Syamsuar Hamka[1]
Kampus memiliki peran strategis dalam
pembangunan bangsa. Takdir[2]
kehidupan jutaan umat manusia dapat dirubah lewat peran dari
institusi-institusi keilmuwan. Dari Hukum Gerak, Hukum Gravitasi, hingga teori
partikel elementer yang dikembangkan dari Democritus hingga Feynman, paradigma
kehidupan jutaan bahkan milyaran umat manusia menjadi berubah. Michael H. Hart
dalam penelitiannya terhadap kurang lebih 20 Ribu tokoh berpengaruh, dengan
berani mengurut 100 tokoh diantaranya dengan acuan “seberapa berpengaruh”.
Hasilnya buku 100 The Most Influence people in History[3]
begitu diminati dan (seakan-akan) mampu menembus batas-batas kepercayaan. Dari
100 tokoh itu, Ia mengaku bahwa 95 % diantaranya adalah akademisi yang belajar
di universitas, sekolah, atau institusi sebelum nama ‘sekolah’ dikenal seperti
zaman Hommer atau Fir’aun.
Oleh sebab itu, kampus adalah
laboratorium peradaban. Bangkit dan runtuhnya peradaban ditopang oleh sejauh
mana kampus berperan mencetak core player peradaban. Sejauh mana peran
kampus dalam pendidikan, pemberdayaan, atau penelitian, maka kehidupan
masyarakat dapat diangkat pada taraf yang lebih berkualitas.
Di Indonesia, menurut data DIKTI, ada
sekitar (kurang lebih) 4.000 Perguruan Tinggi di Indonesia[4].
100 diantaranya adalah PTN, selebihinya swasta. Sektor itu sangat berpengaruh
terhadap data yang diturunkan Badan Pusat Statisk[5]
berikut :
1.
Jumlah angkatan kerja di
Indonesia pada Februari 2014 mencapai 125,3 juta orang,
2.
Jumlah penduduk yang bekerja di
Indonesia pada Februari 2014 mencapai 118,2 juta orang.
3.
Jumlah penduduk pengangguran 7,15
juta orang[6].
Dengan memperhatikan data di atas, kita
bisa (sedikit) miris. Di mana alumni-alumni kampus ternyata juga sangat banyak
yang tidak mampu memberdayakan diri. Padahal, seharusnya kampus mampu
menghadapi tantangan masyarakat. Alumnus seharusnya mampu memberdayakan diri,
bukan hanya diberdayakan. Karena yang mereka dapatkan adalah ilmu tentang
bagaimana kehidupan yang hakiki. Mereka belajar ilmu, kebijaksanaan, dan
ketekunan dalam menjalani hidup yang benar. Bukan ilmu parsial, yang
mengandalkan rezekinya bergantung pada jumlah lembaran-lembaran ijazah. Oleh
karena itu, patut kita pertanyakan. Apa sebenarnya terjadi di kalangan sarjanawan.
Adakah
yang Salah ?
Peran institusi pendidikan, seharusnya
mencetak manusia yang utuh, bukan mencetak manusia “parsial”. Potensinya
seharusnya teraktualkan secara komprehensif, bukan “partikuleristik”. Ali
Syariati dengan keras mengkritik praktik pendidikan yang hanya berorientasi
pada technical skill, bukan character involvement. Ia mengkritik budaya ilmu yang dibangun di
atas netralitas ilmiah, yang merupakan produk khas kebudayaan dan worldview
Barat. Budaya ilmu itu telah menyebabkan
jenius-jenius, fisikawan-fisikawan, psikolog-psikolog, ahli-ahli statistik dan
sabagainya menjadi budak sewaan dan tentara upahan dari modal dan kekuatan yang
disajikan baik oleh sistem kapitalistik ataupun sistem diktatorial yang ada di
dunia ini[7].
Akhirnya yang terjadi adalah dikotomi
ilmu-amal, dunia-akhirat, teori-praktik,
agama-negara, kerja-ibadah, kantor-masjid, dan wahyu-akal. Seakan
keduanya tidak dapat dipertemukan, seperti timur dan barat. Ilmu hanya berhubungan dengan fakta-fakta
eksternal, dikaji dengan analisis-analisis objektif semata. Tetapi ilmu telah
dipisahkan dari pemecahan masalah manusia dan masyarakat[8].
