(6/2/13-LPaQ) - Thuk…Thuk… Thuk…Thuk…………. Suara
roda kereta api terdengar bising di telinga. Stasiun Lempuyangan, Kota
Yogyakarta, pagi pukul 09.00, kereta Ekonomi/C Logawa
sesuai jadwal akan berangkat menyusuri rel menuju Surabaya. Tiga orang
kader LIDMI akan segera menempuh perjalanan selama enam jam, menuju kota
terbesar kedua di Indonesia itu. Stasiun Gubeng II, Kota Surabaya.
Di sepanjang
perjalanan hanya terlihat hamparan sawah yang begitu luas. Sangat terlihat
betapa negeri ini kaya. Sebuah potensi terpendam yang masih saja tidur. Perjalanan
ditempuh selama enam jam, melewati beberapa stasiun kecil, seperti Madiun
(tempat terjadinya tragedi G30S/PKI), Jombang (Kota pesantren), dan stasiun
Mojokerto . selama di kereta, para utusan Kader LIDMI menikmati perjalanan.
Sesekali mereka membuka What’s Up dan
memantau perkembangan berita di Group LIDMI. Yang lainnya sibuk membaca buku, Grand
Design, karya Stephen Hawking dan Leonard Mlowdinow. Sebuah karya yang
memperbincangkan campur tangan tuhan dalam rancang agung alam semesta.
Sebagaimana
kendaraan kelas ekonomi, dipenuhi penumpang. Sesekali terdengar teriakan, “gethuk
Pisang, gethuk Pisang… ”. “Nasi Pecel, Nasi Pecel, (baca: Pecchel)”, atau nasi
jenis yang lain “nasi rames, nasi rames”. Terkadang, semilirnya hawa sejuk AC
membuat mereka tertidur, dan dibangunkan oleh Cleaning Service, Pengamen, atau
mungkin para penjual yang telah mengantri dan menanti setiap kereta yang
singgah di stasiun.
Tepat Pukul
03.00 wita, mereka sampai di stasiun Gubeng, Surabaya. Cara membaca nama
stasiun ini sedikit unik. Cara membaca e-nya tidak sama pada kata elang. Tapi e
pada kata Bengkulu. Suku mayoritas di Provinsi Jawa Barat mayoritas adalah suku
Jawa. Namun, juga terdapat sedikit perbedaan dialeg dengan Jawa tempat bertolak
mereka (Yogya). Kalau di Yogya, kalimat negasi ditandai dengan penggunaan kata
“ora”, yang berarti tidak. Kalau di sini, “ghak”. Huruf g-nya mendekati makhraj
huruf “k”.
Setelah
menjamak-qashar Dhuhur dan Ashar, mereka menunggu jemputan al-akh Ahwan Muru,
Alumni 07 PNUP yang sekarang sedang menyelesaikan TA-nya di Teknik Elektro ITS.
Sebenarnya komunikasi sebelumnya telah dijalin dengan akh A. M. Ikhwan, Teknik
Komputer. Namun Ia masih berada di Makassar, dan akan kembali tanggal 6
Februari.
Istiqbaalan Jamiilan, kata
orang arab. Sambutan hangat. Pertemuan itu seperti biasa didahului
dengan senyum, salam, sapa dilanjutkan dengan CIPIKA-CIPIKI. Sebuah pertemuan
yang selalu dirindukan.
“Ada Tujuh golongan yang
mendapatkan naungan Allāh pada hari tiada naungan kecuali naungan dari-Nya: 1.
Seorang pemimpin yang adil. 2. Pemuda yang tumbuh dalam ketaatan beribadah
kepada Allāh. 3. Seorang lelaki yang hatinya bergantung di masjid. 4. Dua orang
yang saling mencintai karena Allāh; mereka bertemu dan berpisah karena-Nya. 5.
Seorang lelaki yang diajak [berbuat keji] oleh perempuan yang berkedudukan
serta berparas cantik, lantas dia berkata: “Aku takut kepada Allah.” 6. Seorang
lelaki yang bersedekah seraya dia sembunyikan sampai-sampai tangan kirinya
tidak mengetahui apa yang diinfakkan oleh tangan kanannya. 7. Dan seorang
lelaki yang berdzikir/mengingat Allāh dalam keadaan sendirian lalu mengalirlah
air matanya.” (HR. Bukhari: 660 dan Muslim: 1031)
Mereka langsung dipesankan taksi dari stasiun menuju kost akh ahwan.
Sekitar 20 menit dengan macetnya. Menjelang Maghrib, mereka menuju mesjid Kampus ITS. Setelah
sempat bertemu dengan seorang ikhwa alumni MAN 2 Model Makassar, yang melanjutkan
studinya di Jurusan Fisika ITS, angkatan 2013.
