Cari

SARJANAWAN, KAMPUS DAN BUDAYA ILMU

Saturday, 17 January 2015


 
Syamsuar Hamka[1]

Kampus memiliki peran strategis dalam pembangunan bangsa. Takdir[2] kehidupan jutaan umat manusia dapat dirubah lewat peran dari institusi-institusi keilmuwan. Dari Hukum Gerak, Hukum Gravitasi, hingga teori partikel elementer yang dikembangkan dari Democritus hingga Feynman, paradigma kehidupan jutaan bahkan milyaran umat manusia menjadi berubah. Michael H. Hart dalam penelitiannya terhadap kurang lebih 20 Ribu tokoh berpengaruh, dengan berani mengurut 100 tokoh diantaranya dengan acuan “seberapa berpengaruh”. Hasilnya buku 100 The Most Influence people in History[3] begitu diminati dan (seakan-akan) mampu menembus batas-batas kepercayaan. Dari 100 tokoh itu, Ia mengaku bahwa 95 % diantaranya adalah akademisi yang belajar di universitas, sekolah, atau institusi sebelum nama ‘sekolah’ dikenal seperti zaman Hommer atau Fir’aun.

Oleh sebab itu, kampus adalah laboratorium peradaban. Bangkit dan runtuhnya peradaban ditopang oleh sejauh mana kampus berperan mencetak core player peradaban. Sejauh mana peran kampus dalam pendidikan, pemberdayaan, atau penelitian, maka kehidupan masyarakat dapat diangkat pada taraf yang lebih berkualitas.
Di Indonesia, menurut data DIKTI, ada sekitar (kurang lebih) 4.000 Perguruan Tinggi di Indonesia[4]. 100 diantaranya adalah PTN, selebihinya swasta. Sektor itu sangat berpengaruh terhadap data yang diturunkan Badan Pusat Statisk[5] berikut :
1.      Jumlah angkatan kerja di Indonesia pada Februari 2014 mencapai 125,3 juta orang,
2.      Jumlah penduduk yang bekerja di Indonesia pada Februari 2014 mencapai 118,2 juta orang.
3.      Jumlah penduduk pengangguran 7,15 juta orang[6].
Dengan memperhatikan data di atas, kita bisa (sedikit) miris. Di mana alumni-alumni kampus ternyata juga sangat banyak yang tidak mampu memberdayakan diri. Padahal, seharusnya kampus mampu menghadapi tantangan masyarakat. Alumnus seharusnya mampu memberdayakan diri, bukan hanya diberdayakan. Karena yang mereka dapatkan adalah ilmu tentang bagaimana kehidupan yang hakiki. Mereka belajar ilmu, kebijaksanaan, dan ketekunan dalam menjalani hidup yang benar. Bukan ilmu parsial, yang mengandalkan rezekinya bergantung pada jumlah lembaran-lembaran ijazah. Oleh karena itu, patut kita pertanyakan. Apa sebenarnya terjadi di kalangan sarjanawan.

