Banyak
cendekiawan merumuskan bahwa agama merupakan unsur pokok dalam suatu peradaban
(civilization). Agama, kata mereka, adalah faktor terpenting yang
menentukan karakteristik suatu peradaban. Sebab itu, Bernard Lewis, menyebut
peradaban Barat dengan sebutan “Christian
Civilization”, dengan unsur utama agama Kristen. Samuel P. Huntington juga
menulis: “Religion is a central defining characteristic of civilizations.” Menurut
Christopher Dawson, “The great religions are the foundations of which the
great civilizations rest.” Di antara empat peradaban besar yang masih eksis
– Islam, Barat, India, dan Cina, menurut Huntington, terkait dengan agama
Islam, Kristen, Hindu, dan Konghucu[1].
Dalam
tradisi peradaban Mesir Kuno, agama menempati peranan yang sangat penting: “Religion
was omnipresent in Egyptian life and accounted for the outstanding achievements
of Egyptian civilization. Religious beliefs were the basis of Egyptian art,
medicine, astronomy,literature, and government[2].
Berangkat dari pentingnya peranan agama dalam suatu
peradaban, tanda-tanda kehancuran suatu peradaban dapat dilihat sejauh mana
unsur utama (agama) dalam peradaban tersebut tetap terpelihara dengan baik.
Jika agama yang menjadi pondasi utama peradaban itu sudah rusak, maka dapat
diartikan, peradaban itu telah mengalami satu perubahan yang signifikan.
Mungkin peradaban itu tinggal hanya nama. Tetapi, hakikatnya, peradaban tersebut
sudah rusak atau sudah hancur.
Hal yang senada diungkapkan oleh Kathur Suhardi
dalam memberi pengantar Buku Bangkit dan
Runtuhnya Khilafah Utsmaniyah karangan Prof. Dr. Ali Muhammad Al-Shalabi,
bahwa sebuah peradaban akan bangkit jika yang menjadi ruhnya adalah ilmu
pengetahuan, dan akan runtuh jika ruhnya adalah hawa nafsu[3].
Dalam
membangun peradaban itulah, Rasulullah Shallallhu
Alaihi Wasallam memulai dengan pembangunan mental. Dan upaya pembangunan
mental dilakukan dengan proses ta’dib, ta’lim dan tarbiyah. Sampai pada
akhirnya, islam berhasil menguasai 2/3 belahan dunia. Tiga proses itu diimplementasi
beriringan dengan tools amar makruf
nahi mungkar, yang dikenal dengan dakwah
ilallah.
Dalam
perkembangannya, dakwah kian hari kian mendapat tantangan. Problematikanya pun
semakin kompleks. Paling tidak tantangan yang menghadang lajunya perkembangan
dakwah islamiyah di Indonesia menurut karakteristiknya ada dua bagian besar,
yaitu klasik dan kontemporer. Klasik berupa praktek-praktek ritual yang
bercampur dengan animisme, dinamisme, singkritisme, dan pengakuan sebagai nabi
(palsu). Sedangkan yang kontemporer berbentuk paham-paham keagamaan yang
bercorak sekularisme, pluralisme, liberalisme, dan feminisme.[4]
Paham
TBC (Tachayul, Bid’ah dan Churafat) menjangkiti sebagian besar masyarakat
tradisional yang hidup di pedesaan. Adapun SEPILIS (Sekularisme, Pluralisme,
Liberalisme) menjangkiti masyarakat intelektual yang sebagian besarnya hidup di
perkotaan.
Dalam
makalah ini penulis memfokuskan diri untuk
masalah sekularisme. Paham ini salah satu virus yang sangat membahayakan
dan para ulama, intelektual dan cendekiawan muslim sedang berusaha membendung
penyebarannya. Begitu pula membedah kesesatannya secara pemikiran dalam islamic worldview yang benar.
Definisi
Sekularisme
Dr. Syamsuddin Arif dalam Presentasinya dalam Seminar Pemikiran
menyebutkan, Sekularisme berasal dari bahasa Latin “saeculum”
(zaman, masa),
atau ‘saecularis’ (mengikuti zaman). Dan kata bendanya
“Saeculares” lawan kata “religiosi” (orang-orang beragama). Beliau menyebutkan adaa
beberapa Pokok-pokok Akidah secular, yakni
1.
Secularization is good, necessary and inevitable.
2.
Secularity is characteristic of modernity
3.
Being secular = being modern
Artinya, ciri hidup dengan
gaya pemikiran sekuler dianggap sebagai ciri hidup modern dan berkemajuan.
Padahal
menurut Syaikh Abdullah bin Jibrin ketika dimintai fatwa tentang defenisi Sekularisme,
beliau menyebutkan sebagai aliran baru dan gerakan yang sesat, bertujuan
memisahkan agama dari negara, menekuni dunia dan menyibukkan diri dengan
kenikmatan dan kelezatan dunia, menjadikannya sebagai tujuan satu-satunya dalam
kehidupan dunia, melupakan negeri akhirat dan tidak memperdulikannya, tidak
menoleh kepada persoalan akhirat atau mengurusinya. Beliaumengutip sabda Nabi : "Celakalah budak
dinar, budak dirham dan budak pakaian. Jika diberi dia senang, dan jika tidak
diberi dia marah. Celaka dan bertambah buruk. Dan apabila duri masuk di tubuhnya
maka tidak bisa dikeluarkan dengan pahat."[6]
Beliau
juga memasukkan dalam kategori ini setiap orang yang mencela sesuatu dari
ajaran Islam, baik dalam ucapan maupun perbuatan. Maka setiap orang yang
menetapkan undang-undang dan meninggalkan syari'at Islam maka dia seorang
sekuler. Barangsiapa yang membolehkan yang diharamkan seperti zinah, minuman
keras, nyanyian, transaksi ribawi dan meyakini bahwa melarangnya merugikan
manusia serta menghalangi sesuatu padanya merupakan kepentingan pribadi maka dia
seorang 'almani (sekuler).
