Penduduk Babilonia memiliki tradisi, setiap tahunnya
mereka keluar kota beramai-ramai pada suatu hari raya yang mereka anggap
sebagai hari keramat. Berkemah dan membawa perbekalan untuk beberapa hari.
Mereka bersuka ria dan bersenang-senang sambil meninggalkan kota-kota mereka
kosong dan sunyi. Mereka berseru dan mengajak semua penduduk agar keluar
meninggalkan rumah dan turut beramai -ramai menghormati hari-hari suci itu.
"Inilah dia kesempatan yang kunantikan."
kata hati Ibrahim tatkala melihat kota sudah kosong dari penduduknya, sunyi
senyap tidak terdengar kecuali suara burung-burung yang berkicau, suara
daun-daun pohon yang gemerisik ditiup angin kencang. Dengan membawa sebuah
kapak ditangannya ia pergi menuju tempat beribadatan kaumnya yang sudah
ditinggalkan tanpa penjaga, tanpa juru kunci dan hanya deretan patung-patung
yang terlihat diserambi tempat peribadatan itu. Dihancurkannya patung-patung
dengan kapak yang berada di tangannya. Dan beliau meningglkan Patung yang besar
secara utuh. Pada lehernya, Ibrahim mengalungkan kapak.
Terperanjat dan terkejutlah para penduduk, tatkala
pulang dari berpesta ria di luar kota dan melihat keadaan patung-patung,
tuhan-tuhan mereka hancur berantakan dan menjadi potongan-potongan
terserak-serak di atas lantai. Bertanyalah satu kepada yang lain dengan nada
heran dan takjub: "Gerangan siapakah yang telah berani melakukan perbuatan
yang jahat dan keji ini terhadap tuhan-tuhan persembahan mereka ini?"
Berkata salah seorang di antara mereka:"Ada kemungkinan bahwa orang yang
selalu mengolok-olok dan mengejek persembahan kami yang bernama Ibrahim itulah
yang melakukan perbuatan yang berani ini." Seorang yang lain menambah
keterangan dengan berkata:"Bahkan dialah yang pasti berbuat, karena ia
adalah satu-satunya orang yang tinggal di kota sewaktu kami semua berada di
luar merayakan hari suci dan keramat itu." Selidik punya selidik, akhirnya
terdapat kepastian yang tidak diragukan lagi bahwa Ibrahimlah yang merusakkan
dan memusnahkan patung-patung itu. Rakyat kota beramai-ramai membicarakan
kejadian yang dianggap suatu kejadian atau penghinaan yang tidak dapat diampuni
terhadap kepercayaan dan persembahan mereka. Suara marah, jengkel dan kutukan
terdengar dari segala penjuru, yang menuntut agar si pelaku diminta bertanggungjawab
dalam suatu pengadilan terbuka, dimana seluruh rakyat penduduk kota dapat turut
serta menyaksikannya.
Memang itulah yang diharapkan oleh Ibrahim agar
pengadilannya dilakukan secara terbuka di mana semua warga masyarakat dapat
turut menyaksikannya. Karena dengan cara demikian beliau dapat secara
terselubung berdakwah menyerang kepercayaan mereka yang bathil dan sesat itu,
seraya menerangkan kebenaran agama dan kepercayaan yang ia bawa, kalau di
antara yang hadir ada yang masih boleh diharapkan terbuka hatinya bagi iman
dari tauhid yang ia ajarkan dan dakwahkan. Hari pengadilan ditentukan dan
datang rakyat dari segala pelosok berduyung-duyung mengujungi padang terbuka
yang disediakan bagi sidang pengadilan itu.
Ketika Ibrahim datang menghadap Namrudz yang akan
mengadili ia disambut oleh para hadirin dengan teriakan kutukan dan cercaan,
menandakan sangat gusarnya para penyembah berhala terhadap beliau yang telah
berani menghancurkan persembahan mereka. Ditanyalah Ibrahim oleh
Namrud:"Apakah engkau yang melakukan penghancuran dan merusakkan
tuhan-tuhan kami?" Dengan tenang dan sikap dingin, Ibrahim
menjawab:"Patung besar yang berkalungkan kapak di lehernya itulah yang
melakukannya. Coba tanya saja kepada patung-patung itu siapakah yang menghancurkannya."
