Syamsuar Hamka (Penulis buku Api Tarbiyah)
Jatuhnya rezim Soekarno ternyata adalah awal ‘Dinasti’
terlama yang dirajai oleh Soeharto dalam sejarah panjang perpolitikan di
negeri ini. Salah satu wajah pemerintahan Orba adalah pers yang ‘dikekang’.
Suara perjuangan hak-hak rakyat hanya bisa dilakukan pressure group.
Rezim Soeharto merambah segala lini kehidupan. Hampir seluruh
panggung birokrasi dikuasainya lewat dwifungsi ABRI-nya. Orde Baru tidak memberi harapan pada gerakan
Islam Indonesia. Tekanan dan tindakan represif terhadap umat Islam jusrtu semakin
kuat. Umat Islam mengalami marginalisasi.
Dalam kondisi seperti itu, ada kelompok yang masih memegang teguh
idealisme dan perjuangan menegakkan keadilan. Kelompok itu adalah mahasiswa.
Dalam ‘Malu Aku Jadi Orang Indonesia’ (MAJOI), Taufiq Ismail mengabadikan gambran
sejarah itu dalam penggalan bait puisinya,
Mahasiswa takut kepada dosen
Dosen takut kepada dekan
Dekan takut kepada rektor
Rektor takut kepada menteri
Menteri takut kepada presiden
Presiden takut kepada mahasiswa
Sebuah siklus ‘ketakutan’ dan pengaruh. Karena itu gerakan
mahasiswa memiliki kesatuan langkah yang tepat saat masa orde baru. Mereka
merasa senasib sepenanggungan. Musuh mereka satu, Tirani.
Masa orde baru, adalah masa spirit keberislaman yang kuat di
kalangan gerakan mahasiswa. Akan tetapi, tema – tema umumnya belum begitu
mendalam dan berdiferensiasi dalam berbagai kajian fiqh. Pada saati itu pun, fikrah
dan manhaj ‘salaf’ belum begitu populer di kalangan mahasiswa. Karena memang,
alumni timur tengah masih bisa dihitung jari.
Saat itu adalah masa dimana masih kuatnya ghirah dan semangat untuk
belajar dan mengamalkan agama. Tokoh-tokoh yang ada saat itu belum
mendiferensiasikan pikirannya ke dalam satu bentuk gerakan tertentu.
Berawal dari keprihatinan terhadap dakwah di kampus, Ulama
Negarawan bangsa, Dr. Mohd. Natsir kemudian bergerak melakukan dakwah secara
pelan – pelan di kampus.
Sangat terkenal, dari pemikiran beliau ada tiga elemen yang disasar
untuk membangun kembali dakwah islam. Hal yang kemudian beliau sebut sebagai tiga
pilar. Yang pertama adalah masjid, kedua pesantren, dan yang ketiga adalah
universitas atau kampus.
Akhirnya, Mohd. Natsir menggagas konsep ‘Keterpaduan Masjid, Kampus
& Pesantren’ sebagai poros kekuatan untuk kebangkitan umat Islam Jika mampu
dipadukan, maka ia bisa menjadi modal utama dalam pembinaan umat dan
pembangunan masyarakat di segala bidang. Pada saat itu-lah lahir PPMS Ulil
Albab UIKA bogor menjadi Pondok Pesantren Pertama di Indonesia yang
ber-santrikan mahasiswa dan sarjana.
Di zaman orde lama hingga orde baru, entitas islam sangat
di-diskriminasi. Semangat keislaman sangat lesu. Tidak ada simbol dan
tanda-tanda bangsa Indonesia adalah negeri dengan penduduk muslim terbesar di
dunia. Padahal menurut data yang diturunkan oleh forum.detik.com menunjukkan
jumlah penduduk muslim Indonesia sebanyak 182.570.000 orang, di atas Pakistan
yang berjumlah 134.480.000 orang dan India, 121.000.000 orang.
