Cari

1 SYAWAL; DAHULUKAN PERBEDAAN ATAU UTAMAKAN PERSATUAN?

Thursday 16 July 2015



Abu Adlan Faatih

Menghargai perbedaan adalah hal yang juga merupakan sikap yang baik dalam perpektif heterogenitas masyarakat Indonesia. Sama halnya dengan mengutamakan persatuan dalam konsep dan perspektif sosial pula. Namun kali ini, Penulis ingin mengetengahkan ide dalam menyikapi perbedaan yang selalu menjadi kontroversi dalam beberapa kasus. Termasuk dalam hal penetapan Hari Raya Iedul Fitri umat islam.
Dua hari raya umat islam yang tidak ada perbedaan dalam setiap ormas islam adalah Iedul Fitri dan Iedul Adha. Kedua selebrasi ini adalah syiar yang menjadi momen persatuan umat islam. Betapa tidak, esensi perintah ibadah ternyata juga menyiratkan persatuan kaum muslimin. Dalam skala harian dan lingkup yang kecil, Shalat berjamaah menekankan bagaimana pentingnya persatuan. Lima kali sehari semalam kaum muslimin dalam radius tertentu bertemu dan berkumpul. Dalam lingkup yang lebih besar, shalat jumat yang setiap pekan dilaksanakan. Begitu pula setiap tahunnya, iedul fitri dan iedul adha kaum muslimin kembali dikumpulkan dalam persamaan dan persatuan dalam skala yang lebih besar. Bahkan dalam skala global, ibadah haji mengumpulkan umat islam yang berbeda ras dan warna kulit dari seluruh penjuru negeri dalam satu kondisi yang sama melebur dalam satu tujuan yang sama tanpa ada perbedaan.

Oleh karena itu, pada hakikatnya islam mengajarkan bagaimana pentingnya hidup berjamaah. Dalam shalat demikian tergambar begitu penting bagaimana pemilihan imam dan larangan  mendahuluinya, demikian halnya kiblat yang mempersatukan arah hadap, sehingga umat islam teratur dalam gerakan shalatnya. Waktunya pun ditentukan, sehingga tidak ada ruang untuk melakukan shalat sesuai waktu yang diinginkan  setiap person. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam menyebutkan :

‘Alaikum Bil jamaah, fa inna assyathana ma’al wahid (Hendaklah kalian berjamaah, karena sesungguhnya syaithan bersama dengan seseorang yang bersendirian)

Masih banyak hadits yang lain yang menyebutkan bagaimana pentingnya hidup dalam jamaah. Penting adanya pemimpin dan pengatur (ulil amri) dan orang yang dipimpin, agar segala urusan terselesaikan dengan baik. Meskipun kita mengakui perbedaan adalah sebuah keniscayaan, dalam Al-Qur’an Allah menunjukkan dalam QS Al-Hujurat:

Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal…

Hal inilah yang mendasari pandangan setiap kita dalam menilai setiap sesuatu. Termasuk dalam hal penetapan hari raya Idul Fitri. Pilihannya hanya dua, apakah hari raya ini kita mendahulukan persatuan, ataukah kita menghargai perbedaan.  Kedua pandangan ini tidak akan pernah dapat kita pertemukan, karena ada yang memandang persatuan adalah dengan persamaan. Sementara yang lain, persatuan adalah toleransi dan bagaimana saling memahami perbedaan.

Dalam penetapan 1  Ramadhan dan Hari Raya Idul Fitri, perhatian kita selalu tersedot oleh wacana hisab dan ru’yah. Hisab adalah penentuan bulan baru dengan metode perhitungan astronomi dalam perputaran bulan mengelilingi bumi. Adapun ru’yah adalah metode penetapan awal bulan dengan melihat secara langsung. Akan panjang jika kita mengurai kedua metode tersebut. Opini ini pun akan selalu berulang setiap tahunnya. Akan tetapi intinya, kedua metode ini terkadang berbeda dalam penetapan awal bulan. Perbedaannya adalah ketika menurut perhitungan hisab, malam ini sudah masuk awal bulan, namun secara realitas hilal (bulan baru) masih sulit untuk dilihat. Di sinilah akan timbul perbedaan. Di mana jika hilal belum terlihat, maka dalam hadits yang lain disebutkan

Shumuu liru’yatihi wa aftiruu li ru’yatihi (berpuasalah jika melihatnya dan berbuka [beridul fitri]-lah jika melihatnya)

Yang dimaksudkan adalah hilal. Sehingga orang-orang ru’yah akan mencukupkan puasa menjadi 30 hari sebagaimana hadits yang lain, bahwa jika jika kita tidak melihatnya, maka dicukupkan menjadi 30 hari.

Memang Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, hanya beberapa kali shalat Idul Fitri dalam hitungan bulan 30 hari, selebihnya 29 hari. Akan tetapi kondisi atmosfer ribuan tahun yang lalu sangat berbeda dengan sekarang. Kalau dulu atmosfer masih bersih dan cerah, sehingga bulan baru dapat dilihat dengan jelas, adapun sekarang kondisi atmosfer sudah sangat buruk, banyak polusi dan ketidak teraturan iklim (kondisi awan) yang menyebabkan hilal sulit dilihat.