Potensi Dakwah
Daerah Surabaya dirintis oleh Ust. Syamsuddin Kurru, dua tahun yang
lalu. Beliau datang tidak mengenal siapa pun di daerah ini. Namun dengan
kegigihan. Sekarang sudah terbentuk DPD dan diketuai oleh Ust. Dodi, Alumni
STIBA Makassar.
Kondisi kampus ITS, menurut akh Ahwan sangat potensial. “tidak ada
yang menguasai di sini”, pungkasnya. Hanya saja intervensi birokrasi sangat
kental terhadap aktivitas LK, sehingga antusiasme berlembaga sangat minim.
Hanya Jurusan yang banyak melakukan kegiatan. Mahasisawa secara umum bercorak
akademis. Dan secara gerakan pun, belum ada yang mendominasi. Jamaah Masjid
manarul Ilmi ITS atau yang dikenal JMMI sebagai LDK juga belum memiliki bentuk
manhaj yang jelas. Masih sangat terbuka untuk menerima segala macam fikrah. Begitu
pula masjid kampusnya yang ukurannya kurang lebih sama dengan masjid Kampus
UNHAS atau masjid Salman ITB.
Kajian-kajian yang aktif banyak diisi dari ustadz “salafi”. Isu di
kader pun masih sangat klasik jika tidak aktif tarbiyah. Isu syubhat tarbiyah
dan semacamya. Selain itu, karena mayoritas Nahdiyyin, tantangannya juga lebih
berat.
Ada beberapa Jurusan dan fakultas di ITS, yang terletak di Surabaya
Timur ini. Diantaranya FMIPA, dan Jurusan Komputer. Selain itu ada dua
Politeknik yang beraung di bawah ITS. PENS (Politeknik Negeri Surabaya), PPNS
(Politeknik Pelayaran Negeri Surabaya).
Jauh berbeda dengan dua kampus sebelumnya. Di ITB, antusiasme
mahasiswa dalam LK sangat besar, begitu pula di UGM. Di sini sebagian besar,
masih acuh tak acuh dalam kegiatan LK.
Tapi, “di sini sangat besar potensinya, tinggal ikhwa harus banyak
konsolidasi”, pungkas Ahwan.
Kendala Dakwah
Kendala yang paling dirasakan di sini adalah, persoalan kualifikasi.
Ust. Affandy hamid, Mahasiswa teknik Sipil PPs UGM menyatakan beberapa waku
yang lalu bahwa sebaiknya Da’i Kiriman di Kota terbesar kedua di Indonesia ini
seharusnya punya kualifikasi yang cukup. Selain muawashafat islami, Ia juga
harus memiliki kemampuan manajerial yang handal. Selain itu, perhatian dari DPP
WI juga harus tetap intensif, karena pengiriman da’I terakhir ke daerah ini
sekitar satu bulan yang lalu.
Beberapa peyebab kegiatan dakwah kurang aktif adalah, para kader
yang menjadi pengurus di daerah ini adalah mahasiswa yang juga mencari ma’isyah. Di pagi hari mereka kuliah,
sementara di malam hari bekerja. Sangat minim waktu yang bisa diluangkan untuk
dakwah.
Kunjungan LIDMI ke Surabaya, disambut hangat oleh Ust. Doddy
Priambodo. Sempat pula bertemu dengan Dr.Eng. Kaharuddin, alumni SMAN 2
Makassar yang juga teman kelas Ust. Muhammad Yusran Anshar, Lc., MA. Dan tentu
ini merupakan potensi besar pengembangan dakwah ke depan, apalagi beliau
termasuk memiliki ghirah yang tinggi dan perhatian terhadap islam. Beliau juga
punya perhatian terhadap pendidikan islam. Dan sekarang mengaku bersama timnya
sedang menggarap kurikulum pembelajaran ilmu umum untuk disederhanakan. “Sekarang
saya sedang membangun pesantren di Mojokerto, yang jadi masih Masjidnya”. Dan
saat ditemui, beliau mengutarakan visinya untuk membangun pesantren berbasis
home schooling, dan punya basis al-qur’an yang kuat. Oleh karena itu, dalam
waktu dekat beliau hendak menyelenggarakan seminar Metode 40 Hari Menghafal Al-qur’an,
metode yang sudah dikembangkan di Makassar sebagai sosialisasi awal.
Konsolidasi ini menghasilkan beberapa hal. Diantaranya,
kesiapan kader ITS untuk memfasilitasi pertemuan utusan LIDMI dengan LDK
Kampus. Selain itu pula, kader ITS kembali siap untuk mengikuti TUNAS III LIDMI
nantinya.
Tim LIDMI ini berpencar setelah bermalam. Akhyar kembali ke
Makassar. Dimas, kembali ke Jogja, tanggal 5 Februari. Dan esoknya Syamsuar
bersama Ust. Dodi menuju Jogja untuk mengikuti Diklat Murabbi (elfaatih).
No comments:
Post a Comment