Cari

SAMPAI JUMPA DI PUNCAK !*

Monday, 6 May 2013




Saudaraku, Bergegaslah !. Segeralah menjejak bumi. Tanah-tanah itu masih basah. Ia menanti hangatnya sentuhan telapak kakimu.
Ayungkan dayungmu. Biarkan biduk kecil ini menghempas ombak-ombak yang angkuh. Taklukkan kesombongannya. Arungilah lautan hingga engkau temukan setiap tepinya menemui budaya dan adat baru. Jiwamu sedang mendidih ingin menguapkan rasa ingin tahu seorang Ibnu bathutah menjelajah negeri antah berantah.
Melompatlah, berenang bersama lumba-lumba, menembus dalamnya samudera biru dengan impian di dadamu. Masuki sela-sela karang. Bermain bersama ikan pari, dan berlari menghindari ikan hiu. Serta tertawa bersama cumi-cumi yang lucu.
Terbanglah bersama burung-burung pelipis. Bermain bersama burung camar, menukik indah bersama elang laut. Saat matahari tengah berada di ufuknya. Kejarlah mentari itu dengan kedua sayap mungilmu. Terbang menghindari semburat cahayanya. Lalu berlindung di awan-awan nimbus.
Dan biarkan dirimu jatuh bersama tetes-tetes hujan yang dingin bersama salju yang putih. Terjun berhembus bersama angin yang mengarakmu ke puncak gunung tertinggi. Kemudian mengalir turun bersama gletser ke muara danau di dunia.

MARI MENJADI “GURU” !

Friday, 3 May 2013




Siang itu, peluh muncul menyerupai butiran-butiran embun di kening para murid. Mereka gugup gemetar, seperti budak tak berkutik di depan majikannya. Sebuah tamparan keras baru saja mendarat di wajah seorang diantara mereka. Siddiq, Siswa kelas XI salah satu SMA di Makassar. Korban berikutnya yang tidak mengerjakan PR, terpaksa harus menjadi bulan-bulanan Guru Olahraganya. Bagi Siddiq, kelas seperti tempat luapan kekejaman guru. Setiap guru yang masuk, seperti “monster ganas” yang akan melumat habis tulang-tulang mereka. Kelasnya bagaikan “bengkel ketok magic”. Isinya seperti kendaraan-kendaraan habis kecelakaan. Hampir seluruh murid juga pernah mengalami tekanan mental. Murid sudah menjadi objek emosi guru di kelas. Murid tidak mendapat porsi mengembangkan idenya. Mereka hanya terus dibebani tugas-tugas tanpa pernah diajar mengapa ia mesti mengerjakannya. Gambaran ini menyiratkan bahwa cara mendidik guru butuh pembenahan.
Harus ada upaya perbaikan cara mendidik. Betapa menyakitkannya sebagian guru yang mengajar tanpa memperhatikan perasaan siswanya. Padahal, siswa bukanlah sebatang kayu yang siap dipahat menjadi sebuah patung pajangan. Ia adalah makhluk bernyawa yang memiliki perasaan untuk tumbuh dan berkembang mengenal arti kehidupan. Siswa tidak hanya memiliki ruang intelektual yang bisa dipuaskan dengan deretan teori logika, tapi ia juga memiliki ruang emosi yang mencari “makna”, bagaimana mendapatkan kebahagiaan dan kemuliaan.

