Abu Fath el_Faatih
Hidup adalah pencarian. Pencarian
tentang nilai, ilmu dan kearifan. Eksplorasi menemukenali makna, arti dan tanggung jawab. Hidup
adalah jalan yang tak pernah habis disusuri sebelum kertas-kertas waktu itu
menggulung diri mereka dalam lipatannya sendiri.
Hidup, adalah pencarian.
Menemukan sebuah kunci yang telah dipatahkan jauh sebelum manusia mengenal diri
mereka sendiri. Menemukan mata uang kejujuran, yang terkadang ditolak di pasar
yang timbangannya sudah berat sebelah. Atau mugkin dengan pedagang langsat,
yang telah memutar baut, atau melonggarkan konstanta pegas neracanya. Hingga
takaran 1 Kg berkurang, nyaris
sepertiganya.
Hidup adalah meniti tangga-tangga
kearifan. Waktu mengantar kita agar sampai di puncak kearifan itu, agar semakin
mengenal siapa diri dan yang ada di atas diri kita. Kearifan yang membuat bapak
guru tetap tenang, saat ia duduk di bangku yang telah dilumuri permen karet
oleh bocah-bocah nakalnya.
Kearifan saat kehidupan mencari
hakikat ketenangan. Dan ia selalu berlari, bahkan bersembunyi. Malu, tak ingin
terlihat. Meskipun hati yang bening sebenarnya bisa melihatnya. Namun terkadang
cahaya itu buyar karena debu angkuh dan kesombongan yang sudah melumurinya. Kearifan itu mahal. Jauh lebih mahal dari sekedar
ikan yang dijual keliling, atau bahkan penjual ikan beserta sepeda-sepedanya. Tapi
jangan, karena boleh jadi, ada niat mereka yang jauh lebih hebat dibanding
mobil yang berdasi. Boleh jadi ada kesungguhan yang lebih berkilau di dasar
hati mereka, dibanding dengan kilauan cincin berlian dubai yang memeluk
jari-jari para raja.
Mungkin mereka adalah hamba bagi
rajanya yang bertahta di gedung bertingkat. Tapi mereka adalah raja bagi
seluruh hasrat hina manusia. Mereka kecil, tapi kebesaran hatinya mengalahkan
gedung yang mencakar langit karena kesederhanaannya di bumi. Pakaian mereka
mereka remeh, tapi keringatnya adalah keringat yang tak kenal mengeluh berbalut
tekad berbuat tanpa pamrih. Dan boleh jadi, para penguasa itu adalah raja bagi
rakyatnya, tapi menjadi hamba-hamba uang, dan hasrat dan ambisi mereka sendiri.
Mereka sebenarnya merdeka, namun tak bisa lari dari hewan-hewan liar bernama
nafsu. Mereka diikat dari lehernya oleh tali yang menghubungkan ke leher hewan
itu. Tak bisa lepas, dan setiap hari kemana binatang itu berlari, ia pun
mengikutinya mengejar perut mereka sendiri.
Hidup adalah pencarian ilmu dan
kebijaksanaan. Ia bisa berada di mana-mana. Mungkin di truk sampah, yang dengan
ketulusan pemulung memilih dan memilah sampah organik dan non-organik untuk
sekedar menyambung detak waktu perut mereka saat kosong keroncong. Meski tak
pernah mendengar dan memahami program green
and clean. Akan tetapi, ia menjadi sokoguru sanitasi lingkungan. Atau mungkin,
kearifan itu ada bersama bocah pemulung yang telah tegang urat-urat leher dan
betisnya mengayuh becak agar rodanya berotasi dan bertranslasi secara
bersamaan, dengan momen gaya yang ditarik lewat energi kimia dalam tubuhnya.
Becaknya berisi tumpukan berbau, dari popok, mie basi, rambut, hingga sarung
kotor. Tubuhnya yang mungil membuat hampir seluruh jaringan ototnya bereaksi
mengeluarkan 24 ATP yang dirubah menjadi menjadi energi setelah mengahasilkan
atom karbon yang berikatan dengan sepasang atom oksigen dari hidungnya dalam
daur katabolisme sel ototnya.
Atau mungkin kearifan
itu, ada bersama tumpukan sampah itu. Dibungkus bersama dengan amarah dan
keangkuhan ke tempat pembuangan akhir. Karena kadang mata kita tak awas lagi
melihat kearifan. Neraca keadilan sepertinya telah bengkok karena tendensi
kepentingan yang buta. Jangan lagi berbicara tentang kebaikan. Karena kebaikan
itu, hanya dikhotbahkan di mimbar atau mungkin di altar gereja dan kuil,
menurutnya. Pesan kearifan sudah terlalu berat meluncur di setiap lidah yang
begitu licin mengumbar janji-janji palsu. Sepertinya ilmu dan kearifan itu
sudah tidak mau bertemu kita. Atau mungkin ia sudah jenuh karena kebanyakan kita
lebih banyak bermain. Sementara mereka harus ditemui dengan serius dan kerja
keras.
Ilmu dan
kearifan terkadang bersembunyi di balik sandal kita. Saat ia dipakai dengan doa
dan bersamanya juga dilepas. Atau bisa saja ia berada di atas awan yang berarak
melewati kita, dan jatuh menghantam bumi dalam butiran hujan yang menitipkan
sebagian kesejukannya kepada tubuh. Setelah itu melompat kejalanan, ikut
bersama dengan kaki-kaki para penjual kue, saat seluruh tubuhnya basah kuyup,
namun kue-kuenya tetap ia lindungi. Karena dari situ ia bisa bertahan dalam
kerasnya zaman.
********************
Hidup untuk mencari kedamaian.
Namun seringkali menjadi keramaian. Meskipun seringkali kedamaian tidak berada
di keramaian. Tanpa perlu tahu. Ikut dalam keramaian, berjalan di tangga lift, dan
berthawaf mengelilingi lokus-lokus mall menjadi sebuah surga. Ya, “Surga
Berbelanja”, seperti pernah saya pernah lihat tertulis di sana.
Kedamaian nyaris diganti oleh
keramaian. Yang ramai, yang damai. Sementara saya masih bingung, bagaimana seseorang
mendapatkan kedamaian jika membiarkan diafragma matanya dijejali cahaya yang
membutakan nurani. Bagaimana, kedamaian itu singgah, jika telinga kita sibuk diributi
oleh suara yang mengajak kaki berdansa, atau tangan dan kaki bergoyang ?.
Itukah kedamaian ?. Entahlah.