Abu Adlan Faatih
Menghargai
perbedaan adalah hal yang juga merupakan sikap yang baik dalam perpektif
heterogenitas masyarakat Indonesia. Sama halnya dengan mengutamakan persatuan
dalam konsep dan perspektif sosial pula. Namun kali ini, Penulis ingin mengetengahkan
ide dalam menyikapi perbedaan yang selalu menjadi kontroversi dalam beberapa
kasus. Termasuk dalam hal penetapan Hari Raya Iedul Fitri umat islam.
Dua hari
raya umat islam yang tidak ada perbedaan dalam setiap ormas islam adalah Iedul
Fitri dan Iedul Adha. Kedua selebrasi ini adalah syiar yang menjadi momen
persatuan umat islam. Betapa tidak, esensi perintah ibadah ternyata juga menyiratkan
persatuan kaum muslimin. Dalam skala harian dan lingkup yang kecil, Shalat
berjamaah menekankan bagaimana pentingnya persatuan. Lima kali sehari semalam
kaum muslimin dalam radius tertentu bertemu dan berkumpul. Dalam lingkup yang
lebih besar, shalat jumat yang setiap pekan dilaksanakan. Begitu pula setiap
tahunnya, iedul fitri dan iedul adha kaum muslimin kembali dikumpulkan dalam
persamaan dan persatuan dalam skala yang lebih besar. Bahkan dalam skala global,
ibadah haji mengumpulkan umat islam yang berbeda ras dan warna kulit dari
seluruh penjuru negeri dalam satu kondisi yang sama melebur dalam satu tujuan
yang sama tanpa ada perbedaan.
Oleh karena
itu, pada hakikatnya islam mengajarkan bagaimana pentingnya hidup berjamaah.
Dalam shalat demikian tergambar begitu penting bagaimana pemilihan imam dan
larangan mendahuluinya, demikian halnya
kiblat yang mempersatukan arah hadap, sehingga umat islam teratur dalam gerakan
shalatnya. Waktunya pun ditentukan, sehingga tidak ada ruang untuk melakukan
shalat sesuai waktu yang diinginkan setiap person. Rasulullah shallallahu alaihi
wa sallam menyebutkan :
‘Alaikum Bil jamaah, fa inna assyathana ma’al wahid
(Hendaklah kalian berjamaah, karena sesungguhnya syaithan bersama dengan
seseorang yang bersendirian)
Masih
banyak hadits yang lain yang menyebutkan bagaimana pentingnya hidup dalam
jamaah. Penting adanya pemimpin dan pengatur (ulil amri) dan orang yang
dipimpin, agar segala urusan terselesaikan dengan baik. Meskipun kita mengakui
perbedaan adalah sebuah keniscayaan, dalam Al-Qur’an Allah menunjukkan dalam QS
Al-Hujurat:
Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan
seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya
kamu saling kenal-mengenal…
Hal inilah
yang mendasari pandangan setiap kita dalam menilai setiap sesuatu. Termasuk
dalam hal penetapan hari raya Idul Fitri.
Pilihannya hanya dua, apakah hari raya ini kita mendahulukan persatuan, ataukah
kita menghargai perbedaan. Kedua
pandangan ini tidak akan pernah dapat kita pertemukan, karena ada yang
memandang persatuan adalah dengan persamaan.
Sementara yang lain, persatuan adalah toleransi
dan bagaimana saling memahami perbedaan.
Dalam
penetapan 1 Ramadhan dan Hari Raya Idul
Fitri, perhatian kita selalu tersedot oleh wacana hisab dan ru’yah. Hisab
adalah penentuan bulan baru dengan metode perhitungan astronomi dalam
perputaran bulan mengelilingi bumi. Adapun ru’yah adalah metode penetapan awal
bulan dengan melihat secara langsung. Akan panjang jika kita mengurai kedua
metode tersebut. Opini ini pun akan selalu berulang setiap tahunnya. Akan
tetapi intinya, kedua metode ini terkadang berbeda dalam penetapan awal bulan. Perbedaannya
adalah ketika menurut perhitungan hisab, malam ini sudah masuk awal bulan,
namun secara realitas hilal (bulan baru) masih sulit untuk dilihat. Di sinilah
akan timbul perbedaan. Di mana jika hilal belum terlihat, maka dalam hadits
yang lain disebutkan
Shumuu liru’yatihi wa aftiruu li ru’yatihi (berpuasalah jika melihatnya dan berbuka
[beridul fitri]-lah jika melihatnya)
Yang
dimaksudkan adalah hilal. Sehingga orang-orang ru’yah akan mencukupkan puasa
menjadi 30 hari sebagaimana hadits yang lain, bahwa jika jika kita tidak
melihatnya, maka dicukupkan menjadi 30 hari.
Memang
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, hanya beberapa kali shalat Idul
Fitri dalam hitungan bulan 30 hari, selebihnya 29 hari. Akan tetapi kondisi
atmosfer ribuan tahun yang lalu sangat berbeda dengan sekarang. Kalau dulu
atmosfer masih bersih dan cerah, sehingga bulan baru dapat dilihat dengan
jelas, adapun sekarang kondisi atmosfer sudah sangat buruk, banyak polusi dan
ketidak teraturan iklim (kondisi awan) yang menyebabkan hilal sulit dilihat.
