Syamsuar Hamka
(Kadept. Kastra PP LIDMI)
Suatu hari di masa depan, kita akan menceritakan
pada anak cucu kita betapa negara ini nyaris tercerai-berai bukan karena bom,
senjata, peluru, atau rudal, tapi karena orang-orangnya saling mengunggulkan
bahkan meributkan warisan masing-masing di media sosial.
Ketika negara lain sudah pergi ke bulan atau merancang teknologi yang memajukan peradaban, kita masih sibuk meributkan soal warisan.
.
Kita tidak harus berpikiran sama, tapi marilah kita sama-sama berpikir.
Ketika negara lain sudah pergi ke bulan atau merancang teknologi yang memajukan peradaban, kita masih sibuk meributkan soal warisan.
.
Kita tidak harus berpikiran sama, tapi marilah kita sama-sama berpikir.
------------------------------------------------------------------
Kutipan di atas, adalah potongan status viral yang ditulis oleh seorang siswa
yang baru saja menamatkan SMA-nya di Gambiran, Jawa Timur. Afi Nihaya Faradisa,
sebuah nama pena dari Asa Firda Inayah. Ia menjadi terkenal disebabkan
tulisannya tentang pendidikan pada hari Pendidikan tahun lalu. Tulisan itu
dianggap melampaui daya pikir seorang anak SMA. Hingga tak jarang kita temui
komentar orang tua di beberapa status facebooknya, “Nak.. pikiranmu dewasa
sekali. Banyak orang dewasa gak begini cara berpikirnya”.
Sosok Afi kemudian dielu-elukan, sebab ia membawa pesan yang sangat
tajam terhadap berbagai pandangan di negeri ini. Ia dianggap pantas untuk
diangkat menjadi seorang ikon dalam meyuarakan persamaan dan kesetaraan serta
penjuang ideologi kebangsaan. Baru-baru ini ia ceramah di acara Car Free Day
Jakarta, dan kemudian diundang menjadi pembicara setelah diundang oleh rektor
Universitas Tribhuwana Tunggadewi Malang untuk berbicara di depan para profesor
dan perwakilan Badan Eksekutif Mahasiswa se-Jawa timur.
Apa
Yang Perlu Dipermasalahkan ?
Sebenarnya status tersebut memang kontroversial. Sebab momentumnya
setelah Pilkada DKI. Dimana tensi politik belum reda dan isu-isu tentang
kebhinekaan masih menyebar di sana-sini. Status tersebut banyak memancing
komentar yang tak jarang negatif. Bahkan hampir menyulut boikot dan tuntutan
umat islam sebagaimana Perusahaan Sari Roti, serta komika kawakan, Ernest
Prakarsa.
Lalu, bagaimana seharusnya tanggapan terhadap isi status tersebut.
Tentu kita sudah banyak membaca balasan dari beberapa orang. Sebutlah Gilang
Kazuya Shimura yang menasihati Afi. Begitupula tulisan dr. Raehanul Bahraen di
situs muslim.or.id dan beberapa tulisan lain.
Beberapa hal yang dipermasalahkan adalah, Tentang Agama, apakah ia
warisan (dari orang tua dan lingkungan), tentang justifikasi Kafir, tentang
Kitab Suci yang dijadikan Dasar Negara, dan beberapa persoalan lain.
Setelah penulis dalami, beberapa bantahan dan nasihat itu kemudian dijawab
kembali olehnya dalam sebuah status yang baru, “Cara Agar Hidupmu Damai di
Negeri Ini”. Dalam status terbaru itu, yang diposting 22 mei, Pukul 19.37 WIB, ia
menjawab tanggapan-tanggapan secara umum. Berikut potongannya.
Belakangan ini seorang anak telah membuktikannya. Entah berapa ribu
kali pesan penghakiman telah dilontarkan orang. Entah berapa ribu kali ia
dikatakan tidak pernah ngaji atau tidak berpihak pada agama yang ia anut dengan
keputusannya sediri.
Ia memaparkan pandangan universal yang dipahami oleh semua
agama, sedangkan beberapa orang memberi tanggapan dan tandingan hanya dengan
menggunakan perspektif yang berasal dari keyakinannya sendiri. Dimana
nyambungnya?
