Sebuah
bom jatuh dari langit. Di badan hulu ledaknya tertulis Little Boy. Bom
itu jatuh tepat di tengah sebuah kota dan meluluhlantakkan kota dalam sekejap.
Semua orang berlarian, dan terlihat asap pekat hitam membumbung ke angkasa. Bom
Hiroshima, telah dijatuhkan.
Begitulah
pemandangan awal, dalam trailer film Battle of Surabaya. Peristiwa Bom
Hiroshima tanggal 6 Agustus 1945 mendorong bangsa Indonesia untuk segera
memproklamasikan kemerdekaannya setelah Jepang menyerah tanpa syarat ke sekutu.
Puncaknya, 17 Agustus Proklamasi kemerdekaan dikumandangakan Soekarno.
Akan
tetapi, proklamasi itu, bukan langsung dinikmati oleh seluruh rakyat Indoensia.
Sebab setelahnya, ketika gerakan untuk melucuti pasukan Jepang sedang berkobar,
tanggal 15 September 1945, tentara Inggris mendarat di Jakarta, kemudian
mendarat di Surabaya pada 25 Oktober. Berkedok melucuti tentara Jepang, tentara
Inggris didatangkan ke Indonesia atas nama Sekutu, dengan membawa misi
mengembalikan Indonesia kepada pemerintah Belanda sebagai jajahannya. NICA (Netherlands
Indies Civil Administration) pun membonceng.
Itulah
yang meledakkan kemarahan rakyat Indonesia di mana-mana, sehingga pecahlah
insiden Bendera 19 September 1945 di Hotel Yamato atau Hotel Orange (sekarang
Hotel Mandarin Oriental Majapahit) Surabaya. Rakyat Surabaya marah dengan
adanya bendera merah putih biru milik Belanda berkibar di atas menara hotel.
Dan terjadilah aksi perobekan bendera warna biru, hingga menjadi merah dan
putih.
Ada
yang menarik dalam cuplikan trailer film Battle of Surabaya tersebut.
Sebab, Orasi seseorang berpakaian tentara veteran di sebuah panggung kecil yang
membara-bara ditutup dengan pekikan takbir. Jika betul, para pahlawan berjuang
untuk kemerdekaan bangsa dan tanah air, apa maksud takbir tersebut ?. Dalam
potongan orasinya, Orang tersebut berseru,
"Bismillahirrahmanirrahim...
Dan kita yakin saudara-saudara, pada akhirnya pastilah kemenangan akan jatuh ke
tangan kita. Sebab, Allah selalu berada di pihak yang benar. Percayalah
saudara-saudara, Tuhan akan melindungi kita sekalian. Allahu akbar..! Allahu
akbar..! Allahu akbar...! Merdeka !".
Kalimat
takbir Allahu akbar yang diserukan orang itu dari stasiun Radio Republik
Indonesia (RRI) ditangkap oleh rakyat sebagai panggilan jihad untuk
mempertahankan kemerdekaan Indonesia yang baru berumur 85 hari. Peristiwa
heroik itulah yang dicatat sejarah sebagai salah satu faktor penting bagi
eksistensi Indonesia yang sudah berusia 70 tahun pada 2015 ini. Dialah orator
ulung yang menggerakkan rakyat Surabaya untuk menghadang Sekutu. Siapa sebenarnya
dia ?
Bagi
yang telah menyaksikan film tersebut, mereka sudah tentu tahu. Dialah Bung
Tomo. Pria yang
hampir selalu digambarkan dengan sosok penuh semangat, jari menunjuk ke atas
dan tatapan mata tajam di buku-buku pelajaran itu adalah seorang tokoh penting
dalam pertempuran besar di Surabaya. Sosok penyebar semangat arek-arek Suraboyo
yang namanya didengung-dengungkan terutama menjelang Hari Pahlawan yang
diperingati setiap tanggal 10 November itu dikenal sebagai Singa Podium yang
pidatonya bukan hanya menghipnotis tapi juga mampu membakar jiwa-jiwa muda yang
sedang berjuang melawan Belanda yang ingin kembali menjajah Indonesia pada masa
itu.
Lahir di
Surabaya pada 3 Oktober 1920, Sutomo atau lebih dikenal sebagai Bung Tomo
adalah sosok yang aktif berorganisasi sejak remaja. Tumbuh di masa-masa sulit,
masa penjajahan, Bung Tomo menjelma menjadi seorang pemuda yang tangguh.
Tertarik dengan dunia jurnalisme, pada masa mudanya Bung Tomo tercatat sebagai
wartawan freelance pada Harian Soeara Oemoem di
Surabaya 1937. Pada tahun 1939 Bung Tomo menjadi wartawan dan penulis pojok
harian berbahasa Jawa di Ekspres, Surabaya. Terakhir beliau
tercatat sebagai Pemimpin Redaksi Kantor Berita Indonesia Antara di
Surabaya 1945.
Kalimat basmalah sebelum pidato Bung Tomo serta
takbir menjelang penutupan pidato tersebut tentu cukup menarik untuk dicermati.