Dari kegelisahan melihat realitas sosial yang tidak
mengimplementasi amar-makruf nahyi mungkar maka Pak Natsir melakukan gerakan
terencana dalam bingkai dakwah.
Menurut penuturan KH. Syuhada Bahri (Ketua Umum DDII), “Pak Natsir
memulai ide mengislamkan (mendakwahkan islam -di-) kampus dengan memasukkan Kiyai-Kiyai
dari pesantren sebagai pengajar atau dosen agama di beberapa universitas di
Jawa. Harapannya akan ada transfer ilmu dari mereka kepada mahasiswa. Sehingga
dengan pelan mahasiswa akan dekat dan mengenal agamanya. Akan tetapi berjalan
beberapa tahun, ternyata hampir tidak ada mahasiswa yang diajar sesuai dengan
yang diharapkan. Mereka belajar agama, tapi tidak punya ghirah keislaman” .
Akhirnya, lewat perenungan yang panjang Pak Natsir membalik
metodenya. Beliau mengumpulkan beberapa dosen terbaik dari ITB, UI dan UGM
untuk dibina keilmuwan keislamannya akhirnya muncullah pengkaderan PHI
(pelatihan Islam). Hal itu adalah upaya mengimplementasi gagasan ‘Keterpaduan
Masjid, Kampus & Pesantren’. Melalui Dewan Dakwah, Program diberi nama
‘Pengkaderan PHI’: Pelatihan Islam untuk para dosen pengajar mata kuliah agama
Islam, diselenggarakan di Gedung Panitia Haji Indonesia, tahun 1968.
Lebih lanjut KH Syuhada Bahri mengungkapkan, “ternyata pola ini
lebih efektif. Akhirnya hasil dari pelatihan ini setelah mereka kembali ke
kampus, lebih giat mengajarkan agama. Bahkan mereka lebih dikenal sebagai dosen
agama daripada dosen ilmu umum”.
Program yang kedua adalah Bina Masjid Kampus (membangun masjid dan
pesantren di (sekitar) kampus), tahun 1974. Diharapkan lewat program ini,
mahasiswa-mahasiswa di sekitar kampus ‘ditarik’ untuk dibina dalam program
masjid sehingga terbentuk fikrah keislamannya. Selain itu Masjid yang beliau
bangun pun tidak hanya di sekitar kampus, bahkan sampai dekat Asrama Brimob.
Akhirnya TNI-pun banyak yang terbina pemahamana keislamannya. Meskipun pada
akhirnya ada pimpinan yang membangun masjid tandingan di dalam asrama sehingga
prajuritnya tidak lagi aktif di masjid yang dibangan Pak Natsir.
Dari dua kegiatan ini muncul tokoh-tokoh pembina perintisan dakwah
kampus; Ahmad Sadali, A.M. Luthfi, Endang Syaifuddin Anshari, Rudy Syarif
Sumadilaga, Yusuf Amir Feisal, Akhmad Noe’man, Imaduddin ‘Abdurrahim, Amien
Rais, Kuntowijoyo, M. Mahyudin, Daud Ali, Nurhay Abdurrahman, Halidzi,
Abdurrahman Basalama, A.M. Saefuddin dan Abdul Qadir Djaelani. Selain itu, ada
nama Halide yang kini menjadi Guru Besar ternama dari Indonesia Timur.
