliman.
Untuk itu, perlu dikaji ulang. Apakah hal tersebut adalah jalan atau solusi
terbaik dalam melakukan perubahan.
Sudah saatnya kita memfokuskan
perjuangan untuk membangun bangsa kita menjadi lebih baik dengan memulai dari
kampus. Mari kita lebih dulu membenahi masalah-masalah yang sangat dekat dengan
diri kita, sebelum melangkah ke wacana yang lebih besar. Misalnya, masalah
tawuran antar fakultas, masih adanya pungli
yang dilakukan senior terhadap juniornya. Bahkan yang paling memprihatinkan
bagi aktivis beragama Islam adalah masih terjadinya kesyirikan di dalam kampus.
Berkeliarannya wanita-wanita yang sengaja mempertontonkan aurat bahkan masih
banyak mahasiswa yang belum bisa baca tulis AI-Qur'an.
Oleh karena itu, fokus pergerakan yang
efektif dilakukan saat ini adalah dengan melakukan pembinaan terhadap
individu-individu mahasiswa agar terbentuk komunitas mahasiswa yang berakhlak
dan bertauhid murni. Sebagaimana gerakan Rasululullah Shallallahu alaihi
wasallam membentuk dan merubah arab jahiliyah saat itu.
Adapun pembinaan yang dilakukan adalah
dengan mengacu pada pembinaan Rasulullah, Muhammad Shalallahu Alaihi Wasallani.
"Sesugguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah teladan yang baik bagimu
(yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat
dan dia banyak menyebut Allah. " (Qs. Al-Ahzab: 21).
Khatimah
Di sesi akhri ini, penulis hanya ingin
menyatakan bahwa bangkitnya bangsa dan tegaknya sebuah peradaban tidak cukup
hanya dengan artikulasi ide dan pemikiran. Tidak cukup hanya dengan darah dan
peluh. Ia butuh kerja nyata. Tidak cukup dengan teriakan-teriakan idealis.
Solusi berikutnya adalah perlunya
patron nilai universal yang menjadi prinsip kompetisi yang diakui secara umum
oleh semua elemen yang ada. Patron dalam mengawal perubahan yang saya maksudkan
adalah budaya ilmiah di lingkungan kampus. Karena kita tidak bisa menutup mata,
budaya ini seakan telah tenggelam ditengah temperamental karena kondisi yang
labil dan semangat serta idealisme yang tak terkendali.
Oleh karena itu, gerakan mahasiswa
sepatutnya harus merevisi patron gerakannya untuk diarahkan dan dibangun di
atas prinsip-prinsip ilmiah, budaya ilmu dan diskusi, membaca dan menulis.
Budaya berpikir dan berdzikir, tadabbur dan tafakkur. Hingga akan muncul spirit
perubahan yang mengarah kepada perubahan berbasis paradigma tauhid.
Karena itu jangan pernah berharap akan
terjadi perubahan, jika ruh gerakan pembaruan LK atau mahasiswa adalah
budaya-budaya hasil warisan jahiliah. Perpecahan, perang, pertikaian,
anarkisme, apalagi ketika lingkar budaya itu telah menjangkau sampai radius
aktivitas-aktivitas sia-sia, seperti judi, miras dan pacaran. Jangan pernah
berharap. Sekali lagi saya katakan, sedikit pun jangan pernah berharap !!!.
Jangan pernah memimpikan perubahan
jika budaya itu masing-masing melingkupi aktivitas-aktivitas kita, dan budaya
ilmiah belum menjadi nilai yang dijunjung tinggi dalam realisasi idealisme
mahasiswa. Perubahan itu tidak hanya dibawa dengan batu dan darah, tapi
perubahan itu dibawa dengan kecintaan terhadap tradisi ilmu, tinta dan peluh.
Karena yang kita ingin bangun kembali adalah peradaban yang telah lama hilang.
Sebuah peradaban warisan generasi terbaik manusia. Diletakkan pada wahyu ilahi
yang paling pertama turun yang mampu mereformasi peradaban hingga memimpin 2/3
belahan dunia. Wahyu yang mengawal transformasi peradaban yang menjadi anugrah
dari Allah, hingga menguasai sebagian besar daratan Eropa, Asia dan Afrika
selama kurang lebih 700 tahun.
Bacalah, dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang
menciptakan (QS Al-‘Alaq:1)
Ya, wahyu inilah yang saya maksud
(Wallohu ta’ala a’lam).