Terlepas
dari perbedaan yang cukup panjang dan rumit mengenai pandangan hisab dan
ru’yah, kita mengakui bahwa masyarakat resah akan perbedaan itu dan yang paling
bertanggung jawab adalah ulil amri (pemerintah). Hingga di malam ke-30,
masyarakat akan kebingungan. Masih lanjut tarwih ataukah dicukupkan dengan
takbiran. Kondisi ini pun diper-rumit dengan keputusan yang terkadang lambat
dari pemerintah dalam hal ini kementrian agama RI dalam rapat atau sidang
itsbat. Sehingga dalam satu kecamatan, bahkan dalam skala desa masyarakat
terbagi dua dalam perayaan shalat idul fitri mereka. Bahkan ada yang sampai
tiga kali.
Menurut
pandangan penulis, kita selalu akan berdebat setiap tahunnya tentang idul fitri
dan awal ramadhan. Sehingga dengan demikian, seharusnyalah kita mengutamakan
persatuan dalam perayaan ini. Kapan lagi kaum muslimin bersatu ?. Kita mungkin
masih berbeda dalam hal perayaan lain (maulid, isra’ mi’raj, nishfu sya’ban, tahlilan, barzanji
dan lain-lain), dan memang akan sulit dipertemukan berdasarkan padangan
masing-masing aliran dalam islam. Akan
tetapi kalau dalam masalah yang tidak ada perbedaan (khilaf) kita masih
berbeda, kapan lagi
umat islam bersatu ?. Untuk itu, sepantasnya
dan seharusnya-lah bukan lagi wacana saling menghargai
pendapat atau toleransi dalam penetapan hari iedul fitri, apalagi jika yang
berbeda itu cuma satu atau dua ormas islam saja yang memilih hisab. Bukankah
dalam perjalanan sejarah islam, terkadang sunnah
itu tidak dilaksanakan karena pertimbangan persatuan umat ?. Momen iedul fitri adalah momen persatuan,
bukan saling menghargai pendapat. Karena jika dalam semua masalah khilaf kita
selalu mengutamakan hargai perbedaan,
maka tidak perlu ada diskusi, rapat dan sebagainya karena ujung-ujungnya kita
akan selalu berbeda. Karena itu momen penetapan Iedul Fitri bukan mengutamakan dalil
yasyuddu ba’duhum ba’d (saling menguatkan satu dengan yang lain),
akan tetapi dalil wa’tashimu bihablillahi
jamii-an, wala tafarraqu (dan berpeganglah kamu semua [kepada tali agama Allah},
dan janganlah kalian bercerai berai).
Persatuan
adalah wajib hukumnya. Sedangkan Ibadah Iedul Fithri hukumnya masih
diperselisihkan. Ada yang menganggapnya sunnah muakkadah. Tentu jika dua hukum
yang bertemu ini yang paling pantas didahulukan adalah yang wajib dan tidak ada
perbedaan di dalamnya. Ibadah Iedul
Fithri adalah ibadah umat islam, bukan ibadah ormas. Sehingga dengan mudah kita
mengambil ketentuan sendiri. Persatuan dalam arti kebersamaan dalam persamaan
sebenarnya adalah yang paling pantas untuk masalah ini.
Penulis
bukan ingin membesar-besarkan atau mungkin memprovokatori perbedaan perayaan Iedul
Fitri, apalagi sudah berlalu beberapa hari. Penulis hanya ingin mengungkapkan
ide dan sekaligus menanggapi kondisi bangsa yang akhir-akhir ini terlalu demokratis. Sampai dalam perayaaan
tertinggi pun konsep itu masih digunakan.
Penulis
tidak tahu apakah ada intrik tertentu dalam masalah ini. Apakah hanya ingin
dilihat bagaimana implementasi demokratisasi dan kebebasan dalam bangsa kita,
ataukah ada yang lain.
Atau
mungkin ini adalah bukti lemahnya kepemimpinan bangsa yang merupakan ciri dari
krisis kepemimpinan.
Terkadang,
kita b
utuh sosok pemimpin yang didengar dan dipatuhi oleh rakyatnya. Di saat
yang sama kita juga rindu rakyat-rakyat yang tunduk patuh terhadap siapa pun yang
menjadi pemimpinnya. Dan tentu semuanya akan terwujid jika masyarakat paham dan
jauh dari kejahilan. Karena itu pembinaan masyarakat adalah hal yang sudah
menjadi kebutuhan mendesak. Kalau memang kita menginginkan persatuan itu bisa
terwujud.
Pondok Jaya, Mallengkeri
Selasa, 6 September 2011
Pukul 09.12 wita
Hari kedua kuliah perdana pasca kkn bone
(Tulisan ini bersifat lepas dan terbuka, siap menerima komentar)
No comments:
Post a Comment