Terlepas dari perbedaan yang cukup panjang dan rumit mengenai pandangan hisab dan ru’yah, kita mengakui bahwa masyarakat resah akan perbedaan itu dan yang paling bertanggung jawab adalah ulil amri (pemerintah). Hingga di malam ke-30, masyarakat akan kebingungan. Masih lanjut tarwih ataukah dicukupkan dengan takbiran. Kondisi ini pun diper-rumit dengan keputusan yang terkadang lambat dari pemerintah dalam hal ini kementrian agama RI dalam rapat atau sidang itsbat. Sehingga dalam satu kecamatan, bahkan dalam skala desa masyarakat terbagi dua dalam perayaan shalat idul fitri mereka. Bahkan ada yang sampai tiga kali.

Menurut pandangan penulis, kita selalu akan berdebat setiap tahunnya tentang idul fitri dan awal ramadhan. Sehingga dengan demikian, seharusnyalah kita mengutamakan persatuan dalam perayaan ini. Kapan lagi kaum muslimin bersatu ?. Kita mungkin masih berbeda dalam hal perayaan lain (maulid, isra’ mi’raj, nishfu sya’ban, tahlilan, barzanji dan lain-lain), dan memang akan sulit dipertemukan berdasarkan padangan masing-masing aliran dalam islam. Akan tetapi kalau dalam masalah yang tidak ada perbedaan (khilaf) kita masih berbeda, kapan lagi umat islam bersatu ?. Untuk itu, sepantasnya dan seharusnya-lah bukan lagi wacana saling menghargai pendapat atau toleransi dalam penetapan hari iedul fitri, apalagi jika yang berbeda itu cuma satu atau dua ormas islam saja yang memilih hisab. Bukankah dalam perjalanan sejarah islam, terkadang sunnah itu tidak dilaksanakan karena pertimbangan persatuan umat ?.  Momen iedul fitri adalah momen persatuan, bukan saling menghargai pendapat. Karena jika dalam semua masalah khilaf kita selalu mengutamakan hargai perbedaan, maka tidak perlu ada diskusi, rapat dan sebagainya karena ujung-ujungnya kita akan selalu berbeda. Karena itu momen penetapan Iedul Fitri bukan mengutamakan dalil yasyuddu ba’duhum ba’d (saling menguatkan satu dengan yang lain), akan tetapi dalil wa’tashimu bihablillahi jamii-an, wala tafarraqu (dan berpeganglah kamu semua [kepada tali agama Allah}, dan janganlah kalian bercerai berai).

Persatuan adalah wajib hukumnya. Sedangkan Ibadah Iedul Fithri hukumnya masih diperselisihkan. Ada yang menganggapnya sunnah muakkadah. Tentu jika dua hukum yang bertemu ini yang paling pantas didahulukan adalah yang wajib dan tidak ada perbedaan di dalamnya.  Ibadah Iedul Fithri adalah ibadah umat islam, bukan ibadah ormas. Sehingga dengan mudah kita mengambil ketentuan sendiri. Persatuan dalam arti kebersamaan dalam persamaan sebenarnya adalah yang paling pantas untuk masalah ini.

Penulis bukan ingin membesar-besarkan atau mungkin memprovokatori perbedaan perayaan Iedul Fitri, apalagi sudah berlalu beberapa hari. Penulis hanya ingin mengungkapkan ide dan sekaligus menanggapi kondisi bangsa yang akhir-akhir ini terlalu demokratis. Sampai dalam perayaaan tertinggi pun konsep itu masih digunakan.
Penulis tidak tahu apakah ada intrik tertentu dalam masalah ini. Apakah hanya ingin dilihat bagaimana implementasi demokratisasi dan kebebasan dalam bangsa kita, ataukah ada yang lain.
Atau mungkin ini adalah bukti lemahnya kepemimpinan bangsa yang merupakan ciri dari krisis kepemimpinan.
Terkadang, kita b
utuh sosok pemimpin yang didengar dan dipatuhi oleh rakyatnya. Di saat yang sama kita juga rindu rakyat-rakyat yang tunduk patuh terhadap siapa pun yang menjadi pemimpinnya. Dan tentu semuanya akan terwujid jika masyarakat paham dan jauh dari kejahilan. Karena itu pembinaan masyarakat adalah hal yang sudah menjadi kebutuhan mendesak. Kalau memang kita menginginkan persatuan itu bisa terwujud.


Pondok Jaya, Mallengkeri
Selasa, 6 September 2011
Pukul 09.12 wita
Hari kedua kuliah perdana pasca kkn bone

(Tulisan ini bersifat lepas dan terbuka, siap menerima komentar)

No comments:

Post a Comment

 

Iklan Buku

Followers

Bincang-Bincang