Gagasan ‘Keterpaduan’ diteruskan Bang ‘Imad (Imaduddin) dengan
membuat training bernama Latihan Mujahid Dakwah (LMD) di Masjid Salman ITB dan
diikuti berbagai kampus, tahun 1974. LMD bisa dianggap sebagai bentuk
kekecewaan terhadap model kaderisasi HMI. Termasuk ‘perbedaan’ pemikiran Bang
‘Imad dengan Nurcholis Madjid. Materi LMD berasal dari pemikiran tokoh Masyumi;
totalitas ajaran Islam (syumuliah); tauhid; keterpaduan antara keislaman
& keilmuan, qauliyah & kauniyah; Islam sebagai way of life. LMD
mampu merubah kepribadian pesertanya. Bangga dengan Al-Quran, akhlak,
kebersihan, ukhuwah dan ‘anti rokok’. LMD sebagai ‘pesantren’ merupakan
pelengkap kehadiran tiga unsur keterpaduan. Pola LMD diikuti oleh dakwah kampus
yang lain, yang kemudian menumbuhkan Dakwah Kampus. Sebuah gerakan yang dikenal
istilah islamisasi kampus. Dampaknya, hingga sekarang LDK telah berkembang di
berbagai kampus – kampus umum. Bahkan tak jarang , banyak mahasiswa jurusan
umum yang terkadang lebih ‘islami’ dari mahasiwa kampus islam itu sendiri.
Hinggi kini, tak bisa dipungkiri, Lembaga Dakwah berdiferensiasi dalam berbagi
macam bentuk gerakan dan fikrahnya.
Lembaga
Dakwah Kampus di Makassar
Di bagian timur Indonesia juga turut terpengaruh dari kesadaran
secara nasional untuk memperbaiki kondisi umat. Meskipun sepertinya terlambat,
sekitar 10 tahun kesadaran dakwah kampus baru dimulai setelah geliat dakwah
kampus dibagian barat indonesia. Akhir tahun 80-an bermunculan tokoh yang
merupakan kader-kader dari Muhammadiyah. Gerakan pembinaan dari kampus terus
berlangsung hingga memasuki awal tahun 90-an.
Tahun ini sangat kuat dominasi phobia terhadap simbol-simbol
keislaman. Mahasiswa atau pun pelajar sangat mendapat tekanan jika didapati
mengenakan jilbab. Seorang mahasiswi Jurusan Sejarah FPEIS IKIP UP (sekarang
UNM) mengaku sangat mendapat tantangan dari para dosennya. Saat itu ia sangat
konsisten dalam mengenakan jilbabnya. Saat jilbab kecil pun saat itu masih
sangat asing, ia telah mengenakan jilbab besar hingga menutupi bagian lututnya.
Berulang kali ia diancam, bahkan sampai pada penahanan nilai mata kuliah sampai
pada proses PPL (Program Pengalaman Lapangan) dalam mengajar disekolah ia
sempat tersendat. Akan tetapi, Karena kuatnya pembinaan saat itu, ia tetap
konsisten dengan keyakinannya.
Era
Reformasi
Fase ini, dakwah mengalami diferensiasi. Benih-benih pemikiran
mulai berkembang menjadi tunas yang tumbuh membentuk frame gerakan tertentu.
Gerakan islam berdiaspora menurut ideologi tersendiri dan ditandai dengan
Pembentukan bebagai macam lembaga dakwah baik ekstra maupun intra-kampus. Iklim
kebebasan pun sangat terasa.
Mahasiswa tidak lagi dikenal dalam satu bentuk perjuangan tertentu
(baca:tujuan). Akan tetapi sudah berbilang dan memosisikan diri dalam metode
dakwah mereka masing-masing. Gerakan pecah dalam berbagai macam sudut pandang
(baca: khittah) dalam mengatasi persoalan yang ada. Pada saat yang sama,
mahasiswa kian menurun tingkat popularitasnya karena keyakinan masyarakat
semakin menurun. Itu ditandai dengan banyaknya masyarakat yang bahkan melawan
mahasiswa saat turun aksi karena dipandang merugikan.
Bahkan kepercayaan terhadap jalan melawan kedzaliman melalui aksi
dan unjuk rasa dalam konteks dan pemikiran beberapa aktivis kampus kini mulai
memudar. Salah satu diantaranya adalah Bahagia, Presiden Mahasiswa Universitas
Batanghari Jambi. Ia mengatakan ‘Turunnya teman-teman ke jalan terkadang bukan
lagi menjadi solusi. Terkadang kita lebih baik berunding dan aspirasi sampai
dan diterima, daripada mengerahkan massa yang banyak namun ternyata tidak
diperhatikan oleh birokrasi.” Itu juga diakui oleh mahasiswa yang hadir dalam
pertemuan BEM Nasional di Makassar dalam buku “Merebut Kembali Kedaulatan Pendidikan
Tinggi”. Sebuah antologi hasil dari pertemuan BEM di UNM Makassar tahun 2012.