Adakah yang Salah ?
Peran institusi pendidikan, seharusnya mencetak manusia yang utuh, bukan mencetak manusia “parsial”. Potensinya seharusnya teraktualkan secara komprehensif, bukan “partikuleristik”. Ali Syariati dengan keras mengkritik praktik pendidikan yang hanya berorientasi pada technical skill, bukan character involvement.  Ia mengkritik budaya ilmu yang dibangun di atas netralitas ilmiah, yang merupakan produk khas kebudayaan dan worldview Barat.  Budaya ilmu itu telah menyebabkan jenius-jenius, fisikawan-fisikawan, psikolog-psikolog, ahli-ahli statistik dan sabagainya menjadi budak sewaan dan tentara upahan dari modal dan kekuatan yang disajikan baik oleh sistem kapitalistik ataupun sistem diktatorial yang ada di dunia ini[7].
Akhirnya yang terjadi adalah dikotomi ilmu-amal, dunia-akhirat, teori-praktik,  agama-negara, kerja-ibadah, kantor-masjid, dan wahyu-akal. Seakan keduanya tidak dapat dipertemukan, seperti timur dan barat.  Ilmu hanya berhubungan dengan fakta-fakta eksternal, dikaji dengan analisis-analisis objektif semata. Tetapi ilmu telah dipisahkan dari pemecahan masalah manusia dan masyarakat[8]. Sangat miris ketika garis demarkasi antara fakta dan nilai diperlebar oleh Positivisme[9], hingga fakta yang kaya akan nilai diserap hanya pengetahuan yang tersimpan di lokus otak kiri kita. Tidak meresap dan menjalar ke qalbu, hanya dengan alasan scientific behavior.
Hampir dalam setiap pelajaran Ilmu Sosial, Agama, dan Kewarganegaraan, di setiap SKS Kampus dipelajari bahwa unsur manusia terdiri atas jiwa, akal dan jasmani. Tetapi potensi yang dikembangkan tidak proporsional. Lahir manusia yang cerdas dengan reputasi dan gelar akademik melangit, namun hilang ruh dan jiwanya. Rusaknya worldview tentang makna kebahagiaan, yang diarahkan pada temporary happiness bukan eternal happiness. Tidak jauh berbeda dengan dunia ke-selebritis-an yang mempromosikan hiburan, sementara para pelawak, aktor, dan aktrisnya tersandung kasus asusila, broken home, dan narkoba.  Padahal, negara telah mengalokasikan demikian banyak anggaran untuk menanggulangi kekosongan jiwa tadi, seperti BNN dan KPK. Menurut Kordinator Investigasi dan Advokasi FITRA, Uchok Sky Khadafi, Alokasi anggaran tahun 2013 BNN sangat besar sekali. Jumlahnya sebesar Rp 1,22 Triliun lebih dan KPK sebesar Rp 720 milyar[10].
Karena rusaknya worldview ini, sarjanawan-sarjanawan yang lahir mengalami patologi psiko-sosial dalam orientasi pendidikan. Penyakit berupa diplomadisease (penyakit diploma), yang hanya mencari ijazah dan shahādah, bukan mencari ilmu (ṭālab al-‘ilm). Atau bahkan mengalami dis-orientasi pendidikan, dimana sekolah menjadi institusi yang mengenalkan mereka tentang lingkungan kehidupan yang bebas dan carut-marut (pacaran, narkoba, dan pergaulan bebas). Atau kondisi lain dari kebebasan (liberalism) dalam pendidikan. Gejalanya jelas, sarjanawan seakan mengalami semacam pubertas intelektual[11] dan inferioritas intelektual. Kesemuanya adalah ragam warna produk ala ilmu Barat.
Akhirnya, kita bisa lihat dampaknya secara jelas. Kita membaca berita yang begitu mengenaskan. Demonstrasi-anarkis, yang berujung pada terbusurnya Wakapolrestabes Makassar, dan penahanan salah seorang dekan di salah satu kampus di Makassar. Kemirisan itu bertambah ketika harian Tribun Makassar menurunkan berita diringkusnya Guru Besar Universitas terbaik di Indonesia Timur, bersama dua orang mahasiswi karena kasus “Nyabu”. Bagi penulis, kasus ini seharusnya lebih penting untuk direnungkan dibanding bencana banjir, longsor dan gempa bumi. Lebih penting digelontorkan dana untuk penelitian terhadap fenomena ini.
Rusaknya bangunan jauh lebih mudah diperbaiki, dibanding rusaknya manusia. Dan poros rusaknya manusia menurut Prof. Dr. Syed Muhammad Naquib al-Attas adalah The Loss of Adab, hilangnya adab. Penyebabnya adalah hilangnya hikmah. Ilmu yang murni menjadi rusak, karena puncak tertinggi menurut ilmu pendidikan modern adalah sebatas fakta-fakta yang observable (teramati), repeatable (terulang), tastable (teruji), measurable (terukur), dan predictable (teramalkan)[12]. Sementara wahyu, yang menempati hirarki tertinggi dalam epistemologi ilmu islam ditinggalkan.
Karena itu kita tidak pernah mendapati para pakar Geologi ketika berkumpul membahas kasus gempa bumi dan merekomendasikan untuk mengurangi kemaksiatan, rajin shalat di masjid, berdoa, dan keluarkan zakat bagi penduduk di daerah yang rawan gempa. Karena yang ditinjau adalah aspek formal semata. Dan jika ulama berkomentar, terkadang jawabannya adalah “Ya.., kalau semua bawa-bawa tuhan, semua masalah pasti selesai.”
Padahal, fenomena realitas tidak bisa dianggap sebatas fakta. Karena akhirat, syurga dan neraka adalah fakta yang sebenarnya. Sangat disayangkan jika kualitas ilmu tertinggi adalah apa yang empirik. Bukankah hewan paling primitif, seperti Amoeba juga menggunakan sensor empiriknya untuk memahami lingkungannya ?. Kalau begitu, apa bedanya manusia dengan hewan paling primitif, jika cara memahami lingkungannya hanya dengan proses empirik semata ?.