Sebab, menilik latar belakangnya, Bung Tomo hampir tidak pernah menjalani
aktivitas yang erat kaitannya dengan dunia santri. Sejak lahir pada 3 Oktober
1920 hingga perang "bonek" itu pecah, dia lebih banyak bersentuhan
dengan kalangan nonsantri. Jika Surabaya ketika itu punya dua "area"
santri -Ampel dan Plampitan- Bung Tomo pun bukan "alumnus"
kedua-duanya. Pertanyaannya, kenapa Bung Tomo begitu fasih memekikkan takbir
untuk menggugah perlawanan? Jawaban klise adalah Bung Tomo memiliki kedekatan
dengan para ulama. Sudah tentu, jawaban tersebut kurang memuaskan karena pada
zaman itu setiap ideologi bisa berdialog tanpa harus kehilangan identitas. Misi
merebut dan mempertahankan kemerdekaan berhasil mendekatkan jarak antar-ideologi.
Meskipun, dalam babak Indonesia selanjutnya, "pertarungan" itu cukup
keras.
Disertasi
William H. Frederick, In Memoriam: Sutomo, tampaknya, menjadi benang
merah untuk menjawab misteri takbir Bung Tomo. Buku yang diterjemahkan dengan
judul Bung Tomo: Pandangan dan Gejolak (1979) itu menyebutkan, pekik takbir
dilakukan setelah melalui perhitungan psikologis yang cukup matang. Takbir
digunakan untuk menarik perhatian umat Islam yang berada di Surabaya, tetapi
belum terjaring dalam perlawanan. Artinya, Bung Tomo, sepertinya, cukup tahu
bahwa pejuang yang terjun di lapangan adalah kalangan santri, yang sebagian
besar datang dari luar kota.
Faktanya,
pidato menggelora Bung Tomo membuat semangat heroisme para pejuang di lapangan
semakin mantap. Sebab, dalam tradisi Islam, penggunaan takbir untuk
mempertahankan tanah air sama halnya dengan panggilan perang suci. Pidato Bung
Tomo seakan menjadi sangkakala dimulainya sebuah pertempuran yang sulit
dibedakan sebagai tindakan berani atau bodoh. Meski bersenjata seadanya, rakyat
dengan gagah berani berhadapan langsung melawan tentara Inggris yang akan
menyelundupkan tentara Belanda. Perang face-to-face itulah yang
membedakan Surabaya dengan daerah lain yang cenderung memilih taktik gerilya.
Benang merah keterkaitan itu semakin terlihat dengan "terkuaknya"
resolusi jihad yang difatwakan Nahdlatul Ulama (NU) 18 hari sebelumnya. KH
Hasyim Asy'ari memerintah KH Wahab Hasbullah dan KH Bisri Syamsuri mengadakan
rapat dengan kiai se-Jawa dan Madura di Kantor PB Ansor NU, Jalan Bubutan VI/2,
22 Oktober 1945. Pada 23 Oktober 1945, atas nama Pengurus Besar NU, Kiai Hasyim
mendeklarasikan jihad fi sabilillah.
Fatwa
itulah yang kemudian disahkan dalam Muktamar Ke-16 NU di Purwokerto pada 26- 29
Maret 1946. Lima butir resolusi jihad adalah; pertama, kemerdekaan
Indonesia yang diproklamasikan pada 17 Agustus 1945 wajib dipertahankan; kedua,
RI sebagai satu-satunya pemerintahan yang sah harus dijaga dan ditolong; ketiga,
musuh RI ialah Belanda yang kembali ke Indonesia dengan bantuan tentara Sekutu;
keempat, umat Islam harus mengangkat senjata melawan Belanda dan tentara
Sekutu yang ingin menjajah Indonesia kembali; dan kelima adalah perang
suci wajib bagi setiap muslim yang tinggal dalam radius 94 kilometer, bantuan
material bagi yang berada di luar radius tersebut.
Butir-butir
resolusi jihad itu menunjukkan bahwa kemerdekaan Indonesia yang diproklamasikan
pada 17 Agustus 1945 harus dipertahankan oleh seluruh rakyat Indonesia. Seturut
dengan resolusi jihad itu, berbagai ulama meresistansi keinginan Belanda untuk
kembali menjajah Indonesia.
Dari
paparan di atas, sangat jelas betapa peran umat islam, serta spirit perjuangan bermotifkan
Jihad adalah faktor yang mendorong masyarakat bangsa Indonesia untuk
mempertahankan kemerdekaan. Sehingga dengan jelas pula terlihat, bagaimana peran
umat islam yang dimotori para ulama berkontribusi dalam kemerdekaan.
Oleh
karena itulah, pantaslah E.F.E Douwwes Dekker Setiabudhi, pimpinan Indische
Partij (1912 M) menyatakan, jika tidak karena sikap dan semangat perjuangan
para ulama, sudah lama patriotisme di kalangan bangsa kita mengalami kemusnahan.
(wallohu a’lam bi as-shawab).
No comments:
Post a Comment