Salah satu diantara penyebabnya adalah iklim keterbukaan telah
dirasakan oleh seluruh elemen bangsa. Semua masyarakat telah dapat menyuarakan
aspirasinya. Itu dikarenakan media telah mendapat posisinya sebagai penyampai
ide dan gagasan yang beredar di tengah masyarakat. Bahkan sudah sampai pada
keluarnya UU tentang kemerdekaan pers yang menjamin hak dan independensi
pengelolaan dan penyaluran informasi.
Perhatian publik justru lebih banyak tersedot pada penyelenggaraan
pemerintahan. Sementara gerakan mahasiswa mencapai stagnasi. Terkadang hanya
dalam isu-isu penting, baru mahasiswa terlihat di media. Beberapa di antaranya
adalah BHP dan kenaikan BBM.
Gerakan ideologis mahasiswa memudar dan kemampuan membangun
jaringan, komunikasi dan keberanian mahasiswa semakin berkurang. Yang justru
semakin melanda adalah maraknya budaya permisif dan hedonisme akibat ‘gempuran’
informasi yang terus menggerus ideologi mahasiswa. Menjamurnya
kegiatan-kegiatan yang hanya dilandasi motif ekonomi di kampus. Merebaknya
budaya konsumtif dan semakin terpengaruhnya mahasiswa pada media yang
menawarkan kesenangan melalui acara-acara sinema dan hiburan.
Iklim kehidupan kampus juga semakin berubah dari suasana kajian
ilmiah ideologis menjadi budaya hura-hura. Karya-karya mahasiswa yang dulunya
sarat akan muatan ideologis kini sudah menjadi pragmatis. Dulu karya mereka
sarat akan pesan-pesan sosial dan kemanusiaan, ternyata sekarang telah
dijangkiti penyakit permisif. Ideologi kapitalis-materialis merebak. Dahulu
masyarakat mengenal saluran perjuangan ideologis melalui sastra seperti puisi
dan novel. Dari Kumpulan Puisi Chairil Anwar hingga Taufik Ismail
memperlihatkan nuansa perjuangan dan kritik sosial. Begitu pula dalam bidang
musik seperti karya Iwan Fals dan Ebiet G. Ade, yang ber-genre kritik sosial.
Sementara sekarang yang terkenal adalah ‘sastra madzhab selangkangan’, hingga
lagu-lagu permisif (baca: ‘cinta satu malam’, ‘Jablay’, dan lain-lain) yang
mengumbar syahwat dengan alasan kebebasan berekspresi. Padahal alasannya karena
memanfaatkan peluang pasar. Benar, bahwa kapitalisme dan Liberalisme sudah
sudah mempengaruhi iklim kehidupan di kampus.
LDK,
Islam dan Indonesia
Pemaparan di atas sebenarnya ingin menunjukkan bahwa antara lembaga
dakwah kampus, islam dan Indonesia tidaklah biisa dipisahkan. Tujuan dari
kehadiran LDK adalah untuk melakukan islamisasi dalam ranah kampus, tanpa
menghilangkan identitas keindonesiaan. Sehingga ungkapan – ungkapan untuk
menjustifikasi beberapa LDK sebagai gerakan ‘transnasional’ ini perlu
dipertanyakan. Atas dasar apa justufikasi tersebut.