Pengaruh
Paham Sekuler
Masuknya ideologi sekularisme pada masyarakat islam
memiliki dampak paling buruk bagi muslimin dalam kehidupan dan dunia mereka.
BeberapaSyaikh Muhammad Syakir Syarif menyebutkan :
- Menolak hukum yang berlandaskan pada apa yang Allah turunkan, menyingkirkan
syariat dari segala ruang sisi kehidupan, mengganti wahyu ilahai dengan
undang-undang positif yang mereka adopsi dari orang-orang kafir yang
memusuhi Allah dan rasulnya.
- Merubah dan memanipulasi sejarah islam dan
memberikan gambaran (kesan) terhadap masa-masa keemasan pergerakan
pembebasan islamsebagai zaman kebiadaban yang sarat dengan kekacauan dan
ambisi-ambisi pribadi.
- Merusak sistem pendidikan dan memperalatnya
untuk menyebarkan pemikiran sekuler, melalui:
a.
Menebarkan pemikiran-pemikiran sekuler yang menjadi
materi siswa dan mahasiswa.
b.
Mengurangi jam pelajaran yang disediakan untuk
materi agama
c.
Melarang mempelajari teks-teks tertentu yang
mengungapkan kesalahan paham sekuler
d.
Merubah nash-nash syar’i dengan penjelasan yang
serampangan dan tidak lengkap
e.
Menyingkirkan para guru yang memegang teguh ajaran
agama dari tugas mengajar
f.
Menjadikan materi agama sebagai materi tambahan
- Menghilangkan perbedaan antara muslim dan
kafir
- Mempromosikan budaya serba boleh, melalui :
a.
Undang-undang yang melegalkan perbuatan amoral
b.
Aneka ragam media informasi baik online, maupun
offline
c.
Menolak kewajiban berhijab dan menerapkan busana
terbuka dan pergaulan bebas antara laki-laki dan perempuan di lembaga-lembaga
pendidikan.
- Melawan gerakan dakwah islamiyah melalui:
a.
Mempersempit ruang gerak penyebaran buku-buku
islam, serta memperlebar ruang bagi buku-buku menyimpang
b.
Melonggarkan ruang bagi tokoh-tokoh sekular
- Menangkap aktivis dakwah, memusuhi dan
melontarkan tuduhan palsu kepada mereka
- Merongrong tokoh muslim yang tidak mau
berdamai dengan ideologi sekular, dengan jalan isolasi atau penjara
- Menolak kewajiban jihad di jalan Allah
- Menyuarakan fanatisme terhadap bangsa dan tanah air[7].
Seperti
diakui banyak sosiolog, tidak sedikit masyarakat negara modern yang tetap religius,
baik secara individual maupun konstitusional (Islam sebagai agama resmi
negara), seperti Libya dan Malaysia. Sebaliknya, tidak sedikit negara yang
telah menyatakan diri sekular namun hingga kini masih saja belum tergolong
sebagai negara maju, seperti Marokko dan Turki, juga Mesir. Di samping itu,
sekularisme sebagai ideologi politik pada dasarnya tidak dapat bersenyawa
dengan ajaran Islam yang hakiki, yang menganggap kekuasaan politik sebagai sarana
penegakkan agama. Sebagaimana disinyalir
oleh Bernard Lewis, sejak zaman Nabi Muhammad saw, umat Islam merupakan entitas
politik dan agama sekaligus, dengan Rasulullah sebagai kepala Negara. Dengan
kata lain, Nabi Muhammad saw tidak mempolitisir agama, melainkan mengagamakan
politik, dalam arti politik untuk kepentingan agama, bukan agama untuk
kepentingan politik. "Sepanjang pengalaman Umat Islam generasi pertama,
sebagaimana telah dilestarikan dan direkam untuk generasi sesudahnya, kebenaran
agama dan kekuasaan politik terkait erat tak terpisahkan. Yang disebut pertama
mensucikan yang terakhir, manakala yang disebut terakhir mendukung yang
pertama," Walhasil, masyarakat tidak mesti menjadi sekular untuk menjadi
modern[8].
(Diajukan sebagai
prasyarat dalam penerimaan mahasiswa Program Kaderisasi Ulama BAZNAS-DDII pada
Prodi Pendidikan Islam Pascasarjana Iniversitas Ibnu Khaldun, Bogor tahun 2014)
[1] Adian Husaini, Masa Depan
Indoensia; Kajian Peradaban, Jurnal PROFETIKA, Vol. 9, No. 1, Januari, tahun
2007, hal. 63
[3] Ali Al-Shalabi, Bangkit dan Runtuhnya Khilafah Utsmaniyah , Jakarta, Pustaka al-Kautsar,
tahun 2010, hal. x
[4] Pembagian ini pernah disampaikan
oleh Muhammad Avid Solihin dalam Daurah Pengurus DDII, dan ditulis kembali oleh
Aris Munandar Alfatah dalam makalahnya, “Problematika dan Tantangan Dakwah di
Indonesia”, hlm. 2 (makalah S2 UIKA Bogor, tidak diterbitkan).
[7] Muhammad Syakir Syarif, Bahaya
Sekularisme, Solo, At-Tibyan, tanpa tahun, hal. 36-44
[8] Syamsuddin Arif, Islam dan Tantangan Sekularisme,
Tanpa Tahun, Hal. 9-10
No comments:
Post a Comment