Beberapa
Indikasi Pandangan Afi
Setelah membaca, dari beberapa
status Afi memang cukup kontroversial. Sebab ujaran-ujaran yang dilontarkannya
sangat menyinggung sisi keislaman seseorang. Pemikiran-pemikirannya persis
dengan apa yang dipromosikan oleh orang – orang JIL, yang menempatkan semua agama
dalam perspektif yang setara. Agama diletakkan sejajar. Dan bahwa kebenaran ada
pada setiap agama. Sehingga merasa benar sendiri, kemudian mengungkapkan
panggilan kafir kepada umat beragama yang lain, adalah sumber permasalahan
dalam kerukunan umat beragama. Dalam pandangan yang lebih jauh, agama justru
dianggap menjadi sumber perpecahan. Sebab semua orang dengan agamanya
masing-masing, menganggap ia-lah yang paling superior dalam kebenaran.
Kebenaran hanya miliknya, dan setiap agama di luar agamanya, tempatnya di
neraka.
Menurut mereka, - termasuk Afi- inilah sumber yang mengacaukan
kedamaian di negeri ini. Sehingga kita akan sering mendengar ucapan bahwa,
“betapa banyak nyawa melayang karena masalah agama”. “berapa banyak darah yang
tertumpah karena perang atas nama agama”. Ini adalah persoalan sosial dari
agama. Agama dianggap sebagai sumber perpecahan, dan tidak lagi sebagaimana
visi awal dalam makna terminologisnya. A, tidak. Gama, Kacau. Tidak Kacau. “Kita
kehilangan sisi kemanusiaan”, kata Afi. Sebuah ujaran yang lahir dari pandangan
humanisme.
Salah satu pemikir yang konsisten
memperjuangkan humanisme adalah Mohandas Karamchand Gandhi, atau yang lebih
dikenal dengan Mahatma Gandhi. Ia kemudian menjadi simbol perlawanan tanpa
melawan. Perlawanan terhadap keserakahan akan kekuasaan yang mewujud dalam perang
yang berkepanjangan dan menghabiskan jutaan nyawa selama periode Perang Dunia I
dan II. Ia melakukan perlawan dengan mengajak pengikutnya untuk melakukan
protes dengan unjuk rasa diam. Ia mengusahakan untuk menyebarkan pesan
kedamaian dengan kesunyi-senyapan.[2]
Humanisme adalah ajaran tentang
kemanusiaan. Dalam bukunya, Corliss Lamont, The Philosophy of Humanism,
ia menulis bahwa salah satu pandangan Humanisme adalah menyandarkan iman
tertingginya pada manusia. Dan bahwa manusia memiliki kemampuan untuk
menyelesaikan seluruh persoalan yang mereka hadapi utamanya melalui akal dan
penerapan metode ilmiah dengan keteguhan dan impian. (Humanism, having its
ultimate faith in humankind, believes that human beings possess the power or
potentiality of solving their own problems, through reliance primarily upon
reason and scientific method applied with courage and vision)[3]
Sehingga Humanisme adalah berupaya
untuk memusatkan manusia sebagai problem solver dari setiap persoalan
apa pun. Setiap persoalan, manusia mampu untuk menyelesaikannya tanpa
melibatkan unsur – unsur dari luar dirinya. Artinya secara sosial, Humanisme
meyakini bahwa manusia sebenarnya mampu menyelesaikan apa pun dari segala macam
persoalan yang mereka miliki dengan dasar kemanusiaan itu sendiri.
Implikasinya, agama dan keyakinan – keyakinan lain, tidak perlu dijadikan
sebagai alat pemecah solusi, sebab manusia punya kemampuan sendiri.
Upaya itu, tentu adalah cara untuk
memisahkan agama dari manusia. Sehingga Humanisme juga bertalian erat dengan
Sekulerisme. Selain itu, menempatkan manusia sebagai pusat dari semua persoalan
di dunia kini, setelah melepaskannya dari agama dan tuhan berarti menjadikan
manusia sebagai Tuhan dan menurunkan derajat Tuhan sebagai manusia. (Memanusiakan Tuhan, menuhankan manusia).
Akibatnya, pandangan agama dianggap
sebagai pandangan subjektif. Riwayat riwayat agama adalah riwayat – riwayat
yang dalam pandangan humanisme masih dianggap sebagai asumsi. Sebab argument –
argumennya sepenuhnya bersandar pada iman. Bukan pada rasionalitas.
Manifesto Humanisme di Amerika Selatan pada 7 Mei 2005
mendeklarasikan kembali lagu-lagu Yunani “Humans are the measure of all
things". Jika pluralisme agama memindah pusat orbit dunia agama (world
of religion) kepada satu Tuhan, humanisme memindahkan orbit segala sesuatu
dari Tuhan kepada manusia. Tuhan bukan lagi pusat dan ukuran segala sesuatu.