Sangat miris ketika garis demarkasi antara fakta dan nilai diperlebar oleh
Positivisme[9], hingga
fakta yang kaya akan nilai diserap hanya pengetahuan yang tersimpan di lokus
otak kiri kita. Tidak meresap dan menjalar ke qalbu, hanya dengan alasan scientific
behavior.
Hampir dalam setiap pelajaran Ilmu
Sosial, Agama, dan Kewarganegaraan, di setiap SKS Kampus dipelajari bahwa unsur
manusia terdiri atas jiwa, akal dan jasmani. Tetapi potensi yang dikembangkan
tidak proporsional. Lahir manusia yang cerdas dengan reputasi dan gelar
akademik melangit, namun hilang ruh dan jiwanya. Rusaknya worldview
tentang makna kebahagiaan, yang diarahkan pada temporary happiness bukan
eternal happiness. Tidak jauh berbeda dengan dunia ke-selebritis-an yang
mempromosikan hiburan, sementara para pelawak, aktor, dan aktrisnya tersandung
kasus asusila, broken home, dan narkoba.
Padahal, negara telah mengalokasikan demikian banyak anggaran untuk
menanggulangi kekosongan jiwa tadi, seperti BNN dan KPK. Menurut Kordinator
Investigasi dan Advokasi FITRA, Uchok Sky Khadafi, Alokasi anggaran tahun 2013 BNN
sangat besar sekali. Jumlahnya sebesar Rp 1,22 Triliun lebih dan KPK sebesar Rp
720 milyar[10].
Karena rusaknya worldview ini,
sarjanawan-sarjanawan yang lahir mengalami patologi psiko-sosial dalam
orientasi pendidikan. Penyakit berupa diplomadisease (penyakit diploma),
yang hanya mencari ijazah dan shahādah, bukan mencari ilmu (ṭālab
al-‘ilm). Atau bahkan mengalami dis-orientasi pendidikan, dimana sekolah
menjadi institusi yang mengenalkan mereka tentang lingkungan kehidupan yang
bebas dan carut-marut (pacaran, narkoba, dan pergaulan bebas). Atau kondisi
lain dari kebebasan (liberalism) dalam pendidikan. Gejalanya jelas, sarjanawan
seakan mengalami semacam pubertas intelektual[11]
dan inferioritas intelektual. Kesemuanya adalah ragam warna produk ala ilmu Barat.
Akhirnya, kita bisa lihat dampaknya
secara jelas. Kita membaca berita yang begitu mengenaskan. Demonstrasi-anarkis,
yang berujung pada terbusurnya Wakapolrestabes Makassar, dan penahanan salah
seorang dekan di salah satu kampus di Makassar. Kemirisan itu bertambah ketika
harian Tribun Makassar menurunkan berita diringkusnya Guru Besar Universitas
terbaik di Indonesia Timur, bersama dua orang mahasiswi karena kasus “Nyabu”. Bagi
penulis, kasus ini seharusnya lebih penting untuk direnungkan dibanding bencana
banjir, longsor dan gempa bumi. Lebih penting digelontorkan dana untuk
penelitian terhadap fenomena ini.
Rusaknya bangunan jauh lebih mudah
diperbaiki, dibanding rusaknya manusia. Dan poros rusaknya manusia menurut
Prof. Dr. Syed Muhammad Naquib al-Attas adalah The Loss of Adab,
hilangnya adab. Penyebabnya adalah hilangnya hikmah. Ilmu yang murni menjadi
rusak, karena puncak tertinggi menurut ilmu pendidikan modern adalah sebatas
fakta-fakta yang observable (teramati), repeatable (terulang), tastable
(teruji), measurable (terukur), dan predictable (teramalkan)[12].
Sementara wahyu, yang menempati hirarki tertinggi dalam epistemologi ilmu islam
ditinggalkan.
Karena itu kita tidak pernah mendapati
para pakar Geologi ketika berkumpul membahas kasus gempa bumi dan
merekomendasikan untuk mengurangi kemaksiatan, rajin shalat di masjid, berdoa,
dan keluarkan zakat bagi penduduk di daerah yang rawan gempa. Karena yang
ditinjau adalah aspek formal semata. Dan jika ulama berkomentar, terkadang
jawabannya adalah “Ya.., kalau semua bawa-bawa tuhan, semua masalah pasti selesai.”
