Cari

The True Hijrah

Saturday, 23 November 2013


Diterimanya dua surat bersamaan yang berbeda maksudnya, membuat Khalifah Umar mengadakan sidang Istimewa bersama para sahabat untuk menyelesaikan persoalan administratif kekhilafahannya. Sebagai leader yang menaungi banyak  daulah, penanggalan surat menjadi penting saat itu. Maka bermusyawarahlah para sahabat. Ada yang menyarankan untuk membuat penanggalan dimuali dari tahun kenabian, ada pula dimulai dari peritiswa isra’ dan mi’raj. Akan tetapi yang disepakati saat itu adalah pendapat Ali bin Abi Thalib. Ia menyarankan tahun pertama islam dimulai dari tahun hijrahnya Nabi saw dari makkah menuju madinah. Meskipun ulama berbeda pendapat tentang bulan yang mengawalinya, Syaikh Syafiyurrahman menguatkan tahun itu tetap dimulai degan bulan Muharram dalam Ar-Rahiq-nya.
Ada banyak hikmah yang bisa kita petik dari peristiwa hijrah. Karena Hijrah bukan sekedar peristiwa lolosnya Nabi saw dari fitnah dan penyiksaan, akan tetapi lebih dari itu. Hijrah adalah merangkai kerjasama untuk membangun tatanan baru di negeri yang aman. Oleh karena itu, kewajiban bagi setiap individu muslim yang mampu untuk berpartisipasi dalam pembangunan tanah air yang baru dengan segenap tenaga untuk membentengi dan mengangkat citranya (Mubarakfuri, 2010, hal. 255).
Hijrah adalah angin segar yang berhembus ke dalam dada kaum muslim akan perjuangan selama 13 tahun mempertahankan akidah. Hijrah adalah perpindahan dari sempitnya gerakan dakwah di Makkah kepada luasnya Madinah. Dari sempitnya satu negeri kepada negeri yang lain yang lebih luas.

Ramadhan, Bulan Pembebasan



Siang itu, terik matahari membakar padang-padang pasir yang terbuka. Angin berhembus membawa butiran pasir dan debu dan segera saja menutupi jejak dhabb[1]. Angin panas dan kering  mengalir di sela-sela jalan dan rumah-rumah dari tanah liat di Makkah. Kota, pusat perdagangan itu kali ini menjadi sedikit menjadi riuh. Pelepah pohon kurma yang berayun menjadi saksi saat peristiwa itu. Orang-orang berhenti sejenak melihat pemandangan yang tidak seperti biasanya.
“Ayo jalan !”
Orang berkulit hitam itu diseret di atas pasir panas. Keringatnya mengucur deras dari tubuhnya yang hanya dibalut sebuah kain menutupi lutut hingga pusarnya.
“Tcchak....!!!”. Sekali lagi cambuk mendarat ditubuhnya. Kali ini sudah tidak terhitung jumlah bekas garis merah di punggunggnya. Luka yang begitu perih hingga meneteskan darah tidak sama sekali dipedulikan tuannya. Pikiran budak hitam itu sudah tidak dikuasai sepenuhnya. Ia setengah sadar, setelah belasan hari menjalani ritual penyiksaan seperti itu.
“Tidur telentang...!!”. Belum sempat ia merebahkan diri sebuah tendangan keras menghantam perutnya. Ia tersungkur.

 

Iklan Buku

Followers

Bincang-Bincang