Salah laku dalam hal seks, lesbi, homo, kawin cerai, bunuh diri, aborsi,
eutanasia dan lain-lain kini tidak lagi diukur dari agama. "Baik buruk”,
kata Betrand Russell yang ateis itu, “adalah kualitas milik obyek yang terpisah
dari opini kita.” Sebab, ukuran moral adalah obyektif bukan subyektif atau
normatif.
Sehingga kita dapati, Takbir yang diikuti dengan menjotos hidung
sampai berdarah adalah kekerasan, menurut humanisme. Tapi mutilasi tanpa takbir
dianggap tindak kriminal biasa. Merazia tempat maksiat dengan takbir demi nahi
munkar melanggar HAM. Tapi, razia polisi demi keamanan dan tanpa takbir adalah tindakan
yang sah dan diakui. Artinya “jangan bawa-bawa agama untuk kemanusiaan, apalagi
berbentuk kekerasan”. Agama tidak boleh dijadikan sebagai dasar Negara. Sebab
agama adalah urusan privat. Urusan anda dengan tuhan Anda. Agama dipasung agar
tidak masuk ke ranah publik dan pada saat yang sama humanisme diusung agar
menjadi agama publik. Ukuran moralitas bukan agama tapi publik. Moralis tidak
harus religius. Seorang bisa menjadi bermoral tanpa Tuhan dan tanpa Agama.[4]
Menurut mereka, tidak boleh seseorang pun menjadi Tuhan untuk
menghakimi ajaran di luar agamanya. Tetapi saat yang sama, ia juga telah
menghakimi pandangan semua agama. Pandangan Humanisme diangkat sebagai
pandangan yang universal. Dan agama adalah subjektif. Pandangan agama bersifat
lokal dan sektarian, sedangkan humanisme, global dan universal. Saat ia menuduh
agama adalah ajaran yang hanya berlaku untuk orang yang meyakininya, ia juga sedang
memaksakan bahwa humanisme-lah yang berlaku umum untuk semua umat manusia. Saat
ia mempromosikan bahwa “jangan merasa benar sendiri dengan agama anda”, pada
saat yang sama, ia juga mempromosikan, “Ungkapan saya inilah yang seharusnya
anda terima sebagai kebenaran!”. “Pikiran keagamaan anda berlaku untuk anda,
sedangkan pikiran saya berlaku untuk semua orang. Tanpa memandang agama apa
pun”.
Padahal, Islam adalah ajaran universal. Wa arsalnaaka linnaasi
Rasuulan (QS. An-Nisa: 79). Islam adalah agama untuk umat manusia. Sehingga
disinilah problem utama pemikiran Afi. Ia telah melepaskan cara pandang
islamnya, menggunakan cara pandang barat-sekuler. Ia adalah seorang muslimah
yang berjilbab, namun pemikirannya mengkritik islamnya sendiri. Sebuah
manifestasi yang telah diwanti-wanti oleh Prof. al-Attas sebagai The Loss of
Adab.
Hilangnya
Adab; Problem Pendidikan
Fenomena
Afi adalah salah satu dari deretan fakta yang lain tentang problem pendidikan
bagi warna negara muslim. Setiap warga dididik menjadi warga negara demokratis
dan toleran, namun dibekali dengan pemahaman agama yang sangat minim. Sehingga
sistem pendidikan kita secara sosio-kultural telah melepaskan peran agama
sebagai jatidiri dan ruh pendidikan.
Persoalan yang diungkapkan oleh Prof. al-Attas sebagai The Loss
of Adab (hilangnya adab) adalah benar. Sebab alumni – alumni sekolah dan
perguruan tinggi tidak memperoleh akses terhadap tsaqafah islam yang baik
kepada agamanya. Mereka dibebani 140 SKS tentang ilmu umum di Universitas
selama empat tahun, namun hanya 2 SKS Mata Pelajaran Agama. Sebuah Ironi negara
muslim!.
Adab adalah kata kunci dalam pendidikan seorang muslim. Sebelum ia
belajar ilmu, ia harus ‘mati-matian’ belajar adab. Sebab ilmu tidak akan cukup
membentuk kesempurnaan jiwa seseorang. Adab-lah yang membentuknya. Sebab pengetahuan
tanpa pemahaman akan makna akan menjadikan manusia menjadi makhkluk dualistis.