Namrudz pun terdiam sejenak. Kemudian beliau
berkata:" Bukankah engkau tahu, bahwa patung-patung itu tidak dapat
berbicara dan berkata ?. Mengapa engkau meminta kami bertanya kepadanya?".
Terbentangkan kebathilan persembahan mereka. Terungkaplah kesesatan yang selam
inimereka lindungi dan pertahankan. Ibrahim dengan logika sederhana berkata, "Jika
demikian halnya, mengapa kalian menyembah patung yang tidak dapat berkata,
tidak dapat melihat dan tidak dapat mendengar, tidak dapat membawa manfaat atau
menolak mudharat, bahkan tidak dapat menolong dirinya dari kehancuran dan
kebinasaan?”
Secara tidak langsung, nalar mereka telah
mendapatkan fluks sengatan yang menggoncang alam bawah sadar mereka. Secara tidak langsung, Mereka sebenarnya seperti
dimaki, “Alangkah bodohnya kamu dengan kepercayaan dan persembahan kamu itu!
Tidakkah dapat kamu berfikir dengan akal yang sehat bahwa persembahan kamu
adalah perbuatan yang keliru yang hanya difahami oleh syaitan. Mengapa kamu
tidak menyembah Tuhan yang menciptakan kamu, menciptakan alam sekeliling kamu
dan menguasakan kamu di atas bumi dengan segala isi dan kekayaan. Alangkah hina
dinanya kamu dengan persembahan kamu itu". Namun itu secara tidak
langsung.
Sebuah argumen yang menunjukkan kepiawaian retoris
beliau memperjuangkan keyakinan yang suci.
Episode Iraq dan Syam; Menyucikan Diri dan Lingkungan dari Berhala Bulan,
Bintang dan Matahari
Pada masa Ibrahim, kebanyakan rakyat di
Mesopotamia beragama politeisme. Menyembah lebih dari satu Tuhan dan menganut
paganisme. Dewa Bulan atau Sin merupakan salah satu berhala yang paling
penting. Bintang, bulan dan matahari menjadi objek utama penyembahan dan
karenanya, astronomi merupakan bidang yang sangat penting.
Dalam alkitab (kitab kejadian) menceritakan
tentang pencariannya dengan kebenaran. Pada waktu malam yang gelap, beliau
melihat sebuah bintang (bersinar-sinar), lalu ia berkata: "Inikah
Tuhanku?" Kemudian apabila bintang itu terbenam, ia berkata pula:
"Aku tidak suka kepada yang terbenam hilang". Kemudian apabila dilihatnya
bulan terbit (menyinarkan cahayanya), dia berkata: "Inikah Tuhanku?"
Maka setelah bulan itu terbenam, berkatalah dia: "Demi sesungguhnya, jika
aku tidak diberikan petunjuk oleh Tuhanku, nescaya menjadilah aku dari kaum
yang sesat". Kemudian apabila dia melihat matahari sedang terbit
(menyinarkan cahayanya), berkatalah dia: "Inikah Tuhanku? Ini lebih
besar". Setelah matahari terbenam, dia berkata pula: "Wahai kaumku,
sesungguhnya aku berlepas diri (bersih) dari apa yang kamu sekutukan (Allah
dengannya)". Inilah daya logika yang dianugerahi kepada beliau dalam
menolak agama penyembahan langit yang dipercayai kaumnya serta menerima tuhan
yang sebenarnya.
Dalam petikan ayat quran di atas, terurai metode
yang begitu hikmah.
Metode jidaal, tanpa menciderai lawan.
Metode yang membuat lawan bertekuk lutut tanpa pukulan. Metode yang menyingkap
kelemahan lawan, dan menunjukkan kebenaran argumen yang dibawanya.
Bulan, Bintang, dan Matahari adalah benda langit
yang tak punya daya dan upaya. Ia hanya beredar menurut sunatullah yang telah
digariskan allah. Mereka bergerak dalam sumbu rotasi, dan tidak akan saling
mendahului, satu dengan yang lain. Setia mereka sudah ada kadar ketetapan dari
yang maha menetapkan.
