Syamsuar Hamka
(Penulis, Kadept. Kajian Strategis PP LIDMI)
Saya pernah mendengar penjelasan
tentang makna politik. Bahwa politik adalah strategi, strategi manusia
mempertahankan hidupnya. Ungkapan ini sangatlah filosofis. Sebab semua usaha
yang dilakukan manusia, tidak lain adalah untuk mempertahankan hidupnya. Manusia
punya vitalitas untuk total dalam hidup dan melanjutkan keturunan. Menurut istilah
ini, maka seorang bayi yang sedang menangis karena lapar juga termasuk bagian
dari tindakan politik.
Hanya saja, terminologi politik
sudah mengalami penyempitan makna. Bahwa politik hanya dikaitkan pada masalah
seputar kekuasaan dalam berbagai macam sistemnya. Bahkan tidak jarang, term
politik dalam memori sebagian masyarakat, dianggap sebagai sesuatu yang
‘kotor’. Sebab politik sangat sarat kepentingan. Dalam pemahaman itu pun,
Partai yang bersikukuh mempertahankan idealisme sama saja dengan bunuh diri.
Sebab dalam politik tidak ada kawan abadi. Sebaliknya pula, tidak ada lawan
abadi.
Fakta – fakta akan perilaku politik
para elite seperti sudah menjadi rahasia umum. Apalagi dalam iklim demokrasi
yang begitu kental, perilaku sogok-menyogok, membeli suara atau pun black
campaign menjadi sah – sah saja tanpa perlu dipersoalkan. Perilaku seperti
itu dianggap adalah jalan yang mau tidak mau harus ditempuh, jika seorang calon
atau partai pengusung ingin menguasai kursi pemerintahan. Mempromosikan
kelebihan calon yang didukung, dan pada saat yang sama melakukan character
assassination terhadap lawan politik.
Dalam Pilkada DKI, fakta Money
Politic atau sogok menyogok tetap ‘konsisten’ mewujud beberapa waktu yang
lalu. Kita disuguhkan berita adanya upaya pembagian sembako kepada rakyat kecil
yang dibarengi ajakan untuk memilih nomor urut tertentu. Bahkan disebutkan
salah satu pasang calon punya utang beras 500 Juta kepada Pedagang Beras
Cipinang (lihat: https://pilkada.tempo.co/read/news/2017/04/18/348866998/pilkada-dki-billy-beras-mau-menang-serahin-pedagang).
Jauh sebelumnya, kita juga pernah disuguhkan dengan pendapat bahwa untuk
memberantas korupsi harus dengan sikap ‘garang’, tidak boleh santun – santun
dan tenang. Sehingga kita jamak mendengarkan ungkapan, “Kejam tapi anti korupsi
jauh lebih baik dari santun tapi Korup”. Sebuah pilihan yang dilematis memang.
Politik; Pandangan
Sekuler
Melihat fenomena itu, tentu kita
patut menyayangkan. Sebab kekuasaan tertinggi jika diperoleh dengan cara – cara
yang licik akan menumbuh-suburkan sistem yang dipenuhi kecurangan. Kekuasaan
tanpa akhlak akan cacat dan rusak.
Salah seorang intelektual Barat yang mendukung perilaku
curang dalam perpolitikan dan jauh dari akhlak adalah Niccolo Machiaveli. Ia
mendasarkan argumennya dengan menuturkan fakta bahwa sebenarnya manusia itu
tidak baik. Mereka selalu melakukan hal-hal yang buruk, ingkar janji, tamak kekuasaan,
pembohong, munafik, dan lain sebagainya. Bahkan ia menggambarkan bahwa
menusia-manusia itu tidak akan terlalu marah bila ayahnya terbunuh, namun bila
mereka kehilangan harta atau warisannya, mereka akan benar-benar marah, “…because
men more quickly forget the death of their father than the loss of their
patrimony”. Inilah etika Politik yang diperpegangi Machiaveli. (Lihat: Fuad Muhammad Zein, Kritik
Konsep Politik Machiavelli Dalam Perspektif Etika Politik Islam (Perbandingan
Dengan Teori Etika Politik Al Mawardi), hlm. 501).
Machiavelli membagi etika pada dua hal, yaitu etika
Barat Kuno, yang berasal dari budaya Romawi Kuno, dan yang kedua adalah etika
Katholik, yang merupakan doktrin dari gereja Katholik Roma. Ia lebih berpegang
pada etika Barat Kuno yang berasal dari Romawi. Hal ini didasarkan pada
pemikirannya bahwa untuk mempertahankan kekuasaan, kekuatan semangat untuk
bertempur haruslah diunggulkan, seperti halnya pada masa Julius Cesar atau
Cesare Borgia, seorang penguasa Florense sebelum kelahiran Machiavelli yang
sangat licik dan gila kekuasaan. Ia mengangap bahwa dengan etika Katholik (Roma),
hasil itu tidak bisa diperoleh. Ia menyatakan bahwa etika Katholik hanya
menjadikan manusia lemah karena hanya mengorientasikan hidupnya pada hal-hal
yang berbau akherat. Hal ini menurutnya tidak memberikan konstribusi
nyata dalam pertarungan politik dan kekuasaan (Ibid, hlm. 498).