Padahal, fenomena realitas tidak bisa
dianggap sebatas fakta. Karena akhirat, syurga dan neraka adalah fakta yang
sebenarnya. Sangat disayangkan jika kualitas ilmu tertinggi adalah apa yang
empirik. Bukankah hewan paling primitif, seperti Amoeba juga menggunakan sensor
empiriknya untuk memahami lingkungannya ?. Kalau begitu, apa bedanya manusia
dengan hewan paling primitif, jika cara memahami lingkungannya hanya dengan
proses empirik semata ?.
Adab,
Hikmah, dan Akhlak yang Hilang
Hikmah bukanlah suatu ilmu, filsafat
ataupun teknologi. Dan sejarah senantiasa memperlihatkan bahwa pemilik
pandangan-pandangan transendental ini bukanlah filosof, teosof, ataupun
teknisi. Bahwa, individu-individu ini justru lebih banyak muncul diantara massa
rakyat ketimbang di tengah-tengah kaum ilmuwan, jenius, ataupun fisikawan[13].
Kebudayaan dan peradaban sering dibentuk oleh nabi-nabi dari kalangan
penggembala. Bahkan sekarang, orang-orang yang mencetuskan pola berpikir baru
muncul dari kalangan sosiologi ekonomi terndah ketimbang dari para lulusan
Harvard atau Sorbonne, atau dari para faqih, mujtahid, ataupun fisikawan.
Hikmah mengandung suatu ajaran yang
istimewa yang oleh seorang “ummi” didatangkan ke kalangan rakyat jelata untuk
membangun suatu masyarakat dan kebudayaan baru. Secara tiba-tiba, dari inti “benak
dan kehidupan” rakyat, suatu figur yang dilhami oleh kesadaran diri muncul ke
permukaan. Alangkah indah isyarat al-Qur’an itu. Yang berarti bahwa siap pun
yang dimunculkan untuk menjadi pemimpin selalu berasal dari jantung rakyat[14].
Dalam ungkapan guru besar Knett Grigh (Cambridge
University), secara jujur ia mengakui, “Meskipun
dunia dan kehidupan berubah, namun manusia memungkinkan menjadikan Al-Qurān
sebagai pedoman hidup. Al-Qurān lebih unggul, karena mencakup segala hal dalam
kehidupan. Tak ada satupun yang tak diatur dalam Islam. Saya yakin, Al-Qurān
mampu memengaruhi Barat.”[15]
Dalam ungkapan Gul Labum (Peneliti Prancis), “Bagi
semua masyarakat dunia, dengan ragam
warna dan bahasa, hendaknya memandang secara obyektif kondisi dunia periode
awal, serta mengkaji setiap lembaran ilmu pengetahuan dan penemuan-penemuan
pra-Islam. Maka akan jelas bagi kalian, bahwa ilmu pengetahuan dan penemuan
itu, tidak akan pernah sampai pada penduduk bumi, kecuali setelah ditemukan dan
disebarluaskan oleh kaum muslimin yang mereka eksplorasi dari Al-Qurān.”[16]
Tentu, pernyataan ilmuwan Barat di atas, hanyalah
argumentasi pendukung akan kebenaran wahyu (Al-Qurān dan Hadits) itu. Karena
tanpa persaksian mereka pun, wahyu sejatinya adalah sumber ilmu tertinggi,
sebelum akal, hati, indra, dan yang lainnya.
Dalam perspektif pendidikan pun demikian.
Nilai-nilai pendidikan, sejatinya adalah nilai-nilai yang dipotret dari wahyu.
Sejauh mana wahyu itu terinternalisasi
dalam segala aspek pendidikan (sistem, kurikulum, metodologi, evaluasi, dan
lainnya)[17]. Karena tujuan pendidikan tidak lain sebagai
upaya untuk menghambakan diri hanya kepada Allah. Meminjam ungkapan Dr. M. Natsir,
“Tujuan didikan ialah tujuan hidup.”[18]
Pendidikan–sebagaimana yang lain–sejatinya adalah “benda mati”. Dan hanya bisa hidup,
serta mengalami gerak dinamis dalam kehidupan, ketika “ruh” tawhīd
(orientasi pengabdian dan penghambaan hanya kepada Allah) ditiupkan ke dalam
“jasad”nya. Dengan orientasi semacam ini, pendidikan memberi dampak signifikan
dalam meraih ketenangan, kebahagiaan, dan kekuatan, bagi setiap pelaku
pendidikan[19]. Dan
akan menjadi jawaban kasus-kasus tawuran, bullying, dan pencabulan yang
akan berdatangan berikutnya.
