Abu Adlan Faatih
Dalam orientasi dan Pembekalan Peserta Program
Kaderisasi Ulama DDII-BAZNAS di Ciawi, Bogor, KH Syuhada Bahri menuturkan
bahwa, “ada empat orang penggagas Organisasi Kesatuan Islam (OKI) dari beberapa
negara Islam. Raja Faishal dan Syaikh Bin Baz dari Saudi Arabia, Abu Hasan
An-Nadawi dari India, dan Abul A’la al-Maududi di Pakistan, dan Dr. Mohammad
Natsir, dari Indonesia”. Saya merasa terkejut, bahwa ternyata seorang tokoh
dunia yang sudah berpikir bagaiamana mengembangkan dan mempersatukan dakwah
Islam di tingkat dunia sudah diinisiasi oleh Dr. Mohammad Natsir. Dan ternyata
jika ditelusuri, seorang tokoh Mohammad Natsir, tentu tidak lahir begitu saja.
Proses itu sudah dimulai dari masuknya Islam di Indonesia. Abad ketujuh Masehi,
dalam teori yang dikemukakan HAMKA.
Jika kita mengambil melihat pada abad ke 14. Jejak
penyebaran islam sangat banyak. Yang terkenal adalah Wali Songo (wali sembilan)
yang aktif berdakwah di Nusantara dan terutama di wilayah Jawa. Dalam pertemuan
penulis dengan seorang Dosen IPB, beliau menuturkan bahwa Wali Songo[1]
sebenarnya melakukan dakwah bukan dengan inisiatif pribadi, akan tetapi mereka
adalah jaringan yang tergabung dalam satu rencana ekspansi dakwah di tanah air.
Mereka adalah dai kiriman yang berusaha mengislamisasi nusantara. Bahkan menurut
Ahmad Mansur Surya Negara, dai yang juga dikenal sebagai Wali itu sebenarnya sudah
memulai dakwahnya setelah islam sudah berkembang yang ditandai dengan
berdirinya kekuasaan politik Islam. Hasilnya, ketika ekspedisi imperialisme
Barat menjalar sampai di Indonesia, perlawanan yang tercatat adalah
kebanyakannya dari para ulama. Salah satu perlawanan yang dilakukan terhadap
penjajah adalah perlawanan Pangeran Diponegoro. Disebutkan beliau mendapat
dukungan (menurut Peter carey) 108 Kiyayi, 31 Hadji, 15 Syaikh, 12 penghulu
Yogyakarta dan 4 Kiai guru tasawuf[2].
Selain itu sangat banyak kita temui nama-nama pahlawan, yang merupakan Ulama. Kiayi
Modjo, di yang dibuang ke Minahasa, Sentot Alibasah Prawirodirdjo, di Madiun,
Imam Bonjol di sumatera selatan. Sultan Agung, mataram, Sultan Hasanuddin,
Makassar dan lain-lain.
Kembali ke Mohammad Natsir. Beliau adalah tokoh
muslim (masyumi), ulama dan negarawan. Perdana menteri pertama Indonesia yang
menguasai sembilan bahasa. Dalam sebuah kesempatan Khutbah jumat di Masjid
Negara Kuala Lumpur, Malaysia (30 Juli 1976), beliau mengutarakan tujuh faktor
yang membangun ketahanan Nasional.
Kajian itu beliau ambil dari hadits Nabi Shallallahu
alaihi wasallam, “Ada tujuh golongan manusia yang mendapat perlindungan dari
Allah pada hari di ketika tidak ada perlindungan, yaitu : Imam yang adil,
Pemuda yang tumbuh dalam ibadah kepada Allah, orang yang selalu hatinya terpaut
di masjid, orang yang saling mengasihi
karena allah baik ketika berkumpul maupun ketika berpisah, seseorang yang
berdzikir kepada Allah sendirian, kemudian mengalirlah air matanya, seorang
lelaki yang digoda oleh wanita berkedudukan dan cantik kemudian ia berkata, aku
takut kepada Allah tuham pemelihara semesta dan seseorang yang besedekah dengan
sembunyi-sembunyi sehingga tangan kirinya tidak melihat shadaqah tangan
kanannya (HR Bukhari Muslim)
Tujuh komponen kata beliau adalah pilar yang akan
membangun ketahanan Nasional. Awalnya saya ‘agak’ bingung. Karena hadits
tersebut adalah hadits yang lebih banyak berbicara tentang kualitas individu dan
lebih khusus lagi iman. Ya, bagaimana mungkin konsep kenegaraan itu dibangun
dengan hadits yang (saat itu) menurut saya adalah hadits tentang padang mahsyar,
pasca kiamat. Sementara diskusi kenegaraan itu harus membahas anggaran,
kekuatan militer, politik dan manajemen administrasi publik, dan lain-lain.
Akan tetapi, ketika mulai belajar Islamic Worldview,
ternyata itu baru terungkap. Saya baru mengetahui (dan sangat yakin), bahwa
indikator-indikator yang dibangun dalam menjelaskan ketahanan dan kemajuan
negara adalah indikator materialistik. Semuanya adalah hasil cara pandang Barat,
dan dipaksakan untuk diakui oleh mereka di negara-negara muslim. Bahwa dengan
ketercapaian indikator itulah, sebuah negara akan maju.