Beda penampakan dan isinya.
Boleh jadi ia shalat lima waktu, berdzikir pagi sore, puasa senin
kamis dan tilawah al-Qur’an khatam dalam sebulan. Namun saat yang sama, ia
menabung dan bertransaksi di Bank Ribawi dan menolak pemimpin Muslim. Boleh
jadi IPKnya nyaris sempurna, namun Durhaka terhadap orang tua. Boleh jadi lulus
ujian Nasional, tetapi tidak bisa lulus ujian kehidupan.
Sehingga, pendidikan yang benar seharusnya diarahkan pada
pengarahan keprbadian yang utuh dan komprehensif. Tidak dualistik dan tidak
holistik. Mendidik akal, tapi tidak mendidik jiwa.
Dampak hilangnya adab adalah kekacauan dalam menentukan letak dan
posisi sesuatu dalam islam. Tuhan dijadikan manusia, dan manusia dijadikan
tuhan. Agama dilokalisir, humanisme di-universalkan. Ilmu tauhid, tafsir,
hadits dan fiqh, disejajarkan dengan ilmu patung, ilmu gendang dan terompet,
serta ilmu tari. Padahal menurut al-Attas, semua punya tempat yang sudah final
letaknya. Kekacauan ilmu yang merupakan hasil dari hilangnya adab akan merusak
sistem dan tatanan keyakinan yang mendasar tersebut dalam islam.
Karena itu, al-Attas menyatakan bahwa
pendidikan seharusnya adalah proses yang secara berkelanjutan mengantarkan pada
penanaman makna yang dengannya adab terwujud. Ia mendefenisikan adab tersebut
dengan pendisiplinan raga, pikiran dan jiwa dalam tatanan wujud dan eksistensi
menurut tujuan penciptaan. Al-Attas
menulis,
Adab is the discipline of body, mind, and
soul; the discipline that assures the recognition and acknowledgement of one’s
proper place in relation to one’s physical, intellectual and spiritual
capacities and potentials; the recognition acknowledgement of the reality that
knowledge are ordered hierarchically according to their various levels
(maratib) and degrees (darajat).[5]
Makna harus melibatkan pengakuan terhadap
tempat segala sesuatu di dalam sistem sehingga ilmu pengetahuan sejati terdiri
atas pengakuan terhadap ‘tempat yang tepat’ bagi Allah swt dalam urutan “being”
dan eksistensi. Al-Attas menegaskan bahwa “tempat” merujuk kepada letaknya yang
wajar dalam sistem, yaitu sistem pemikiran dalam al-Qur’an yang diuraikan
secara sistematis melalui tradisi para nabi dan dituturkan oleh agama sebagai
suatu pandangan alam (worldview)
sehingga menghantarkan kepada pengenalan terhadap Tuhan Semesta Alam.[6]
Dengan demikian, menurut pandangan al-attas
tersebut, dibutuhkan refinement
(pembersihan atau Takhliyah) terhadap
ide-ide dan apa yang dia sebut sebagai The
Vision of reality and Truth terhadap pendidikan. Sebab pendidikan telah
dirasuki berbagai macam pemikiran sekuler. Sehingga alumninya pun tak jarang
sekuler. Bahkan ateis!. Usaha itu tentu dengan mengembalikan hakikat pendidikan
kepada tujuan dan esensi dasarnya berdasarkan pandangan islam.
Humanisme secara utuh, lahir dari rahim Peradaban
Barat. Sehingga yang seharusnya kita lakukan bukanlah takluk dengan ide tersebut.
Kemudian dengan bangga menghukumi ajaran agama kita sendiri, serta agama - agama lain menurut pandangan itu. Sebagai
seorang muslim, yang kita harus lakukan adalah memurnikan konsep humanisme
tersebut dengan menyaring sesuai konsep – konsep keilmuwan islam. Menerima yang
sesuai dengan islam, dan menolak yang tidak sesuai.
Karena memang, konsep manusia menurut
Humanisme berbeda dengan konsep manusia di dalam islam. Humanisme mendasarkan
pandangannya pada rasio dan metode empirik. Sehingga manusia diyakini sebagai
makhluk evolutif. Sedang dalam islam, manusia adalah makhluk ciptaan.Tujuan
hidup manusia dalam humanisme adalah untuk kedamaian dan kebahagiaan, bagaimana
pun bentuknya[7].