Adab, Hikmah, dan Akhlak yang Hilang
Hikmah bukanlah suatu ilmu, filsafat ataupun teknologi. Dan sejarah senantiasa memperlihatkan bahwa pemilik pandangan-pandangan transendental ini bukanlah filosof, teosof, ataupun teknisi. Bahwa, individu-individu ini justru lebih banyak muncul diantara massa rakyat ketimbang di tengah-tengah kaum ilmuwan, jenius, ataupun fisikawan[13]. Kebudayaan dan peradaban sering dibentuk oleh nabi-nabi dari kalangan penggembala. Bahkan sekarang, orang-orang yang mencetuskan pola berpikir baru muncul dari kalangan sosiologi ekonomi terndah ketimbang dari para lulusan Harvard atau Sorbonne, atau dari para faqih, mujtahid, ataupun fisikawan.
Hikmah mengandung suatu ajaran yang istimewa yang oleh seorang “ummi” didatangkan ke kalangan rakyat jelata untuk membangun suatu masyarakat dan kebudayaan baru. Secara tiba-tiba, dari inti “benak dan kehidupan” rakyat, suatu figur yang dilhami oleh kesadaran diri muncul ke permukaan. Alangkah indah isyarat al-Qur’an itu. Yang berarti bahwa siap pun yang dimunculkan untuk menjadi pemimpin selalu berasal dari jantung rakyat[14].
Dalam ungkapan guru besar Knett Grigh (Cambridge University),  secara jujur ia mengakui, “Meskipun dunia dan kehidupan berubah, namun manusia memungkinkan menjadikan Al-Qurān sebagai pedoman hidup. Al-Qurān lebih unggul, karena mencakup segala hal dalam kehidupan. Tak ada satupun yang tak diatur dalam Islam. Saya yakin, Al-Qurān mampu memengaruhi Barat.[15]
Dalam ungkapan Gul Labum (Peneliti Prancis), “Bagi semua masyarakat  dunia, dengan ragam warna dan bahasa, hendaknya memandang secara obyektif kondisi dunia periode awal, serta mengkaji setiap lembaran ilmu pengetahuan dan penemuan-penemuan pra-Islam. Maka akan jelas bagi kalian, bahwa ilmu pengetahuan dan penemuan itu, tidak akan pernah sampai pada penduduk bumi, kecuali setelah ditemukan dan disebarluaskan oleh kaum muslimin yang mereka eksplorasi dari Al-Qurān.”[16]
Tentu, pernyataan ilmuwan Barat di atas, hanyalah argumentasi pendukung akan kebenaran wahyu (Al-Qurān dan Hadits) itu. Karena tanpa persaksian mereka pun, wahyu sejatinya adalah sumber ilmu tertinggi, sebelum akal, hati, indra, dan yang lainnya.
Dalam perspektif pendidikan pun demikian. Nilai-nilai pendidikan, sejatinya adalah nilai-nilai yang dipotret dari wahyu. Sejauh mana wahyu  itu terinternalisasi dalam segala aspek pendidikan (sistem, kurikulum, metodologi, evaluasi, dan lainnya)[17].  Karena tujuan pendidikan tidak lain sebagai upaya untuk menghambakan diri hanya kepada Allah. Meminjam ungkapan Dr. M. Natsir, “Tujuan didikan ialah tujuan hidup.”[18]
Pendidikan–sebagaimana  yang lain–sejatinya  adalah “benda mati”. Dan hanya bisa hidup, serta mengalami gerak dinamis dalam kehidupan, ketika “ruh” tawhīd (orientasi pengabdian dan penghambaan hanya kepada Allah) ditiupkan ke dalam “jasad”nya. Dengan orientasi semacam ini, pendidikan memberi dampak signifikan dalam meraih ketenangan, kebahagiaan, dan kekuatan, bagi setiap pelaku pendidikan[19]. Dan akan menjadi jawaban kasus-kasus tawuran, bullying, dan pencabulan yang akan berdatangan berikutnya.
Inilah yang dimaksudkan Natsir dengan Islamietisch Paedagogisch Ideal (Cita-cita Pendidikan Islam)[20].  Satu cita-cita besar, dengan tujuan akhir, terlaksananya pengabdian yang penuh hanya kepada Allah, mulai pada tataran individu hingga pada level masyarakat dunia[21]. Dan itulah cita-cita terbesar yang dipahami oleh kita sebagai seorang muslim. Pola pikir yang menyatukan ilmu-amal, dunia-akhirat, teori-praktik, agama-negara, kerja-ibadah, kantor-masjid, dan wahyu-akal. Saling terikat-rapat, dan tidak parsialistik. Wallohu Ta’ala A’lam