Maka dalam episode ini. Beliau menyucikan dirinya
dari benda-benda di luar bumi. Bukan lagi kayu dan batu. Tapi kejahilan yang
sedikit lebih modern. Bintang, bulan dan matahari. Namun semuanya tetap
terbantah dengan kecerdasan dan kelihaian beliau mempertautkan fikrah yang
bersih, tekad yang kuat, dan metode yang tepat. Sangat jarang orang yang mampu
mempertemukan tiga tali ini.
Maka sebenarnya, keyakinan tentang astrologi.
Keyakinan yang menghibungkan antara jodoh, rezeki bahkan nasib dengan bulan dan
hitungan-hitungan bulan adalah pembualan. Tidak lain adalah was-was syaithan. Dan
kejahilan itu, jauh telah dilakukan oleh kaum Nabi Ibrahim. Berarti jika masih
terulang, maka sebenarnya manusia telah kembali ke masa kejahilan itu. Apapun
metode, sarana dan bentuknya.
Nabi Ibrahim jauh lebih maju dan modern kehidupannya
dibandingkan orang yang hidup di zaman sekarang dengan memperpegangi keyakinan
seperti itu.
Episode Makkah; Penyucian Diri dari Berhala Istri dan Anak
Setelah menyucikan diri dari Berhala Kayu, Batu
dan Benda Langit, ternyata masih ada episode yang jauh lebih berat. Ujiannya
bukan tentang benda bumi, atau langit. Tapi pembuktian cinta yang hakiki. Cinta
kepada lawan jenis. Cinta kepada sebaik-baik perhiasan. Cinta kepada kekasih
dunia. Istri dan anak-anak.
Ketika beliau diperintahkan untuk hijrah dari Iraq
dan Syam, datang ke sebuah tempat yang gersang, sunyi tak berpenghuni untuk meninggikan
Rabbnya di Baitul Atiq, beliau harus melawan godaan yang sangat berat dari
dirinya sendiri. Siapa yang mau tinggal di sebuah lembah tandus tak berpenghuni
?. Bahkan ia harus meninggalkan istrinya, Siti hajar ?. Kecintaan manusiawi.
Tapi beliau kembali berhasil melalui ujian
perintah tuhannya. Beliau menitipkan istrinya, kepada Allah. Karena Dialah
sebaik-baik penjaga.
Belum selesai ujian yang satu, datang kembali
ujian yang lain. Kurbankan anak kesayang yang telah lama ia nanti-nanti.
Sungguh amat berat ujian yang dihadapi oleh Nabi
Ibrahim, namun sesuai dengan firman Allah yang bermaksud, "Allah lebih
mengetahui di mana dan kepada siapa Dia mengamanatkan risalahnya." Nabi
Ibrahim tidak membuang masa lagi, berazam tetap akan menyembelih Nabi Ismail
puteranya sebagai qurban sesuai dengan perintah Allah yang telah diterimanya.
Inilah ujian yang sebenarnya paling berat. Karena
ia menuntu kecintaan yang paling murni. Paling bersih dan tidak tercampuri
dengan kecintaan kepada makhluk, sedikitpun. Bahkan sampai pada kekasih yang
Allah sendiri pertautkan hati kita dengannya. Istri dan anak.
Namun, karena kesempurnaan tauhidnya, Allah
menolongnya sekali lagi dengan mengganti Ismail dengan seekor domba.
Betapa banyak para misioner dakwah yang bertekuk
lutut di depan istri dan anak-anaknya. Betapa banyak para da’i yang tak mampu
menanggung ujian kecintaan kepada istri dan anak-anak.
14. Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada
apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari
jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak[1]
dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah
tempat kembali yang baik (surga).
Tauhid,
adalah misi terbesar setiap Nabi dan Rasul. Di dalamnya meliputi keteraturan
untuk tunduk sepenuhnya kepada Allah. Jiwa, kehendak, aturan keluarga,
masyarakat sampai pada tata kelola negara dan perundang-undangan. Dan kita-lah
yang kini wajib untuk meneruskan perjuangannya (elfaatih).
Maraji’ (dari berbagai sumber)
[1] Yang dimaksud dengan binatang ternak di sini ialah
binatang-binatang yang termasuk jenis unta, lembu, kambing dan biri-biri.
No comments:
Post a Comment