Padahal pilar penyangga ketahanan nasional sudah
disiapkan perangkatnya oleh Islam. pertama yang menyangga ketahanan negara
adalah pemimpin yang adil. Karena keadilan adalah asas dari setiap penyelenggaraan
negara yang kuat. Bagaiaman Umar bisa merasakan ketenangan bernanung di bawah
pohon sementara Ia menjabat Khalifah, adalah karena keadilan. Di semua sisi,
hukum, hak asasi, dan politik. Sehingga akan tumbuhlah rasa solidaritas. Kepercayaan
dari rakyat, dan akuntabilitas dari pemerintah.
Yang kedua adalah, pemuda yang tumbuh dalam ibadah
kepada Allah. Pemimpin tidak akan selamanya mendampingi rakyatnya, karena
itulah diperlukan generasi yang melanjutkan kepemimpinan. Dan estafet itu ada
di tangan pemuda. Kata beliau, “generasi muda yang terpelihara tujuan hidupnya,
akhlak budi pekertinya dari segala macam penyelewengan dunia”. Generasi yang
memiliki iman yang kuat, adalah gudang tenaga yang positif, yang mampu memikul
yang berat, dan menjemput yang jauh.
Yang ketiga adalah, orang yang hatinya selalu
terpaut dengan masjid. Ini menunjukkan ada peran masjid sebagai basis pembinaan
mental. Masjid berfungsi sebagai tempat yang menempa hubungan jiwa dengan sang
Khalik, hubungan ukhuwah-sosial, dan hubungan sesama hamba. Dunia dan
ukhrawinya. Ini juga diakui oleh Syaikh Prof. Dr. Nashir bin Sulaiman al-Umar,
bahwa salah diantara kemunduran umat adalah berkurangnya peran masjid. Padahal
masjid adalah tempat rasulullah menjawab fatwa. Tempat penyelesaian sengketa, tempat
majelis ilmu, bahkan tempat latihan perang.
Yang keempat, adalah orang yang saling mengasihi
karena Allah. Ini menunjukkan terbinanya hubungan yang harmonis diantara
masyarakat. Pribadi-pribadi rakyat adalah
bersedia menghadapi sakit dan senang, sama-sama rela berkorban dan
saling menanggung. Dan itu merupakan modal kunci terjaminnya keamanan sosial.
Sehingga masyarakat akan damai dan tenteram. Karena perasaan yang tersebar
adalah saling memahami, tidak iri dan dengki, dan saling mencintai.
Yang kelima adalah orang yang berdzikir kepada Allah
sendirian, kemudian mengalirlah air matanya. Pribadi-pribadi yang diwaktu sepi
dan sunyi di tengah malam, saat semua terlelap,
ia bangkit dan mengingat Allah. Beroda untuk kemaslahatan masyarakat.
Yang keenam, seorang lelaki yang digoda oleh wanita
yang cantik dan berkedudukan, namun berkata Aku takut kepada Allah Tuhan
pemelihara semesta. Masyarakat itu adalah masyarakat yang bersih dari
kemaksiatan, kebal dari segala macam tipu daya dan makar untuk meruntuhkan
akhlak dan budi pekerti umat. Masyarakat yang memiliki ketangguhan iman. Kekuatan
fikrah dan pengetahuan yang mendalam. Sehingga cara-cara kotor, untuk
melumpuhkannya dapat diatasinya.
Yang ketujuh, seorang yang besedekah secara
sembunyi-sembunyi, sehingga tangan kirinya tidak melihat shadaqah dari tangan
kanannya. Seorang hartawan yang dermawan, berkorban namun tidak riya. Diam-diam
dan dengan ikhlas. Artinya, satu kelompok masyarakat membutuhkan hadirnya
elemen para hartawan yang bisa menimbun jurang antara si Kaya dan si Miskin. Dan
ini menunjukkan betapa sisi ekonomi juga diperhatikan dan menjadi tonggak dalam
kekuatan dan ketahanan negara. Masyarakat yang bersih dari sifat serakah, tamak
dan mementingkan diri dan kekuasaan.
Tujuh elemen ini masing-masing mewakili pemimpin,
generasi muda, hartawan dan ekonom, masjid dan ulama. Yang berarti, pilar
kekuatan bangsa telah dirumuskan, bagaimana bentuk dan tujuannya. Mereka yang
menjadi pilar itu, tidak hanya akan menwujudkan ketahanan nasional. Akan tetapi
juga diberi perlindungan di yaumil mahsyar, karena telah menyangga umat dari
makar, kemunkaran, dan kesenjangan ekonomi.
Wallahu waliyu at-taufiq.
Bogor, 12 Muharram 1436 H/
5 November 2016 M
Pkl. 09.41 WIB
Disarikan dari Kolom Nostalgia “Ketahanan Nasional”, Majalah Suara
Islam,edisi 188 tanggal 1-15 Dzulhijjah 1435 H / 26 September – 10 Oktober 2014
M, hal 20-21
No comments:
Post a Comment