Sedangkan dalam islam, tujuan hidup manusia adalah ibadah. Dan ibadah itulah,
kebahagiaan dan kedamaian akan terwujud.
Dengan demikian, dibutuhkan guru, peran
pemerintah serta semua stakeholder di dunia pendidikan untuk konsisten mendidik
dan menanamkan pandangan keislaman yang kuat dalam diri dan sanubari peserta
didik. Perlu pendidikan addab yang lebih serius lagi. Dan para pemangku
kebijakan harus berlomba-lomba menerapkan adab yang benar. Sehingga suatu saat
nanti, kita tidak lagi akan menemukan status – status yang dituliskan seorang
muslimah, tetapi mempromosikan ide – ide sekuler.
Terakhir, karena Afi mengajak untuk sama
– sama berpikir, mari kita memikirkan isyarat ayat berikut dengan mata kepala,
dan mata hati kita.
كَانَ ٱلنَّاسُ أُمَّةٗ وَٰحِدَةٗ فَبَعَثَ ٱللَّهُ ٱلنَّبِيِّۧنَ
مُبَشِّرِينَ وَمُنذِرِينَ وَأَنزَلَ مَعَهُمُ ٱلۡكِتَٰبَ بِٱلۡحَقِّ لِيَحۡكُمَ
بَيۡنَ ٱلنَّاسِ فِيمَا ٱخۡتَلَفُواْ فِيهِۚ وَمَا ٱخۡتَلَفَ فِيهِ إِلَّا
ٱلَّذِينَ أُوتُوهُ مِنۢ بَعۡدِ مَا جَآءَتۡهُمُ ٱلۡبَيِّنَٰتُ بَغۡيَۢا
بَيۡنَهُمۡۖ فَهَدَى ٱللَّهُ ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ لِمَا ٱخۡتَلَفُواْ فِيهِ مِنَ
ٱلۡحَقِّ بِإِذۡنِهِۦۗ وَٱللَّهُ يَهۡدِي مَن يَشَآءُ إِلَىٰ صِرَٰطٖ
مُّسۡتَقِيمٍ ٢١٣
Manusia itu adalah umat yang satu. (setelah timbul perselisihan),
maka Allah mengutus para nabi, sebagai pemberi peringatan, dan Allah menurunkan
bersama mereka Kitab yang benar, untuk memberi keputusan di antara
manusia tentang perkara yang mereka perselisihkan. Tidaklah berselisih
tentang Kitab itu melainkan orang yang telah didatangkan kepada mereka Kitab,
yaitu setelah datang kepada mereka keterangan-keterangan yang nyata, karena
dengki antara mereka sendiri. Maka Allah memberi petunjuk orang-orang yang
beriman kepada kebenaran tentang hal yang mereka perselisihkann itu dengan
kehendak-Nya. Dan Allah selalu memberi petunjuk orang yang dikehendaki-Nya
kepada jalan yang lurus. (al-Baqarah: 213)
Wallohu a’lam bi ash-Showab.
[1] Disajikan
pada acara Madrasah Pemikiran Islam, Kamis 25 Mei 2017, di Pelataran Masjid
Kampus Unhas Makassar.
[2] Kita bisa
melihat bagaimana pemikiran-pemikiran Gandhi yang berusaha menjaga keuntuhan
India yang mayoritas Hindu, atas gerakan separatis sektarian orang – orang
muslim yang ingin memisahkan diri. Hingga Akhrinya Pakistan berdiri.
[3] Corliss
lamont, The Philosophy of Humanism, New York: Humanist Press, 1997, hlm.
14
[4] Silakan
rujuk di Buku Misykat, Karya Dr. Hamid Fahmi Zarkasy
[5] SMN.
al-Attas, The Concept of education in Islam, hlm. 11
[6] SMN. al-Attas, Tinjauan Ringkas Peri Ilmu dan Pandangan Alam, Pulau Pinang :
Penerbit Universiti Sains Malysia, 2007, hlm. 12
[7] Since the earliest days of philosophic reflection in
ancient times in both East and West thinkers of depth and acumen have advanced
the simple proposition that the chief end of human life is to work for the
happiness of humans upon this earth and within the confines of the Nature that
is our home…. While it has gone under a variety of names, it is a philosophy
that I believe is most accurately designated as Humanism. (Lihat:
Corliss lamont, The Philosophy of Humanism, New York: Humanist Press,
1997, hlm. 3)
No comments:
Post a Comment