Patut untuk diperhatikan ketika Prof. Din Syamsuddin mengungkapkan
istilah gerakan Transnasional. Ketua Dewan Penasehat MUI Prof Dr Din Syamsuddin
MA menyatakan, bahwa di era globalisasi seperti saat ini, munculnya
gerakan-gerakan keagamaan yang mengglobal, seperti Hizbut Tahrir dari Jordania
atau Ikhwanul Muslimin dari Mesir, adalah sesuatu yang tak terelakkan. Lebih
lanjut, beliau mengatakan, gerakan-gerakan seperti itu oleh kalangan tertentu
sering disebut sebagai gerakan transnasional. “Tak salah (transnasional itu)
sebagai istilah,” kata dia. Yang salah
adalah ketika istilah itu diasosiasikan pada kelompok tertentu, dalam bentuk pejoratif,
maka seolah-olah antinasionalis—yang dalam konteks Indonesia disebut anti-NKRI.
“Itu menurut hemat saya kerancuan nalar”, tegas Din Syamsuddin. (lihat: https://www.pwmu.co/25269/2017/02/ini-kata-din-syamsuddin-tentang-gerakan-gerakan-keagamaan-transnasional/)
Bahkan menurut beliau, Tidak hanya wajah gerakan islam, agama
justru adalah hampir semuanya adalah agama transnasional. Sebab Islam datang
dari Arab yang dibawa masuk ke Indonesia. Adalah sangat naïf, jika
mengatakannya Islam ‘Diimpor’ dari Arab!. Demikian halnya Kristen, baik
Protestan dan Katolik yang masing – masing di bawah oleh Misionaris Belanda dan
Protugis.
Membagi secara diametral LDK dengan istilah Keindonesiaan dan
Transnasional bisa jadi justru membuat sebuah pemahaman baru yang cenderung
memainkan istilah ‘peyoratif’, seperti kata Din Syamsuddin di atas. Justru
seharusnya, LDK – LDK yang ada harus bahu – membahu untuk membangun negeri ini.
Mengisi kemerdekaan dengan prestasi dan karya, serta kerja yang nyata.
Istilah LDK Keindonesiaan pun masih perlu ditafsir lebih jauh.
Secara epistemologik, apa yang dimaksud dengan LDK Keindonesiaan ?. Jangan –
jangan ini adalah kelanjutan dari sebuah upaya untuk mempertentangkan islam dan
Indonesia. Sebuah upaya untuk membuat narasi tandingan yang menyatakan bahwa LDK
yang membawa Ideologi dari luar adalah anti Kebinekaan. Pada akhirnya, sama
dengan narasi yang dibangun ketika Aksi 411
dan 212 terjadi. Mereka yang menuntut keadilan, justru dianggap tidak
bineka. Sementara di kubu yang lain, mereka merasa dia-lah yang paling
Indonesia. Sebaiknya mari kita merenungi Qur’an. Walaa Tuzakkuu Anfusakum,
Huwa a’lamu bimanittaqaa, dan janganlah menganggap diri kalian suci,
Dia-lah yang paling mengetahui siapa yang paling bertakwa. Dan jangan-lah
merasa diri kalian paling Indonesia, sementara yang lain sama sekali tidak
Indonesia.
Persoalan yang lain adalah, ketika yang dianggap yang paling
Indonesia adalah gerakan – gerakan yang mendasarkan ideologinya pada pemikiran
– pemikiran Nurcholis Madjid dan Harun Nasution. Justru penulis ingin bertanya
?. Apakah pemikiran Cak Nur adalah murni digali dari Bangsa ?. Ataukah
pemikiran – pemikirannya, seperti yang tertuang dalam Islam Ditinjau Dari
Berbagai Aspeknya, adalah murni berasal dari Indonesia itu ?. Ataukah ide –
ide semacam itu diperoleh pasca studinya di Mc Gill, Kanada ?. Ide Pluralisme
Agama, justru dicetuskan oleh Fritjof Schuon, seorang Orientalis berkebangsaan
Swiss.
Sepertinya Ide – ide dan wacana – wacana yang mengaku Paling
Indonesia, perlu diuji kembali. Wallohu a’lam bi ash-Showab.
No comments:
Post a Comment