[1] Mahasiswa Program Studi Magister Pendidikan Islam, Universitas Ibnu Khaldun, Bogor
[2] Penulis memberi tanda kutip sebagai penekanan, dan majas bahwa takdir dalam arti kontribusi
[3] Michael H. Hart, 100 Tokoh Paling Berpengaruh di Dunia, Jakarta, Zaman, tahun 2010.
[4] Dari File PDF dengan judul : DAFTAR KODE DAN NAMA PERGURUAN TINGGI (K-44)
[5] Badan Pusat Statistik (BPS), Keadaan Ketenagakerjaan Februari 2014, Volume No. 38/05/Th. XVII, 5 Mei 2014, hal. 1
[6] Ibid, hal. 2
[7] Ali Syariati, Ideologi Kaum Intelektual, Bandung, Mizan, 1993, hal. 109
[8] Ibid, Ali Syariati, hal. 108
[9] Salah satu aliran Filsafat, yang menyatakan kebenaran diperoleh dengan oleh akal yang diperoleh bukti empiris. Dicetuskan Auguste Compte (1798-1857), lihat Filsafat Umum oleh Prof. Dr. Ahmad Tafsir, Penerbit Rosdakarya Bandung, tahun 2010
[10] Diakses dari http://utama.seruu.com/read/2013/01/30/143620/fitra-anggaran-bnn-besar-prestasi-minim tanggal 15 November 2014, pukul 15.54
[11] Beberapa bulan terakhir, Indonesia dihebohkan oleh gugatan beberapa anak muda ke Mahkamah Konstitusi (MK) terkait judicial review (uji materil) pasal 2 ayat 1, UU Perkawinan No. 1 Tahun 1974. Menurutnya, pernikahan adalah privacy, dan ayat ini telah melanggar hak privasi (HAM) itu, karena membatasi warga negara yang ingin menikah dengan pasangan beda agama.
[12] Budi handrianto, Islamisasi Sains, Jakarta, Pustaka Al-Kautsar, 2010, hal. 67
[13] Ibid, Ali Syariati, hal. 66
[14] Ibid
[15] Agus Susanto, Islam itu Sangat Ilmiah, Jogjakarta, Najah, 2012hlm. 30-31.
[16] Ibid, hal. 21.
[17] M. Natsir, Capita Selecta I, Cet. IV, Jakarta: Yayasan Bulan Bintang Abadi, 2008, hlm. 79-80.
[18] Ibid, M. Natsir , hal. 86
[19] Akhirnya menjadi jelas, mengapa mendiang fisikawan jenius dunia asal Belanda, Paul Ehrenfest (m. 1932), yang dicintai oleh mahasiswanya, para ilmuwan dan guru besar pun menaruh hormat kepadanya, mengakhiri hidupnya dengan bunuh diri sekaligus membunuh anaknya. Dalam surat yang ia tulis untuk sahabatnya, Prof. Kohnstamm, sesaat sebelum aksi bunuh diri itu, ia mengakui secara jujur, “Yang tidak saya punya adalah kepercayaan kepada Tuhan. Agama ternyata penting. Maka siapa yang tak beragama, akhirnya akan binasa.” (Lihat: M. Natsir, Capita Selecta I, hlm. 158, dan Laode M. Kamaluddin (ed.), On Islamic Civilization, Menyalakan Kembali Lentera Peradaban Islam yang Sempat Padam, Semarang: UNISSULA Press, 2010, hlm. vii).
[20] M. Natsir, Ibid, hlm. 89.
[21] Abuddin Nata, Studi Islam Komprehensif, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2001, hlm. 2012.

No comments:

Post a Comment

 

Iklan Buku

Followers

Bincang-Bincang