JADIKAN KOS SEBAGAI MARKAS TARBIYAH

Thursday, 2 May 2013




(ALQOLAM-MINSEL)-Usai shalat maghrib, lamat-lamat suara denting lonceng gereja menyahuti suara imam di masjid yang telah salam. Beberapa gereja membunyikan secara bersamaan, hingga terdengar hampir di seluruh penjuru kompleks Kelurahan Ranoiyapo, Kecamatan Amurang, Kabupaten Minahasa Selatan. Kompleks di Kelurahan ini relatif tenang. Hanya ada beberapa pemuda yang berkumpul di pinggir jalan dan yang lainnya beberapa anak-anak yang sementara break dance mengikuti irama music disco dari HP mereka. Tapi, di sebuah kamar kos kecil, tepat di persimpangan jalan terdengar suara anak-anak beradu membaca al-qur’an. Meskipun tak sebesar suara lonceng gereja tadi, anak-anak itu sangat bersemangat melantunkan bacaan al-qur’an.
Mereka adalah anak-anak pilihan dari sekitar 7 % penduduk muslim Kabupaten Minahasa Selatan yang belajar agama. Selebihnya anak-anak Kristen. Meskipun demikian, tak mengurangi antusiasme anak-anak yang terdiri dari siswa SMA, SMP, dan SD, ada juga penjaga toko kelontong untuk memperbaiki bacaan al-qur’annya.
Di sini kelurahan ini, kondisi sosialnya cukup memprihatinkan. Tidak ada pembinaan yang terarah, serta peran sekolah tidak mampu membangun kepribadian anak-anak muslim. Sementara yang berjamuran adalah sekolah Kristen. Hal itu juga disebabkan keluarga-keluarga muslim yang tidak paham agama. Akhirnya anak-anak yang punya potensi berkembang, ruang geraknya sangat terbatas. Dari pemahaman Itulah, ust. Syamsuar, da’i asal Jeneponto yang bertugas di MINSEL, Amurang ini semangatnya dibangun. Meskipun tidak menetap dalam waktu yang lama, ia mengakui memang butuh ustadz yang lebih senior untuk datang membina di sini. Karena jamaah masjid masih agak terpetak-petak ke dalam organisasi, di tambah lagi masyarakat umum tidak sangat pragmatis dalam memilih wakil atau pemimpin mereka.
Di Kos yang berukuran 3 x 5 m Ust. Syamsuar Hamka, S.Pd. fokus membina mental anak-anak. Kamar yang bisa menampung dua orang ini setiap malamnya didatangi sekitar 11 orang anak setiap ba’da maghrib hingga isyadan setiap harinya semakin ramai. Menurutnya, dakwah umum di masjid kurang efektif. Apalagi dengan ceramah umum kalau ingin ‘membentuk’. Kalau memang mau menggalang simpatisan, langsung di datangi door-to-door. Tapi di sini sudah ada ikhwa di Jama’ah Tabligh. Jadi segmen yang diambilnya, adalah anak-anak. “Mungkin prosesnya lama, tapi paling tidak ini bisa berkontribusi terhadap pembentukan DPD di sini,  Karena mereka semua adalah asset masa depan”. Meskipun aktif membawakan kultum subuh, Ust. Syamsuar lebih fokus membina anak-anak dan mengarahkannya dengan tarbiyah yang setiap hari mereka laksanakan di kosnya sebagai markas. “Saya berharap, kos ini menjadi saksi dan tempat lahirnya orang-orang alim itu. Kos ini menjadi markas perubahan di Amurang”, pungkas da’i alumni UNM ini (elfaatih).