Lebih dari itu, ia juga menyatakan bahwa tidak penting menjadi
seorang yang mulia. Karena itu justru akan menjadikannya lemah dan hina, dan
bila demikian maka wibawanya akan jatuh dihadapan rakyat. Selanjutnya, juga
tidak bersikap baik, karena itu akan menumbuhkan rasa pemberontakan dari
rakyatnya karena menganggap sang raja tidak tegas dan tidak berani. Sedangkan
dengan kekerasan, akan menstabilkan peraturan dan menghindarkan kekacauan.
Mengenai kerelaan rakyat, Machiavelli mengatakan agar pangeran untuk tidak
selalu berpedoman pada hal tersebut, karena kerelaan dan keinginan mereka
selalu berubah-ubah, maka dari itu agar selalu berpedoman pada kekuatannya,
karena bila ia konsisten pada kekuatannya, maka kekuasaannya akan bertahan[1].
Ia juga menyarankan untuk tidak selalu berpedoman pada keutamaan, namun lebih
baik berlindung dengan keburukan bila memang itu sesuai dengan tujuannya.(“….And
again, he need not make himself uneasy at incurring a reproach for those vices
without which the state can only be saved with difficulty, for if everything is
considered carefully, it will be found that something which looks like virtue,
if followed, would be his ruin; whilst something else, which looks like vice,
yet followed brings him security and prosperity) (Ibid, hlm. 499 - 500).
Politik; Pandangan Islam
Pemikiran Machiavelli di atas sangat bertolak belakang dibandingkan
dengan teori politik Islam. Terutama pada masalah moralitas dan akhlak dalam berpolitik
atau berkuasa. Dalam Islam, tidak ada dikotomi antara politik dan akhlak,
tetapi justru harus disatu-padukan. Imam al-Ghazali berpendapat bahwa akhlak
merupakan sesuatu yang inti dalam praktik perpolitikan. Maka setiap manusia
yang berpartisipasi dalam praktik politik ini harus menegakkan akhlak
sebaik-baiknya.
Selain Imam al-Ghazali dengan karyanya at Tibru
al-Masbuk fi Nasihati al Mulk, ada ulama lain yang juga mempunyai karya
dalam masalah etika berkuasa. Ia adalah Abu al Hasan ‘Ali Ibn Muhammad Ibn
Habib al Badhri al-Mawardi dengan karyanya Tashilu an Natzar wa Ta’jilu
atz-Tzufri fi Akhlaqi al Mulk. Selain bukunya ini, beliau juga mempunyai
karya lain dalam masalah politik, yaitu al-Ahkam ash Shulthoniyyah.
Al Mawardi adalah salah satu Pemikir Politik yang memberikan saran kepada penguasa agar kekuasaannya bisa bertahan dan lestari dengan selalu memeriksa keadaan rakyatnya dengan menanyakan kabar mereka. Selain itu, ia harus menjalankan pekerjaannya sebagai Pemerintah dengan sikap amanah dan ikhlas. Dan yang tak kalah lebih penting adalah agar selalu berperangai shalih dan juga tegas dan kuat, serta mengetahui keadaan negara sekitarnya dan menjalin hubungan baik dengan mereka (Lihat: Abu al Hasan al Mawardi, Tashilu an Natzr wa Ta’jilu atz Tzufr fi Akhlaqi al Mulk, ed: Muhyi Hilal as Sarhani wa Hasan as Sa’ati, (Beirut, Dar an Nahdhoh al ‘Arabiyyah), hlm. 8 dalam Fuad Muhammad Zein, hlm. 501).
Sketsa Wajah Imam al-Mawardi |
Al Mawardi adalah salah satu Pemikir Politik yang memberikan saran kepada penguasa agar kekuasaannya bisa bertahan dan lestari dengan selalu memeriksa keadaan rakyatnya dengan menanyakan kabar mereka. Selain itu, ia harus menjalankan pekerjaannya sebagai Pemerintah dengan sikap amanah dan ikhlas. Dan yang tak kalah lebih penting adalah agar selalu berperangai shalih dan juga tegas dan kuat, serta mengetahui keadaan negara sekitarnya dan menjalin hubungan baik dengan mereka (Lihat: Abu al Hasan al Mawardi, Tashilu an Natzr wa Ta’jilu atz Tzufr fi Akhlaqi al Mulk, ed: Muhyi Hilal as Sarhani wa Hasan as Sa’ati, (Beirut, Dar an Nahdhoh al ‘Arabiyyah), hlm. 8 dalam Fuad Muhammad Zein, hlm. 501).
Melihat pandangan al-Mawardi di atas, dalam kaitannya
dengan kontestasi Pilkada DKI yang lalu yang berakhir dengan kemenangan
pasangan Anies-Sandi, maka kita bisa mengklarifikasi bahwa orang yang baik dan
santun pun ternyata bisa menjadi seorang pemimpin. Dan bahwa dengan cara – cara
yang baik serta lebih beradab tetap bisa dan mungkin dilakukan untuk meraih
kursi kekuasaan. Dan tentu lebih dari itu, korupsi pun bisa diselesaikan dengan
adil, santun dan dengan cara-cara yang elegan. Saya pikir, itulah Politik
Akhlak.
Kemenangan Pasangan Anies-Sandi membawa sebuah harapan
akan perubahan paradigma yang baru. Kemenangannya turut meneguhkan kemenangan
Politik akhlak. Politik yang mengintegrasikan akhlak sebagai spirit dan
nilainya. Serta menjadikan politik sebagai sarana untuk menerapkan akhlak –
akhlak yang mahmudah (Wallohu a’lam bi as-Showab).
Dimuat di Koran Harian Amanah, Kamis-Jumat, 27-28 April 2017
No comments:
Post a Comment