Inilah yang dimaksudkan Natsir dengan Islamietisch
Paedagogisch Ideal (Cita-cita Pendidikan Islam)[20].
Satu cita-cita besar, dengan tujuan
akhir, terlaksananya pengabdian yang penuh hanya kepada Allah, mulai pada
tataran individu hingga pada level masyarakat dunia[21].
Dan itulah cita-cita terbesar yang dipahami oleh kita sebagai seorang muslim.
Pola pikir yang menyatukan ilmu-amal, dunia-akhirat, teori-praktik,
agama-negara, kerja-ibadah, kantor-masjid, dan wahyu-akal. Saling
terikat-rapat, dan tidak parsialistik. Wallohu Ta’ala A’lam
[1] Mahasiswa Program Studi Magister
Pendidikan Islam, Universitas Ibnu Khaldun, Bogor
[2] Penulis memberi tanda kutip
sebagai penekanan, dan majas bahwa takdir dalam arti kontribusi
[3] Michael H. Hart, 100 Tokoh
Paling Berpengaruh di Dunia, Jakarta, Zaman, tahun 2010.
[4] Dari File PDF dengan judul :
DAFTAR KODE DAN NAMA PERGURUAN TINGGI (K-44)
[5] Badan Pusat Statistik (BPS),
Keadaan Ketenagakerjaan Februari 2014, Volume No. 38/05/Th. XVII, 5 Mei 2014,
hal. 1
[6] Ibid, hal. 2
[7] Ali Syariati, Ideologi Kaum
Intelektual, Bandung, Mizan, 1993, hal. 109
[8] Ibid, Ali Syariati, hal. 108
[9] Salah satu aliran Filsafat, yang
menyatakan kebenaran diperoleh dengan oleh akal yang diperoleh bukti empiris. Dicetuskan
Auguste Compte (1798-1857), lihat Filsafat Umum oleh Prof. Dr. Ahmad Tafsir, Penerbit
Rosdakarya Bandung, tahun 2010
[10] Diakses dari http://utama.seruu.com/read/2013/01/30/143620/fitra-anggaran-bnn-besar-prestasi-minim
tanggal 15 November 2014, pukul 15.54
[11] Beberapa bulan terakhir,
Indonesia dihebohkan oleh gugatan beberapa anak muda ke Mahkamah Konstitusi
(MK) terkait judicial review (uji materil) pasal 2 ayat 1, UU Perkawinan
No. 1 Tahun 1974. Menurutnya, pernikahan adalah privacy, dan ayat ini
telah melanggar hak privasi (HAM) itu, karena membatasi warga negara yang ingin
menikah dengan pasangan beda agama.
[12] Budi handrianto, Islamisasi Sains,
Jakarta, Pustaka Al-Kautsar, 2010, hal. 67
[13] Ibid, Ali Syariati, hal. 66
[14] Ibid
[15] Agus Susanto, Islam itu
Sangat Ilmiah, Jogjakarta, Najah, 2012hlm. 30-31.
[16] Ibid, hal. 21.
[17] M. Natsir, Capita Selecta I,
Cet. IV, Jakarta: Yayasan Bulan Bintang Abadi, 2008, hlm. 79-80.
[18] Ibid, M. Natsir , hal. 86
[19] Akhirnya menjadi jelas, mengapa
mendiang fisikawan jenius dunia asal Belanda, Paul Ehrenfest (m. 1932), yang
dicintai oleh mahasiswanya, para ilmuwan dan guru besar pun menaruh hormat
kepadanya, mengakhiri hidupnya dengan bunuh diri sekaligus membunuh anaknya.
Dalam surat yang ia tulis untuk sahabatnya, Prof. Kohnstamm, sesaat sebelum
aksi bunuh diri itu, ia mengakui secara jujur, “Yang tidak saya punya adalah
kepercayaan kepada Tuhan. Agama ternyata penting. Maka siapa yang tak beragama,
akhirnya akan binasa.” (Lihat: M. Natsir, Capita Selecta I, hlm.
158, dan Laode M. Kamaluddin (ed.), On Islamic Civilization, Menyalakan
Kembali Lentera Peradaban Islam yang Sempat Padam, Semarang: UNISSULA
Press, 2010, hlm. vii).
[20] M. Natsir, Ibid, hlm. 89.
[21] Abuddin Nata, Studi Islam
Komprehensif, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2001, hlm. 2012.
No comments:
Post a Comment