DAKWAH DI AMURANG; DARURAT DA'I




(ALQOLAM-MINSEL)-Setelah ust. Misykuddin, disusul ust. Supriadi, Ust. Marwan, dan Ust. Ridwan, kini giliran ust. Syamsuar menyambung tongkat estafet dakwah di Minahasa Selatan, Sulawesi Utara. Daerah tepatnya Kelurahan Ranoiyapo, Kec. Amurang, Kabupaten Minahasa Selatan. Beliau melajutkan program dakwah yang telah dirintis oleh para da’i sebelumnya. Kegiatannya seperti pembentukan halaqah tarbiyah untuk perempuan atau siswi-siswi SMA dan Dirosa, pembinaan baca al-qur’an untuk anak-anak, ruqyah dan bekam, serta Kultum setiap subuh di masjid.
Masyarakat sangat merespon kedatangan para da’i utusan Wahdah Islamiyah ini. Itu terbukti dari kegiatan Tabligh Akbar yang baru saja dilaksanakan dengan Tema “Torang Samua Basudara” oleh Ust. Syaibani Mujiono, S.Pd.I. (14/4/13) dihadiri tidak kurang dari 200 warga di Masjid Al-Mu’minun. Kedatangan para da’i WI selain pogramnya sangat menyentuh masyarakat, juga membantu ormas yang lain untuk bisa bekerja bersama-sama dalam memajukan Amurang. “Apalagi kondisi masyarakat di sini memang masih sangat membutuhkan dakwah dan pembinaan yang intensif”, kata Bapak Iskandar, tokoh masyarakat Amurang. Selain itu diakui juga bahwa, SDM masyarakat di sini masih sangat rendah, dikarenakan rendahnya antusiasme masyarakat terhadap pendidikan.
Jumlah populasi muslim di Kabupaten Minsel sekitar 7 %. Yang muslim adalah para pendatang yang kebanyakan dari suku Bugis, Jawa dan Gorontalo dan tinggal menetap di daerah ini. Karena minoritasnya, dan boleh dikatakan nyaris tidak ada sosok ulama atau ustadz yang bisa mengayomi masyarakat, sehingga membuat warga di sini sangat labil. Banyak anak yang tumbuh tanpa mengenal dengan baik agamanya. Bahkan ada yang pindah agama, karena pergaulan. Ketiadaan orang berilmu (ulama) diakui sendiri oleh warga. “imam masjid di sini de pe bacaan sudah bagus, tapi tidak bisa ceramah”, kata Ibrahim seorang jamaah masjid al-mu’minun. “jo ketua MUI di sini pun diangkat bukan karena de pe ilmu, tapi karena tak ada lagi orang yang bisa”, pungkasnya. Selain itu, komunitas muslim yang ada belum menunjukkan persatuan yang solid. Itu terbukti dari tidak kurang 35.000 penduduk muslimnya, tidak ada satu pun wakil rakyat beragama islam, semuanya nasrani.
Kebutuhan da’i juga diakui oleh Ibu Asry (25). “Warga di sini sangat butuh ustadz. Masih banyak orang tua yang butuh diobati. Kalau bisa ustadz yang datang ke sini, tinggal lama-lama. Kalau bisa buka klinik, dan tidak apa-apa ada tarifnya, warga siap membayar”, katanya. Ia juga mengakui kedatangan da’I Wahdah Islamiyah sangat bermanfaat, dari penuturannya sendiri, ia bersyukur telah sembuh dari penyakitnya. “Saya empat tahun tidak bisa jalan. Seperti ada rasa takut-takut kala bajalan. Alhamdulillah, setelah diruqyah sekali sama Ust. Marwan, jalan saya jadi normal kembali”, katanya. Lebih lanjut, “Di sini, warga sering sakit, sementara di bawa ke dokter, tidak tahu apa penyakitnya. Warga, sudah mau dibilang so capek pigi ke dukun”.
Kenyataan ini membuat para da’i semakin bersemangat untuk melanjutkan dakwahnya, serta bisa lebih dekat di masyarakat. Lewat program bekam, ruqyah, pengajian dan Dirosa serta tarbiyah, mereka berharap akan ada tumbuh generasi yang bisa mendekatkan masyarakat kepada agamanya. Sehingga bisa menyadarkannya akan pentingnya bertafaqquh fid-dien. Apalagi tantangan di sini ditambah, dengan giatnya juga aktivitas ke-gereja-an. Kumandang adzan maghrib dan subuh sering disahut oleh bunyi lonceng gereja. Hanya saja sampai saat ini, belum ada da’i yang siap ditempatkan untuk fokus. Yang datang hanya beberapa pekan, sementara warga sangat membutuhkan da’i yang bisa mereka tempati untuk bertanya dan mendengarkan arahannya (elfaatih).
 

Iklan Buku

Followers

Bincang-Bincang